Indonesia.go.id - Tidak Muluk, hanya Minim Sosialisasi

Tidak Muluk, hanya Minim Sosialisasi

  • Administrator
  • Minggu, 30 Juni 2019 | 03:15 WIB
SISTEM ZONASI
  Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru untuk jalur zonasi di SMPN 10 Denpasar, Bali, Selasa (18/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Penerapan sistem zonasi penerimaan siswa baru menjadi polemik lagi. Bahkan di Malang orang tua calon murid, protes ke DPRD setempat. Ada kesalahan koordinat, ada kesalahan pemahaman, akibat sosialisasi yang minim.

Proses Penerimaan peserta didik baru (PPDB) sudah mulai dilakukan di sekolah negeri. Kini, PPDB turut menerapkan sistem kebijakan zonasi. Kebijakan tersebut sebenarnya sudah diterapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy sejak 2016.

Tujuan penerapan sistem zonasi ini untuk  mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Sistem zonasi  dibangun pemerintah agar penerimaan calon siswa baru tidak menekankan pada nilai. Sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah calon peserta didik dengan sekolah.

Dasar aturan sistem zonasi adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 51/2018, di mana sekolah wajib menerima calon peserta didik dengan kuota paling sedikit 90% berdomisili radius zona terdekat dari jarak rumah ke sekolah.

Sistem zonasi pendidikan bertujuan untuk mempermudah redistribusi guru berkualitas, menjamin pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, dapat mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik,  menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri. Dan diharapkan mampu membantu pemerintah dalam memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran.

Saat ini Kemendikbud telah berhasil memetakan sebanyak 2.580 zona pendidikan di seluruh Indonesia. Selanjutnya dari peta zona tersebut, Kemendikbud melakukan pendataan terhadap kondisi sarana dan prasarana sekolah, termasuk guru dan tenaga kependidikan.

Kebijakan zonasi tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaaan Peserta Didik Baru.

Pada bagian keempat peraturan tersebut mengatur soal kewajiban pemerintah daerah menerima paling sedikit 90 persen calon peserta didik yang berada di radius zona terdekat dari sekolah. Penentuan zona terdekat itu dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi setempat.

Dalam sistem ini setiap sekolah harus mendapatkan guru dengan kualitas yang baik tanpa adanya perbedaan signifikan antarsekolah. Sistem zonasi ini juga menerapkan rotasi guru di dalam zona sesuai dengan amanat aturan perundangan.

Pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona.  Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi.

Sistem zonasi akan menguatkan pendidikan karakter dan diharapkan menghilangkan praktik jual beli kursi dan pungli. Sistem zonasi ini akan menjadi cetak biru yang digunakan oleh Kemendikbud dalam upaya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di pendidikan, khususnya di sektor pendidikan formal dan nonformal. Kemudian juga untuk mencari formula penyelesaiannya. Sekaligus juga mencari jalan penyelesaian masalah-masalah itu secara terintegrasi, secara menyeluruh.

Kebijakan sistem zonasi ini bukan merupakan hal baru diterapkan sistem pendidikan di negara lain. Sistem penerimaan siswa baru berdasarkan zona tempat tinggal sudah dilaksanakan beberapa negara lain, seperti Inggris, Amerika, Australia, Finlandia, Kanada, dan Jepang.

Hasil penelitian terhadap kebijakan zonasi sekolah di Inggris (2014) menunjukkan, pemberlakuan kebijakan bersekolah di area tempat tinggal juga dapat meningkatkan kualitas akademik peserta didik. juga dipercaya dapat menyediakan ruang pengawasan lebih baik bagi para orang tua terhadap anaknya. Orang tua dapat dengan mudah memberikan pengawasan pascakegiatan belajar-mengajar di sekolah selesai.

Sehingga harapannya, dengan adanya pengawasan yang komprehensif dari guru di sekolah dan orang tua di rumah, berbagai kasus kekerasan terhadap anak, kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas, pornografi, hingga doktrinasi radikalisme yang terjadi akibat peralihan waktu pengawasan oleh sekolah ke keluarga yang terkadang tidak sinkron dapat diminimalisasi.

Namun demikian, sistem zonasi ternyata juga memiliki kekurangan. Hal inilah yang banyak menimbulkan kritik tajam. Kekurangan sistem zonasi ini, salah satunya dirasakan oleh puluhan wali murid di Kota Malang.

Titik masalahnya ialah tentang peta koordinat PPDB sistem zonasi yang ternyata merugikan anak yang berumah dekat. Kendati jarak rumah ke sekolah yang didaftarkan dekat, tetap saja anak tersebut gagal lolos PPDB. Panitia PPBD sistem zonasi dianggap memanfaatkan aplikasi peta google yang kerap tidak akurat. Dengan selisih beberapa meter saja, bisa membuat calon murid gagal PPDB.

Sosialisasi yang minim dan penerapan sistem yang tidak jelas membuat masyarakat kesulitan mendaftarkan anak dalam sistem zonasi. Ada orang tua yang anaknya ditolak meski jarak rumah sudah berdekatan dengan sekolah. Ada juga orang tua yang masih keliru, mendaftarkan anak tanpa pertimbangan jarak.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuraza Azzahra menganggap niat baik pemerintah dalam menerapkan sistem zonasi belum diiringi oleh persebaran kuantitas sekolah yang merata di seluruh daerah di Indonesia. Saat ini, kata Nadia, pemerintah belum sanggup menyediakan sekolah yang berada di daerah padat penduduk.

Hal tersebut terlihat antrean panjang PPDB di beberapa wilayah padat penduduk sehingga terjadi kelebihan jumlah calon peserta didik. Sebaliknya, di daerah lain mengalami kekurangan peserta didik akibat penduduk di wilayah tersebut sedikit.

Yang menjadi masalah adalah apabila tidak ada kecocokan supply dan demand dalam sistem ini. (E-2)