Inflasi periode Mei sudah kembali ke kisaran yang sesuai dengan sasaran bank sentral, yakni sebesar 2 persen--4 persen secara tahunan.
Inflasi tahunan ( persen)
April 2022 3,47
Mei 2022 3,55
Juni 2022 4,35
Juli 2022 4.94
Agustus 2022 4,69
September 2022 4,69
September 2022 5,95
Oktober 2022 5,71
November 2022 5,42
Desember 2022 5,51
Janu 2023 5,28
Februari 2023 5,47
Maret 2023 4,97
April 2023 4,33
Sumber: BPS
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Mei 2023. Inflasi pada periode itu tercatat sebesar 0,09 persen (mtm) atau turun dibanding inflasi bulan sebelumnya, sebesar 0,33 persen (mtm).
Masih berdasarkan data BPS, inflasi IHK secara tahunan menjadi 4,00 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumya, sebesar 4,33 persen (yoy).
Adanya kabar inflasi yang tetap terkendali tentu menjadi angin segar bagi bangsa ini di tengah-tengah perekonomian global yang belum juga membaik. Lantas, bagaimana bacaan BPS mengenai kondisi inflasi periode Mei 2023?
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, tren melandainya tingkat inflasi di Indonesia telah terjadi sejak akhir kuartal I-2023. "Inflasi tahunan konsisten mengalami penurunan sejak Maret 2023," ujar Pudji, dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (5/6/2023).
Sebagai informasi, inflasi pada Maret 2023 tercatat sebesar 4,97 persen secara yoy. Kemudian, inflasi menurun pada April 2023 menjadi 4,33 persen yoy, dan melanjutkan penurunan pada Mei 2023.
Nah, apa saja yang menjadi penyumbang utama inflasi Mei 2023? BPS menyebutkan, penyumbang utama inflasi periode itu adalah kelompok transportasi. Kelompok ini mencatat inflasi sebesar 10,62 persen secara tahunan dengan andil sebesar 1,29 persen.
Kemudian, kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan sumbangan inflasi sebesar 4,27 persen dengan andil pada inflasi sebesar 1,13 persen. Berikutnya, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga mencatat inflasi 2,48 persen secara tahunan dengan andil sebesar 0,48 persen.
Berikutnya dari sisi komoditas, penyumbang terbesar datang dari komoditas bensin dengan andil 0,91 persen, beras (0,38 persen), rokok kretek filter (0,23 persen), kontrak rumah (0,13 persen), dan bahan bakar rumah tangga (0,13 persen).
Merespons data inflasi periode Mei 2023, Bank Indonesia (BI) menilai bahwa inflasi periode itu sudah kembali ke kisaran sesuai dengan sasaran bank sentral yang sebesar 2 persen--4 persen secara tahunan. Meski, memang masih berada di batas atas.
Kondisi ini juga mengartikan bahwa inflasi IHK kembali ke kisaran sasaran lebih cepat dari perkiraan BI sebelumnya. Sebagai informasi, jajaran Dewan Gubernur BI pada bulan lalu memperkirakan, inflasi kembali ke kisaran sasaran pada kuartal III-2023 atau paling cepat di Agustus 2023.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, perkembangan ini tidak terlepas dari respons kebijakan moneter Bank Indonesia yang pre-emptive dan looking forward serta sinergi erat pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra strategis lainnya dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).
“Semua itu terintegrasi melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah,” ujar Erwin dalam siaran persnya, Senin (5/6/2023).
Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen pada sisa 2023.
Butuh Stimulasi
Merespons tren inflasi tersebut, Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani menilai, perlunya pemerintah memberikan stimulasi konsumsi yang sifatnya produktif, seperti stimulasi dan perluasan usaha, demi mendongkrak konsumsi masyarakat. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan stimulasi konsumsi atau daya beli secara berlebihan karena tingkat inflasi sudah terkendali.
“Jadi bentuk intervensi yang ideal lebih kepada stimulasi investasi dan perluasan usaha. Ini bisa dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk seperti peningkatan insentif investasi, perluasan pinjaman usaha dengan bunga ringan untuk UMKM, deregulasi dan simplifikasi prosedur ekspor, dan lain sebagainya,” ujar Shinta.
Shinta berpendapat, pertumbuhan konsumsi jika distimulasi secara berlebihan, misalnya seperti pada masa pandemi (2020--2021), akan mengganggu capaian inflasi/potensi overheating dan tidak akan sustainable untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya secara tidak langsung akan menciptakan kondisi yang sama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa ketika mereka mengalami pandemi, yakni overstimulasi konsumsi domestik sehingga inflasinya menjadi tidak terkendali.
“Karena itu saya rasa, stimulasi konsumsi pasar domestik yang lebih berguna untuk jangka pendek bisa dilakukan dengan penurunan pajak PPN, pencairan THR PNS, distribusi subsidi-subsidi yang sudah dianggarkan, dan realisasi APBN yang lebih cepat sudah cukup,” jelas Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu.
Dia menilai, tidak ada urgensi untuk menciptakan stimulasi lain yang sifatnya lebih konsumtif. “Sebaiknya insentif produktif, seperti yang disebutkan sebelumnya, ditujukan agar daya beli masyarakat terdongkrak secara berkelanjutan,” ucap Shinta.
Berkaitan dengan pelemahan permintaan pasar, khususnya pasar internasional, Shinta menilai, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apabila Indonesia mau meningkatkan perdagangan/ekspor dengan kondisi saat ini hanya ada tiga cara. Pertama, diversifikasi pasar tujuan ekspor, diversifikasi produk ekspor unggulan dan peningkatan affordability serta daya saing faktor produksi di dalam negeri termasuk segala hal yang menyangkut pembiayaan dan supply chain ekspor manufaktur.
Bagaimana prediksi inflasi hingga akhir tahun? Gubernur BI Perry Warjiyo pun optimistis inflasi bisa turun lebih cepat dari perkiraan. Bahkan dirinya meyakini inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat segera kembali ke dalam kisaran sasaran 2 persen-4 persen pada kuartal III-2023.
Menurutnya, konsistennya tingkat inflasi di level itu tidak terlepas dampak positif dari konsistensi kebijakan moneter, khususnya kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Selain itu, eratnya sinergi pengendalian inflasi antara BI dan pemerintah dalam TPIP dan TPID melalui penguatan GNPIP.
"Terima kasih atas kerja sama GNPIP dengan TPIP-TPID. Oleh karena itu kami terus meyakini bahwa inflasi akan terkendali ke depan," ujar Perry dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/6/2023).
Harapannya, hingga akhir 2023, Perry memperkirakan, inflasi bisa turun ke level 3,3%. Sementara itu, pada tahun depan Perry memperkirakan inflasi bisa diturunkan lagi pada kisaran 1,5 persen--3,5 persen.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari