Perang dagang AS-Cina masih terus berlanjut. Bahkan, perang dua negara adi daya kini telah memasuki fase baru yang berbahaya. Pengenaan tarif diperkirakan terus naik. Imbas dari pengenaan trade barrier kedua negara itu tentu berdampak bagi ekonomi global termasuk Indonesia.
Dunia pun masih berharap tensi perang dagang dua penguasa ekonomi dunia itu bisa mereda. Harapan itu ada ketika kedua pimpinan AS dan Cina itu, Presiden Donald Trump dan Xi Jinping, akan bertemu di KTT G-20 di Osaka Jepang pada 28-29 Juni 2019.
Tetapi pada titik ini, skenario terburuk kedua negara itu adalah bila tidak ada titik temu untuk menurunkan tensi perang dagangnya. Arti lainnya, kemungkinan besar perang dagang akan panjang, berantakan, dan tentu berbiaya mahal.
Berbagai kalangan memprediksi imbas yang cukup berat bagi ekonomi dunia dari perang dagang tersebut. Kesimpulan utama mereka: Jika tarif meluas untuk mencakup semua perdagangan AS-Cina, dan berdampak pasar global merosot.
Sebagai gambaran, Cina cukup menderita akibat pengenaan tarif bea masuk produk 10% - 25%. Nilainya pun cukup lumayan, bisa mencapai USD200 miliar. Begitu juga bagi ekonomi global. Prediksi PDB global yang bisa mencapai USD600 miliar pada 2021 pun akan terancam.
Pemerintah Joko Widodo pun sebenarnya sudah mengantisipasinya. Antisipasi itu tercermin dari pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Menurutnya, negara ini tak perlu mengkhawatirkan meningkatnya tensi perang dagang AS dan Tiongkok, meski dampak tetap ada, yakni pelambatan ekonomi.
"(Situasi perang dagang AS dan Tiongkok) Tidak kemudian membuat gejolak yang tajam. Kalau mengkhawatirkan sih tidak," kata Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Walau begitu, Darmin menilai efek perang dagang antara AS dan Tiongkok tersebut harus segera diantisipasi, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga dan bisa lebih baik ke depannya. Dan, instrumen untuk menjaga pertumbuhan adalah dengan memacu ekspor, mendorong investasi dan pariwisata.
Kekhawatiran terhadap dampak perang dagang AS-Cina wajar saja. Namun bila dilihat dari neraca dagang negara ini selama kuartal pertama 2019 memang belum mengkhawatirkan meski kinerja ekspor dengan model penajaman tetap perlu digenjot.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang ekspor impor selama Januari memang tercatat defisit, ekspor mencapai USD13,93 miliar dan impor USD14,99 miliar.
Bulan berikutnya, Februari, ekspor tercatat USD12,55 miliar dan impor US$12,23 miliar, dan ekspor di Maret mencapai USD14,12 miliar dan impor USD13,45 miliar. Secara akumulasi selama kuartal I 2019 masih terjadi defisit.
Tren Positif
Berkaitan dengan kondisi nercara dagang, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution justru menilai ada perbaikan kinerja ekspor dan impor Indonesia pada dua bulan terakhir. "Defisit itu kan karena Januari defisitnya. Sedangkan Februari dan Maret, kinerjanya surplus toh."
Terlepas dari semua itu, perang dagang AS-Cina bisa jadi berkah bagi Indonesia. Pasalnya, negara ini akan menerima limpahan permintaan sejumlah produk yang sebelumnya dipasok Cina. Produk-produk itu antara lain komoditas perikanan, manufaktur, furnitur, dan tekstil.
Dalam rangka itu, pemerintah dan pelaku usaha harus ekstra hati-hati dan perlu bekerja keras untuk mencari peluang pasar selain tentunya mewaspadai dampak perekonomian nasional dari perang dagang AS-China yang berkepanjangan tersebut.
Menurut hemat saya, dibutuhkan insiatif baru atau kebijakan antisipatif diperlukan agar ekses perang dagang itu tidak menimbulkan kerusakan perekonomian nasional secara serius.
Tidak itu saja, negara ini juga perlu mewaspadai banjir produk impor dari Cina. Wajar saja, dengan potensi pasar Indonesia yang luar biasa, negara ini bisa dipastikan akan mendapatkan limpahan produk-produk asal Cina.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah bisa menahannya? Tentu diharapkan itu bisa dilakukan karena dampak lanjutan dari derasnya impor adalah meningkatnya permintaan valuta asing akibat tingginya volume impor. Tingginya permintaan valuta asing berpotensi mendepresiasi rupiah.
Pelbagai kemungkinan buruk dari perang dagang AS-Cina harus diantisipasi. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan usaha negeri ini harus bersiasat, agar ketidakpastian global itu tidak menimbulkan dampak serius bagi ekonomi nasional.
Yang jelas, negara ini memiliki modal dasar yang cukup mumpuni untuk menghadapi karut-marut perdagangan global. Indonesia masih sangat potensial menarik investasi asing.
Modal itu ada karena tingkat keyakinan komunitas pebisnis mancanegara masih cukup tinggi. Indikator itu tercermin dari pernyataan tiga lembaga pemeringkat internasional, yakni Standard and Poor's atau S&P Global Rating, Fitch Ratings dan Moody’s yang memberikan peringkat cukup bagus hingga kini.
Semua modal dasar itu bisa dieksploitasi untuk mempertebal daya tahan ekonomi nasional. Namun, semua itu harus didukung aspek lainnya yang tak kalah penting, yakni tetap terjaganya stabilitas keamanan nasional, ketertiban umum, dan terjaganya stabilitas politik. (F-1)