Bank Indonesia (BI) mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2019 sebesar USD7 miliar atau 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai USD9,2 miliar atau 3,6% dari PDB.
Kondisi ini menyedot perhatian Presiden Joko Widodo. Beberapa kali Presiden minta memprioritaskan dunia usaha mendorong ekspor dan investasi lima tahun mendatang.
Pernyataan terakhir disampaikan Jokowi saat menerima jajaran pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) di Istana Merdeka, Jakarta, pertengahan Juni lalu.
Jokowi meminta bantuan para pengusaha untuk mendorong ekspor dan investasi sehingga bisa bersaing dengan negara lain. Menurut dia, nilai ekspor dan investasi Indonesia saat ini kalah dari sejumlah negara-negara di Asia Tenggaran seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Jokowi menilai peningkatan ekspor dan investasi dapat mengatasi defisit neraca perdagangan saat ini. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan neraca dagang Indonesia pada April 2019 defisit USD2,5 miliar atau setara Rp36 triliun. Angka ini merupakan yang terdalam sepanjang sejarah.
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diperkirakan bakal mempengaruhi perdagangan dunia, termasuk di negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia. Perang tarif bea masuk yang mulai diberlakukan akan mendorong kedua negara tersebut untuk mencari pasar baru. Ini yang menjadi perhatian semua negara-negara di dunia saat ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan barang ekspor AS dan Tiongkok akan membanjiri negaranya jika tidak diantisipasi.
Lecutan motiviasi Jokowi ini sudah beberapa kali diuggkapkan. Tahun lalu, Presiden Joko Widodo dalam sebuah forum pengusaha mengingatkan ekspor Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Bahkan kini ekspor Vietnam telah mengalahkan Indonesia.
Jokowi mengungkapkan, nilai ekspor Thailand telah mencapai USD231 miliar, kemudian disusul Malaysia sebesar USD184 miliar dan Vietnam USD160 miliar. Sedangkan nilai ekspor Indonesia saat ini baru sekitar USD145 miliar.
"Ini fakta, negara sebesar kita ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta, dengan resource, dengan SDM yang sangat besar kita kalah," ujar presiden waktu itu.
Melihat angka-angka tersebut, tampaknya ada yang salah dengan aktivitas ekpor yang selama ini dijalankan oleh Indonesia. Sebab dengan jumlah penduduk yang besar harusnya Indonesia bisa menghasilkan lebih banyak produk yang bisa diekspor ke negara lain.
"Ini ada yang keliru, ini yang harus diubah. Kalah dengan Thailand penduduknya 68 juta penduduk bisa ekspor USD231 miliar, Malaysia USD184 miliar, Vietnam juga sama, baru beberapa tahun merdeka bisa ekspor USD160 miliar. Ini perlu saya ulang-ulang supaya kita sadar ada yang keliru dan banyak yang keliru. Yang rutinitas kita lakukan bertahun-tahun tanpa ada perubahan apapun," jelas dia.
Jika rutinitas yang terkait dengan kegiatan ekspor ini terus dibiarkan dan tidak diubah menjadi lebih baik dan efektif, maka Indonesia akan tertinggal dari negara-negara antara lain Laos dan Kamboja.
Ketertinggalan besaran nilai ekspor Indonesia dengan tetangga sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Bandingkan dengan Vietnam, Thailand struktur ekspor barang industrinya masing-masing mencapai 76,9% dan 62% dari total ekspor. Sekitar 70% ekspor Indonesia juga ke negara-negara tradisional seperti China, Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang dan India.
Dari data yang diperoleh, ekspor RI sepanjang 2017, Indonesia hanya membukukan ekspor USD168,73 miliar atau Rp2.277 triliun sementara Vietnam mencapai USD214,01 miliar (Rp2.889 triliun). Bahkan, hanya pada Januari-November 2017 saja nilai ekspor Thailand sudah USD215,19 miliar (Rp2.905 triliun).
Di samping Vietnam dan Thailand, negara ASEAN lain yang menunjukkan performa cukup baik adalah Malaysia. Mengutip data Malaysia External Trade Development Corporation (MATRADE), pada Januari – November 2017 ekspor Negeri Jiran itu mencapai RM856,05 miliar (Rp2.996 triliun). Apabila melihat dari sisi pertumbuhan year-on-year (YoY), ekspor Indonesia pada 2017 tumbuh 16,22% atau masih di bawah Vietnam 28,92% dan Malaysia 20,37%.
Tertinggalnya ekspor Indonesia ini merupakan imbas dari nilai ekspor barang manufaktur Indonesia yang masih di bawah Malaysia dan Vietnam. Ekspor barang manufaktur Indonesia pada Januari-November 2017 tercatat USD114,67 miliar atau Rp1.548 triliun (74,52% dari total ekspor). Sementara itu, pada periode yang sama ekspor barang manufaktur Malaysia tercatat RM703,08 miliar atau Rp2.460 triliun (82,2% dari total ekspor).
Tampaknya masalah terletak pada ekspor dari Indonesia masih didominasi sumber daya alam. Imbasnya, nilai ekspor Indonesia pun bergantung kepada harga dan permintaan dunia. Sementara, Thailand, Vietnam, dan Malaysia sudah mengandalkan ekspor produk manufaktur yang harga dan permintaannya relatif lebih stabil.
Ole karena itu, memperkuat ekspor, bukan sekadar menambah volume ekspor barang, melainkan juga meningkatkan nilai dari barang. Caranya, dengan mengubah dari komoditas ke produk manufaktur dan jasa, hingga ke produk berbasis inovasi. Ekspor harus didukung industrialisasi. (E-2)