Optimisme harus terus ditumbuhkan. Di tengah perang dagang yang membuat ekonomi dunia tidak stabil, sepertinya Indonesia bisa mendapat rapor bagus. Baru saja kemarin Lembaga pemeringkat dunia Standard and Poor’s menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB menjadi BBB. Itu tandanya, Indonesia merupakan tempat yang layak untuk menanamkan investasi.
Tidak beda jauh, sebuah Lembaga penilai Instutute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Develompent (WCY) 2019 menaikkan peringkat daya saing Indonesia dari posisi 43 kini berada pada posisi 32. Kenaikan 11 poin itu merupakan hasil dari kerja keras.
Capaian itu sendiri menjadikan Indonesia dengan peningkatan peringkat tertinggi se-Asia Pasifik. Selain Indonesia, lima negara berdaya saing tertinggi tercatat berubah. Singapura yang pada 2018 berada pada peringkat ketiga, unggul jadi peringkat pertama pada tahun ini, menggeser posisi Amerika Serikat. Sedangkan Hong Kong tetap berada di posisi kedua, Uni Emirat Arab untuk pertama kalinya masuk dalam kelompok lima besar.
Sementara itu, daya saing Jepang turun lima peringkat dari posisi 25 pada tahun lalu ke level 30 pada tahun 2019. Penurunan itu disebabkan merosotnya kondisi ekonomi, utang pemerintah, dan melemahnya iklim usaha.
IMD World Competitiveness Center menilai, 63 negara dengan lebih dari 230 indikator yang dikelompokkan ke dalam empat pilar. Pertama kinerja ekonomi, yang mencakup perdagangan dan investasi internasional. Kedua efisiensi pemerintah, di antaranya kedisiplinan pemerintah dalam anggaran, kepatuhan hukum, dan peningkatan inklusivitas institusi.
Selanjutnya efisiensi bisnis, termasuk produktivitas dan efisiensi sektor swasta dan kemudahan akses finansial. Terakhir dari sisi infrastruktur, termasuk infrastruktur sains, kesehatan, dan lingkungan serta pendidikan.
Peningkatan tersebut membawa peringkat daya saing Indonesia saat ini berada di atas negara-negara peers seperti India, Filipina, Turki, Afrika Selatan dan Brazil. Berdasarkan penilaian WCY, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal ekonomi domestik (peringkat 7), kebijakan perpajakan (4), pasar tenaga kerja (3), serta tingkah laku dan nilai (14).
Di sisi lain Indonesia tetap harus terus memperbaiki aspek perdagangan internasional (peringkat 59), kesehatan dan lingkungan (58), pendidikan (52), dan infrastruktur teknologi (49).
Berdasarkan Executive Opinion Survey yang menjadi salah satu bagian penilaian daya saing WCY, faktor yang dianggap paling menarik dari perekonomian Indonesia adalah ekonomi yang dinamis, perilaku terbuka dan positif masyarakat, serta kebijakan yang stabil dan terprediksi.
Perbaikan peringkat daya saing Indonesia menunjukkan hasil positif dari berbagai reformasi struktural dan ekonomi yang secara konsisten terus dilakukan oleh Pemerintah. Fundamental ekonomi Indonesia yang terjaga juga merupakan modal penting bagi peningkatan daya saing. Hal ini antara lain ditandai dengan ekonomi Indonesia yang tumbuh sehat di atas 5 %, dengan tingkat inflasi rendah dan mendukung daya beli masyarakat serta konsumsi.
Kualitas pertumbuhan juga dinilai terjaga yang ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Prestasi tersebut menggembirakan karena diumumkan ketika situasi dunia sedang tidak stabil. Perang dagang, Brexit, kondisi Jepang, dan lain-lainnya, sedang tidak pasti.
Dampak global ke Indonesia juga menjadi tidak menentu. Kadang modal asing masuk, tapi bisa juga tiba-tiba keluar. Di sisi lain hasil ini merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki berbagai kekurangan agar bisa memanfaatkan momentum dengan lebih baik.
Indonesia misalnya, harus terus membangun infrastruktur, terus memperdalam pasar keuangan, membereskan inefisiensi yang masih terjadi, sinkronkan gerak pusat-daerah. Investasi adalah kuncinya. Karena itu, sinyal-sinyal perbaikan harus kita kirim terus ke pelaku bisnis. Membangun infrastruktur, menstabilkan harga, termasuk menstabilkan kondisi keamanan dan ketertiban serta iklim sosial-politik yang kondusif.
Tidak cukup, hasil penelitian Nielsen dan The Conference Board Global Consumer Confidence Survey merilis hasil studi yang menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia relatif stabil di angka 125 pada kuartal pertama 2019 dibanding kuartal empat 2018.
Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat negara paling optimistis di dunia. Menurut Nielsen, IKK dipengaruhi oleh tiga indikator yang dihitung selama 12 bulan ke depan, yakni optimisme konsumen terhadap prospek lapangan kerja lokal, keadaan keuangan pribadi, dan keinginan untuk berbelanja.
Berdasarkan riset mereka, optimisme terhadap prospek lapangan kerja lokal meningkat dari 68 % di kuartal empat 2018 menjadi 72 % di kuartal pertama 2019. Selanjutnya,
83 % konsumen memiliki persepsi positif mengenai keadaan keuangan pribadi mereka, meningkat dari 79% di kuartal sebelumnya.
Sementara itu, lebih dari setengah konsumen (56 %) menyatakan bahwa waktu 12 bulan ke depan adalah waktu yang baik untuk berbelanja barang-barang yang mereka inginkan dan butuhkan. Namun, untuk indikator terakhir ini ada penurunan persentase dari sebelumnya 63% di kuartal terakhir 2018.
Secara global, Nielsen melihat IKK stabil dengan penurunan hanya sebesar satu poin, dari 107 pada kuartal empat 2018 menjadi 106 pada kuartal satu 2019. (E-1)