Kenyamanan dan keselamatan menjadi perkara penting di tengah gemuruhnya arus mudik dan arus balik lebaran 2019 ini. Tak banyak terlihat lagi bertumpuknya penumpang di kendaraan umum atau sepeda motor yang kepayahan menempuh jarak jauh dengan tiga atau empat orang di atasnya. Para pemudik semakin mengedepankan kenyamanan dan keselamatanan sepanjang perjalanan.
Hasilnya, angka kecelakaan lalu lintas pun menurun secara drastis. Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menyebutkan, angka kecelakaan selama arus mudik dan arus balik lebaran itu menyusut 65%, yakni dari 1.491 menjadi 529 kejadian. Dengan korban jiwa tercatat sebanyak 132 orang. Angka itu dicatat sejak tujuh hari (H-7) menjelang Hari Raya Idul Fitri 5 Juni hingga H+4 yakni 10 Juni 2019.
Tanpa mengurangi rasa prihatin dan simpati atas jatuhnya korban jiwa tersebut, Polri menyebutkan, korban jiwa itu bisa ditekan, mengingat selama lebaran 2018 silam (H-7 hingga H+7), jumlah korban meninggal mencapai 554 jiwa. Korlantas Polri mencatat, kejadian kecelakaan lalu lintas itu melalui para petugas yang dilibatkan dalam Operasi Ketupat yang digelar secara nasional setiap kali lebaran datang.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1560500638_Data_Kecelakaan.jpeg" />
Mudik lebaran adalah ritual tahunan yang selalu disisipi kisah pilu. Kecelakaan lalu lintas, jatuhnya korban luka berat atau ringan, bahkan kematian, terus saja menyertainya. Situasi ini memang tidak terhindarkan. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain, dalam mencari penghidupan yang lebih baik, telah berlangsung selama puluhan tahun, dan dipercepat oleh tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, terutama di kota-kota besar.
Hari Raya Idul Fitri menjadi ritual khas, membangun momentum spesial untuk acara keluarga dari seluruh kelas sosial. Jutaan bahkan mungkin dua ratus juta masyarakat Indonesia bergerak serentak dari satu ke tempat yang lain. Lalu lintasnya luar biasa ramai, dan dampaknya terjadi kecelakaan.
Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah korban begitu besar. Pada lebaran 2012, misalnya, jatuh korban jiwa sebanyak 908 orang, meningkat menjadi 1.297 pada 2013, bahkan sempat menyentuh angka 1.423 di tahun 2015. Namun, setelah itu secara drastis angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas itu terus menyusut hingga ke angka 132 jia pada 2019. Seiring dengannya, angka kecelakaan lalu lintas itu sendiri semakin berkurang (lihat tabel).
Banyak hal yang berkontribusi atas perkembangan ini. Perbaikan infrastruktur jalan diakui menjadi satu hal. Ada jalan tol TransJawa, dari Merak, Jakarta, Semarang-Surabaya hingga ke Pasuruan, ada jalur baru Ciawi ke Cigombong menuju Sukabumi, Pandaan-Malang dan di Sumatra ada ruas baru Bakauheni-Terbanggi Besar-Palembang (meski sebagian masih berstatus fungsional). Bukan hanya menyediakan jalur yang lebih cepat, jalan tol juga membuat pengendara lebih tertib.
Di banyak daerah, kehadiran jalur tol baru itu mendorong pula jalan-jalan negara yang terkoneksi ke jalur bebas hambatan itu menyesuaikan diri. Jalan-jalan negara makin lebar, rata, dan mulus. Situasi ini berlanjut pula ke jalan provinsi, jalan kabupaten kota bahkan jalan kecamatan dan desa. Potensi kecelakaan pun menyusut.
Otoritas yang menangani urusan perhubungan, makin sering terlibat di lapangan untuk memeriksa kelaikan kendaraan, merazia sopir mabuk, dan memastikan pengguna jalan tak berlaku semaunya. Menyusutnya pemudik yang mengendarai sepeda motor juga dicatat sebagai salah satu faktor yang menurunkan angka kecelakaan. Pada masa lalu, porsi kecelakaan terbesar memang disumbang oleh pengendara sepeda motor.
Toh, Kementerian Perhubungan mengakui bahwa yang menentukan hasil dalam pengelolaan arus mudik dan arus baliknya adalah kerja sama dengan banyak pihak. Aparatur daerah yang terjun aktif menertibkan jalur lintasan mudik, Kementerian Kesehatan dan Dinas-Dinas Kesehatan yang bergiat membangun pos-pos kesehatan di berbagai titik, aparatur keamanan TNI-Polri yang menjaga aspek ketertiban di jalan, juga masyarakat pengguna jalan yang semakin tertib.
Trio Korlantas-Jasa Marga-Kementerian Perhubungan, yang didukung satuan TNI, ikut menorehkan sumbangan di Tol TransJawa. Rekayasa lalu lintas yang dilakukan, termasuk membuat jalur hampir sepanjang 400 km dari gate Kalikangkung Semarang Selatan ke Bekasi Timur, membuat tumpukan mobil yang berjejal-jejal bisa terurai, meski memakan waktu berjam-jam. Setidaknya, situasinya tak berkembang makin macet dan macet. Rekayasa lalu lintas juga dilakukan di berbagai ruas jalan lain.
Di luar urusan pengaturan lalu lintas, pada lebaran 2019 ini pun tampak adanya penurunan massa mudiknya. Catatan di Sistem Informasi Angkutan dan Sarana Transportasi (Siasati) di Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa pemudik asal Jakarta dan sekitarnya mengalami penurunan 10%.
Dari H-7 hingga hari H lebaran 2019, terpantau “hanya” ada 7,2 juta pemudik dari seputar Jakarta yang menuju berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Menurun tajam. Mengingat pada periode yang sama 2018 tercatat ada 8,02 juta pemudik yang meninggalkan Jakarta. Boleh jadi, lesunya ekonomi menjadi penyebabnya.
Kemungkinan, sebagian dari mereka yang enggan mudik itu kelompok yang biasanya menggunakan jasa angkutan udara. Kenaikan harga tiket mahal menjadi alasannya. Pada lebaran 2018, tercatat ada 2,07 pemudik asal Jakarta dan sekitarnya yang memanfaatkan jasa penerbangan. Pada lebaran 2019, angkanya anjlok ke 1,5 juta saja. Berkurang 500 ribu orang lebih.
Pemudik yang menggunakan jalan darat ke arah Timur (sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), dengan kendaraan umum atau pribadi, menyusut dari 1,8 juta menjadi 1,5 juta. Sementara itu, pengguna angkutan laut relatif sama di sekitar 490 ribu, sementara peumpang kereta naik dari 1,8 juta ke 1,9 juta. Yang mudik dengan menyeberang Selat Sunda melalui Merak-Bakauheni menyusut beberapa puluh ribu dari angka 2018 yang mencapai 1,8 juta orang. (P-1)