Laju ekonomi dunia yang melambat sejak dua tahun belakangan, termasuk juga dampak perang dagang Amerika Serikat-Cina, secara tidak langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Bahkan, krisis ekonomi global ini diprediksi terus berlanjut hingga beberapa tahun mendatang.
Kondisi inipun sebenarnya sudah diprediksi oleh organisasi perdagangan dunia (WTO), Dalam rilisnya belum lama ini, lembaga itu telah memberikan prediksi bahwa perdagangan dunia selama 2019 dan 2020 akan tetap menuju ketidakpastian menyusul terus berlanjutnya perang dagang dua raksasa ekonomi dunia—AS dan Cina.
Pernyataan WTO itu juga diperkuat dari sinyalemen para ekonom lembaga ini yang masih pesimis terhadap peta perdagangan dunia. Bahkan, mereka juga memprediksi pertumbuhan di sektor perdagangan barang telah jatuh menjadi 2,6% pada 2019 dari semula 3% pada 2018.
Hanya saja, mereka juga memberikan rasa optimistis berupa prediksi pulihnya kembali pertumbuhan menjadi 3% pada 2020. Walau mereka mengingatkan adanya syarat terjadinya pertumbuhan itu pulih kembali bila tensi perang dagang juga menurun.
Dirjen WTO Roberto Azavedo sendiri sudah memberikan ilustrasi betapa sangat berbahayanya bila perdagangan dunia masih dihantui dengan masih terus memanasnya perang dagang. “Bila tensi dagang tetap memanas, tidak satu negara pun senang dengan outlook tersebut. Perdagangan tidak bisa berjalan mendorong pertumbuhan sepanjang masih terus berlangsungnya ketidakpastian.”
Terlepas dari makro ekonomi dunia yang masih diselimuti ketidakpastian, ekonomi Indonesia sebenarnya masih tetap di jalurnya. Sesuai dengan pernyataan Bank Indonesia, defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal pertama 2019 masih USD7 miliar.
Nilai sebesar itu setara dengan 2,6% produk domestik bruto (GDB). Tapi, angka itu masih lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal IV 2018 yang mencapai USD9,2 miliar atau 3,6% dari PDB. "Penurunan defisit neraca transaksi berjalan terutama didukung oleh peningkatan surplus neraca perdagangan barang," jelas BI dalam laporannya, Jumat (10/5/2019).
Kondisi ini memang membuat pelaku usaha tidak begitu gembira meski masih tetap mengucap syukur. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun ikut sumbang saran agar Indonesia tidak ikut dalam kubangan yang sama, yakni meratapi ketidakpastian tersebut.
Bangsa ini, sebut Kadin, perlu segera mencari peluang baru, yakni pasar ekspor baru atau pasar nontradisional memiliki potensi yang sangat menjanjikan bagi peningkatan ekspor Indonesia, seperti ke Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Utara, dan Amerika Latin.
Segendang seirama, dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengamini Indonesia harus segera mengantisipasi hal tersebut dengan meningkatkan ekspor khususnya membuka akses ke pasar baru atau nontradisional.
Strategi Matang
Meski demikian, Darmin mengatakan, pemilihan pasar nontradisional tujuan ekspor memerlukan strategi yang matang. "Untuk meningkatkan akses pasar nontradisional perlu menimbang potensi permintaannya sebesar apa. Bisa kita pantau dari jumlah penduduknya, lalu pertumbuhan ekonominya bagaimana, begitu juga pendapatan per kapitanya," ujarnya, di Jakarta, belum lama ini.
Darmin mengatakan, pasar nontradisional yang berpotensi tinggi berada di dua benua, yakni Afrika dan Asia. Di Afrika, disebutkan, Algeria, Mesir, Ghana, Pantai Gading, Moroko, Mozambik, Nigeria, dan Afrika Selatan. Sedangkan di negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.
Sependapat dengan Darmin, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengakui, pemerintah perlu bekerja keras untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia terus melebar seiring ekspor yang terus turun. Bahkan, saat impor mengalami penurunan pun, angka ekspor ikut turun. Menurut Enggartiasto, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina tak hanya menyebabkan ekspor Indonesia terganggu, tapi juga secara global.
Menteri Perdagangan mengakui pemerintah harus mengatur strategi untuk mengambil tindakan tepat. Salah satunya dengan mencari peluang di tengah perang dagang dua negara raksasa ekonomi tersebut. "Kita harus mencari peluang. Kalau tidak bisa mencari peluang, maka ekspor kita akan terus berkurang," ujar Enggar di kantor Kemendag, Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Sebenarnya, yang menderita dari melesunya ekonomi dunia bukan hanya dirasakan Indonesi. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam juga merasakan dampaknya. Alhasil, merekapun kini cukup agresif mencari peluang pasar baru tersebut.
Kemendag juga telah memiliki strategi untuk menawarkan produk yang bisa ditawarkan untuk mendongkrak kinerja ekspor negara ini. Beberapa komoditas itu, antara lain, makanan dan minuman, tekstil, minyak kelapa sawit, karet, hingga otomotif.
“Kami memiliki sejumlah upaya. Dua di antaranya berusaha menjaga pasar yang sudah ada, serentak mencari pasar-pasar baru. Kami mengakui kondisi yang terjadi ini penuh ketidakpastian. Namun, yang bisa Indonesia lakukan adalah menjaga langganan kita, jaga market yang ada, dan kita percepat seluruh perjanjian kalau tidak di tahun depan kita akan sangat tertinggal," tutur Enggartiasto.
Perdagangan dunia tidak dipungkiri mengalami ketidakpastian akibat masih berlangsungnya perang dagang AS-Cina sehingga berdampak bagi ekonomi dunia. WTO pun telah memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia 2019 menjadi 2,9%.
Namun, negara ini tidak bisa berdiam diri merenungi ketidakpastian tersebut. Negara ini harus bangkit, mencari strategi untuk keluar dari ketidakpastian. Dan, itu artinya adalah mencari pasar baru. (F-1)