Banyak jalan menuju Roma. Pepatah ini sepertinya sesuai untuk menggambarkan optimistis yang bergulir pada pertemuan singkat antara Presiden Joko Widodo dan pengurus KADIN (Kamar Dagang dan Industri) di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (12/5/2019). Diskusi tersebut membuahkan beberapa butir rekomendasi tentang terobosan, di tengah problem ekonomi akibat pelambatan global yang diperburuk oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina.
Salah satu jalan yang disorongkan adalah tekstil. Lama tak banyak tersorot, ternyata industri tekstil mencatat kinerja yang menggembirakan. Industri ini tumbuh ketika banyak cabang industri lainnya tertekan. Pada 2018, tekstil tumbuh 8,73%. Tren itu terus berlanjut. Pada kuartal I/2019, di tengah perang dagang AS-Cina yang makin memanas, tekstil Indonesia tumbuh semakin kokoh, mencapai 19%.
Lonjakan dari sektor tekstil di kuartal I 2019 ini utamanya disokong oleh industri pakaian jadi yang mencatat rekor tumbuh 29,2%. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan, produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) selama triwulan I 2019 hanya tumbuh 4,45%. Momentum tekstil ini patut mendapatkan dukungan yang memadai. Produk tekstil-garmen, yang lebih populer disebut tekstil dan produk tekstil (TPT) itu punya peluang untuk mengisi produk Cina yang dikenai pajak tinggi di pasar AS.
Perkembangan terbaru industri tekstil dan pakaian jadi (garmen) ini patut disambut gembira. Sejak beberapa dekade lalu tekstil telah menjadi andalan ekspor Indonesia. Hanya saja sejak 2013 tekstil dan garmen mengalami pelambatan. Kinerja ekspornya cenderung menurun, meski tak begitu tajam. Namun, pada 2018 tanda-tanda kebangkitan mulai tampak. Ekspornya mencapai USD13,22 miliar, terkerek 5,55% dari tahun 2017. Tekstil dan garmen ini juga masih bersifat padat karya, dan mampu menyerap tenaga kerja sampai 3,6 juta.
Peningkatan kinerja industri tekstil dan garmen sejak 2018 itu tak lepas dari adanya investasi yang cukup besar di sektor hulu, khususnya untuk produksi rayon (benang tekstil). PT Asia Pacific Rayon (APR) di Riau, misalnya, telah menanamkan investasi Rp11 triliun, untuk pabrik baru yang mulai berproduksi pada 2018.
Menurut catatan di Kementerian Perindustrian, APR pun menambah kapasitas produksinya sampai 240 ribu ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 120 ribu ton diekspor dan selebihnya untuk kebutuhan industri dalam negeri akan rayon yang lebih murah tapi dengan mutu yang lebih prima. Pasokan ini pada gilirannya juga menggairahkan sektor hilirnya. Ekspor tekstil dan garmen naik 1,1% pada triwulan I 2019, sementara pada periode yang sama impornya turun 2%.
Mau tidak mau, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) harus masuk skema industri 4.0, agar dapat bersaing. Kebutuhan investasi tak terhindarkan. Toh, Kementerian Perindustrian yakin investasi itu akan menguntungan, mengingat pasar domestik Indonesia yang sangat besar dengan penduduknya yang mencapai 265 juta. Tak heran bila industri TPT ini masuk ke dalam prioritas pemerintah dalam skema Makin Indonesia 4.0 yang kini sedang digencarkan oleh Kementerian Perindustrian. Adapun targetnya, masuk lima besar dunia pada 2030.
Pemerintah pun mendorong industri TPT melakukan transformasi segera, dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital, seperti 3D printing, automation, dan pemanfaatan internet of things (IOT). Transformasi tersebut diyakini bisa mendongkrak produktivitas dan kualitas sekaligus, secara efisien, serta membangun klaster industri TPT yang terintegrasi dengan industri sarat teknologi atau industri 4.0.
Modal dasarnya sudah tersedia. Struktur industri TPT sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir, dan produknya juga dikenal baik di pasar internasional. Dengan pertumbuhan ekonomi dan pergeseran permintaan dari pakaian sehari-hari (basic clothing) menuju pakaian yang lebih fungsional, seperti baju olahraga dan seragam kerja, industri TPT nasional tinggal menyesuaikan kemampuan produksi dan meningkatkan skala ekonominya agar dapat memenuhi permintaan domestik maupun ekspor.
Namun, untuk keperluan jangka pendek, demi memanfaatkan momentum yang ada, memang perlu insentif khusus. Penurunan biaya logistik, terutama transportasi darat dan laut, masih menjadi isu penting. Selebihnya, seperti yang terekam dalam pertemuannya dengan Presiden, reformasi pajak dan penyesuaikan pajak pendapatan badan usaha (PPH) menuju ke 17-18% (dari sebelumnya 25%) juga mengemuka.
Isu-isu tersebut dianggap penting untuk merealisasi target, bahwa pada 2025 nilai ekspor TPT Indonesia bisa menembus USD30 miliar per tahun. (P-1)