Setelah tiga bulan berturut-turut melemah, kinerja ekonomi para petani bangkit pada Mei lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat , pada Mei 2019 secara nasional terjadi kenaikan nilai tukar petani (NTP) sebesar 0,38% ke level 102,61%. Angka tersebut menunjukkan peningkatan indeks harga hasil pertanian lebih tinggi dibanding kenaikan pada indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani atau untuk keperluan produksi pertanian.
Pada Januari 2019, NTP itu masih bertengger di angka 103,33 persen. Namun, sepanjang tiga bulan berikutnya, skor ini merosot hingga ke level 102,23% pada April silam. Kenaikan di NTP pada Mei itu diharapkan akan terus berlanjut sampai beberapa bulan ke depan karena buah dan sayur (hortikultura) cenderung akan terus menguat harganya. Prospek jangka panjangnya menjanjikan.
Dalam pengamatan BPS, yang mendongkrak kenaikan NTP itu adalah hortikultura, peternakan, dan perkebunan rakyat. Subsektor tanaman pangan, utamanya padi, melandai saja. Toh, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, secara rata-rata NPT antara Januari-Mei 2019 yang tercatat 102,77% ini sebuah catatan yang terbaik selama enam tahun terakhir untuk periode bulan yang sama.
Dengan predikat sebagai komoditas strategis, produk pertanian utamanya beras, gula tebu, jagung, indeks harganya tidak bisa leluasa bergerak. Pemerintah menerapkan harga tertinggi (plafon) selain harga terendah (harga dasar). Dengan begitu, indeks harga subsektor tanaman pangan itu memang tak dibiarkan bergejolak. Walhasil, kenaikan NTP tanaman pangan itu jarang melesat naik. Kenaikan kesejahteraan petani lebih diupayakan dengan penambahan produktivitas.
Kementerian Pertanian sendiri memang turut menjaga fluktuasi harga pangan pada kisaran wajar, agar tetap terkangkau oleh masyarakat secara umum. Hasilnya cukup nyata. Inflasi sektor pangan pada 2018 ada di kisaran 3%. Inflasi tinggi yang mendekati 10 persen pada 2017 dijaga tidak berulang.
Dengan segala fluktuasinya, indeks harga yang diterima petani (IT) terus meningkat dari tahun ke tahun, baik di subsektor tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan rakyat, maupun perikanan. Namun, lonjakan-lonjakan sering muncul dari sektor peternakan (baik unggas maupun ruminansia), hortikultura serta perkebunan. Bahkan, kisaran pergerakannya di sekitar 105%. Daya beli mereka relatih lebih tinggi.
Meski ada kecenderungan menguat, nilai tukar petani subsektor perkebunan rakyat secara umum masih belum pulih. NTP-nya masih tertahan di sekitar 95%. Kondisi muram ini telah berlangsung sejak 2016 lalu, tidak lepas dari melemahnya ekspor nasional akibat pelambatan ekonomi global. Beban atas rendahnya indeks harga produk perkebunan rakyat itu pada akhirnya membebani NPT untuk melomcat ke level di atas 105%.
Namun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberikan catatan, bahwa mengukur keluaran pembangunan pertanian tak cukup hanya ditinjau dari sisi term of trade (nilai tukar petani). Andi Amran juga menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan di kawasan pedesaan yang lebih nyata dibanding di perkotaaan, hal yang dikatakannya tak bisa lepas dari usaha tani di pedesaan.
Lebih jauh, Andi Amran juga memperlihatkan adanya kecenderungan kuat bahwa kontribusi dari sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional yang terus menguat. Bila pada 2014, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB masih sebatas Rp880 trilyun, pada 2018 kontribusinya sudah mencapai Rp1.100 trilyun. Pada 2018, sektor pertanian mencatat pertumbuhan 3,7%. (P-1)