Ada fenomena sosial yang menjadi ciri Indonesia, yang menghiasi hari raya lebaran, yaitu mudik. Sebuah proses migrasi kolosal dari kota-kota urban ke pedesaan. Melibatkan jutaan manusia yang bergerak hampir secara berbarengan.
Namun, mudik bukan hanya fenomena sosial dan budaya. Mudik juga peristiwa ekonomi yang luar biasa. Menurut hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan RI, ada sekitar Rp10,3 triliun dana yang akan dibawa pemudik ke kampung halamannya.
Kesimpulan ini didapat dari proyeksi dari hasil survei yang dilakukan pada pemudik tahun lalu. Menurut data ini, sekitar 20 persen pemudik akan menghabiskan dana sekitar Rp500 ribu sampai Rp1,5 juta di kampung halamannya. Sementara itu, 21 persen pemudik lain bakal menghabiskan Rp1,5 juta sampai Rp2,5 juta.
Dana tersebut paling banyak mengalir ke Jawa Tengah sekitar Rp3,8 triliun, ke Jawa Barat Rp2,05 triliun, dan ke Jawa Timur Rp1,3 triliun. Angka itu di luar biaya transportasi yang dihabiskan pemudik. Hitungannya pemudik dari Jakarta saja menghabiskan Rp6 triliun lebih untuk biaya transportasi, termasuk transportasi lokal.
Namun angka yang disajikan Dephub ini sepertinya tidak terlalu optimis. Sebuah studi dari Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menyajikan dari sisi jumlah, mereka yang mudik diperkirakan mencapai 33 juta orang. Sementara itu, Dephub hanya menghitung 19 juga orang saja.
Menurut IDEAS ini jumlah uang yang berputar selama mudik mencapai Rp197 triliun yang berasal dari pengeluaran selama mudik Rp138 triliun dan remintasi yang dibawa Rp59 triliun.
Pemudik berbelanja berbagai kebutuhan lebaran, kebutuhan konsumsi, dan pariwisata. Itu semua diperkirakan akan menghabiskan sebagian besar alokasi dana mudik mereka.
Jika saja angka Rp197 itu benar, tandanya sebagian besar uang tunai yang disiapkan Bank Indonesia akan berputar di tangan pemudik. Pada 2019 ini Bank Indonesia (BI) memprediksi kebutuhan uang kartal selama masa Idul Fitri mencapai Rp217,1 triliun, meningkat 13,5% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp191,3 triliun.
Jumlah peredaran uang mudik ini tergolong sangat fantastik mengingat hanya terjadi dalam rentang yang singkat. Angka tersebut setara dengan 9% APBN 2018 atau 1,3% Produk Domestik Bruto Indonesia. Fenomena ini menggambarkan di Indonesia ada redistribusi kekayaan secara alami yang terjadi setiap tahun.
Setiap momen mudik ada kesempatan daerah dan desa untuk menggeliatkan ekonominya disebabkan karena uang yang dibawa para pemudik akan memutar roda ekonomi. Apalagi ditambah dengan program dana desa Rp1 miliar per tahun yang juga akan membantu desa mengembangkan dirinya.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, fenomena mudik ini juga merupakan pendorong geliat pariwisata di daerah. Setelah tren wisata turun selama Ramadan, pascalebaran ini angka itu akan melesat lebih tinggi. Menurut hitungan Arief, ada potensi Rp200 triliun yang bakal berputar di sektor parisiwisata pada lebaran kali ini
Menurutnya dampak terbesar dari perputaran uang mudik akan dinikmati sektor pariwisata, terumata industri kuliner. Angkanya bisa mencapai 70% dari total pengeluaran wisata.
Wahasil mengacu pada catatan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II sebesar 5,27%. Pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan kuartal yang paling tinggi sepanjang 2018. Tidak bisa disangkal, lebaran menjadi salah satu faktor terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Konsumsi rumah tangga adalah salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi yang masih diandalkan. (E-1)