Lembaga pemeringkat internasional, Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia atau sovereign credit rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan prospek stabil. Selain itu, S&P juga menaikkan peringkat utang Indonesia jangka pendek menjadi A-2 dari A-3.
Peringkat BBB/Outlook stabil itu akan memberikan dampak positif bagi investasi di Indonesia. Karena risiko berbisnisnya jadi lebih rendah.
Peningkatan profil kredit Indonesia jadi BBB dari BBB- ini dilatarbelakangi oleh fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kokoh. Hal ini merupakan kerja keras dan kinerja positif dari seluruh pelaku ekonomi di Indonesia, khususnya pemerintah dan mulai terlihat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam laporannya, S&P menegaskan bahwa salah satu faktor kunci yang mendukung keputusan tersebut adalah prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan dukungan kebijakan otoritas yang diyakini akan tetap berlanjut pascaterpilihnya kembali Presiden Joko Widodo. Selain itu, perbaikan sovereign credit rating Indonesia juga didukung oleh utang pemerintah yang relatif rendah dan kinerja fiskal yang cukup baik.
Disebutkan Ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang memiliki tingkat pendapatan yang sama (peers). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah telah efektif mendukung pembiayaan publik yang berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang berimbang.
Secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir, pendapatan riil per kapita Indonesia tumbuh meyakinkan sebesar 4,1 persen, jauh lebih tinggi daripada negara peers yang tercatat rata-rata sebesar 2,2 persen. Hal ini menunjukkan dinamika ekonomi Indonesia yang konstruktif di tengah lingkungan eksternal yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir.
Hal positif lain, konsumsi merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan PDB diikuti oleh investasi sebagai kontributor yang cukup besar selama lima tahun terakhir. Tren ini dinilai akan terus berlanjut jika pemerintahan Presiden Joko Widodo melanjutkan komitmennya untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia.
Di sisi fiskal, rasio utang Pemerintah diperkirakan stabil selama beberapa tahun ke depan sebagai cerminan dari proyeksi keseimbangan fiskal yang juga stabil. Rasio utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan tetap sehat di bawah 30 persen seiring dengan terjaganya defisit fiskal dan pertumbuhan PDB.
Di sisi eksternal, keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 175 bps dianggap sebagai kebijakan yang proaktif sehingga Indonesia mampu mengatasi risiko yang bersumber dari kerentanan eksternal. Selain itu, S&P juga meyakini bahwa Indonesia tidak menghadapi extraordinary risk terhadap pemburukan pembiayaan eksternal karena didukung oleh akses terhadap pasar keuangan yang kuat dan berkelanjutan serta arus masuk PMA dalam beberapa tahun terakhir di tengah volatilitas eksternal yang cukup tajam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai kenaikan peringkat dari S&P lebih cepat menarik capital inflow atau arus modal yang masuk ke Indonesia. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku, untuk menarik investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) dibutuhkan kebijakan yang lebih mengakomodasi dari seluruh sektor.
"FDI membutuhkan policy yang jauh lebih ambisius lagi. Seperti yang disampaikan presiden, kita membuat simplifikasi dari regulasi kita juga ingin memperbaiki iklim investasi kita," ujar dia.
Menurut Sri Mulyani, banyak tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah agar investasi masuk ke Indonesia semakin moncer. Faktor-faktor seperti infra, SDM, produktivitas mereka dan regulasi yang tidak berbelit, serta korupsi. “ Ini yang harus terus kita perangi,"kata Sri Mulyani.
Hasil penilaian S&P tersebut jelas menjadi sentimen positif untuk pasar saham dalam negeri. Pasalnya, kenaikan peringkat utang biasanya bakal menarik investor untuk menanamkan dananya di Indonesia.
Namun, karena S&P baru mengerek peringkat utang Indonesia akhir Mei 2019 atau hari perdagangan terakhir sebelum libur panjang Lebaran 2019, maka efeknya belum begitu terlihat bagi pasar saham dalam negeri. Pengaruh dari sentimen tersebut baru akan terasa pada pekan-pekan ini.
Kepala Riset Narada Asset Manajemen Kiswoyo Adi Joe menyatakan peningkatan peringkat utang Indonesia umumnya akan lebih memancing pelaku pasar asing untuk meramaikan pasar saham dalam negeri.
Mereka akan mengincar saham-saham penghuni indeks IDX30 atau saham dengan nilai kapitalisasi pasar cukup tinggi (big capitalization/big cap), seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP).
Di laman resmi Bursa Efek Indonesia (BEI) tertulis, indeks IDX30 adalah indeks yang mengukur performa harga dari 30 saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar. Pemilihan saham juga bergantung dari fundamental masing-masing perusahaan.
Saham berkapitalisasi besar di LQ45, tapi asing akan lebih lihat IDX30 atau yang nilai kapitalisasi pasarnya lebih paling tinggi. Biasanya pelaku pasar asing, senang dengan saham-saham big cap karena dianggap cukup liquid. Dengan demikian, saham itu selalu laris ketika dijual di pasar reguler.
Harga saham BRI, Telekomunikasi Indonesia, dan HM Sampoerna berpotensi naik 3 sampai 5 persen sepanjang pekan ini. Ini artinya, ketiga saham itu akan semakin perkasa setelah menguat cukup signifikan pada perdagangan terakhir sebelum libur lebaran.
Pada perdagangan terakhir, saham BRI terpantau naik 4,06 persen ke level Rp4.100 per saham, Telekomunikasi Indonesia 3,17 persen ke level Rp3.900 per saham, dan HM Sampoerna 2,42 persen ke level Rp3.380 per saham.
Dengan perkiraan kenaikan 3-5 persen, maka setidaknya pekan ini saham BRI berpotensi tembus ke level Rp4.300 per saham, Telekomunikasi Indonesia ke level Rp4.090 per saham, dan HM Sampoerna ke level Rp3.540 per saham. (E-2)