Ekspor produk nikel Indonesia masih didominasi produk setengah jadi, belum sampai ke produk yang lebih hilir.
Pemerintah terus mendorong pelaku industri untuk melakukan pendalaman industri manufakturnya, yakni melalui kebijakan hilirisasi berbasis sektor primer.
Tentu banyak manfaat yang bisa diraih melalui kebijakan tersebut. Salah satunya, melalui program hilirisasi, manfaat yang akan diperoleh adalah terciptanya nilai tambah bagi perekonomian nasional, di antaranya, peningkatan pada investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri, semakin terakselerasi.
Terkait komitmen pemerintah melalui program hilirisasi terhadap produk sumber daya alam, bila dahulu komoditas yang diekspor itu berupa tanah dan air (konsentrat) saja, kini pemerintah mulai melarang ekspor konsentrat. Pemerintah lebih mendorong ekspor bernilai tambah.
Dalam rangka itulah, wajar saja jika kini terus tumbuh industri pengolahan, termasuk komoditas nikel. Memang tekad kuat pemerintah mendorong hilirisasi harus diakui mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Sebut saja data Kementerian Perindustrian yang menyebutkan bahwa hingga kini sudah berdiri dan beroperasi sebanyak 34 smelter nikel. Sayangnya dari sejumlah smelter yang telah beroperasi itu, baru empat yang telah menghasilkan produk turunan hilirisassi nikel. Artinya, smelter yang ada saat ini baru menghasilkan produk setengah jadi.
Realitas operasional smelter yang masih minim itu terungkap di Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (8/6/2023). Dalam rapat itu, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate), Kementerian Perindustrian, Taufik Bawazier mengungkapkan, volume ekspor feronikel tahun lalu mencapai 5,7 juta ton.
Sementara itu, produk turunan seperti stainless steel slab hanya sekitar 1,8 juta ton. "Ekspor produk nikel kita masih didominasi produk setengah jadi, belum sampai ke produk yang lebih hilir," ujarnya.
Taufik menjelaskan, hilirisasi nikel melalui metode hydrometallurgy mampu menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebanyak tiga perusahaan smelter yang menggunakan metode tersebut telah beroperasi dan satu smelter masih dalam tahap studi kelayakan.
Menurutnya, keempat smelter itu mampu memasok kebutuhan bahan baku ke dalam ekosistem kendaraan listrik dalam negeri. Sebagai gambaran, sebuah produk baterai itu biasanya membutuhkan nikel per kWh baterai sebanyak 0,77 kilogram, mangan sebanyak 0,096 kg, dan kobalt sebanyak 0,096 kg.
Taufik pun menyebutkan, sebanyak 93 persen bahan baku tersebut ada di Indonesia. Hanya ada sekitar 7 persen bahan baku berupa litium yang masih perlu diimpor.
Sebagai informasi, Indonesia tercatat sebagai produsen utama produk nikel dunia. Dahulu, produk nikel itu diekspor dalam bentuk tanah dan air (konsentrat).
Lahirnya kebijakan pemerintah, yakni agar ekspor komoditas berbentuk produk jadi seperti pig iron atau feronikel, telah mendongkrak nilai komoditas itu, baik secara nilai maupun volumenya. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan ekspor produk nikel kini sudah mencapai USD28,39 miliar dengan volume mencapai 10,74 juta ton pada 2022.
Dari gambaran di atas, sumbangan komoditas nikel yang bernilai tambah telah menaikkan nilai komoditas itu menjadi berlipat-lipat. Artinya, kebijakan yang telah diambil pemerintah sudah benar untuk mendorong negara ini menjadi negara maju.
Dalam konteks sebagai sebuah ekosistem, Indonesia sebagai penghasil bahan baku nikel kemudian memprosesnya menjadi bahan jadi atau setengah jadi dan kemudian langsung digunakan kalangan pabrikan yang juga berada di dalam negeri. Hal itu telah menciptakan satu integrasi industri, sebagaimana harapan yang pernah diucapkan Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita dalam satu kesempatan. Di mana, menurut dia, pemerintah terus bertekad untuk memperkuat hilirisasi di sektor industri manufaktur.
“Sebab, multiplier effect (efek berganda) bagi perekonomian nasional, antara lain adalah meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menarik investasi masuk di tanah air, menghasilkan devisa besar dari ekspor, dan menambah jumlah serapan tenaga kerja,” ujar Menperin.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari