Indonesia.go.id - Instrumen Keuangan Berkelanjutan Mendorong Inovasi Negara G20

Instrumen Keuangan Berkelanjutan Mendorong Inovasi Negara G20

  • Administrator
  • Minggu, 27 Februari 2022 | 20:17 WIB
G20
  Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan pandangannya saat seminar Pertemuan Tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 atau Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (19/2/2022). Ia mengemukakan bahwa bank sentral berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengembangkan keuangan hijau dan berkelanjutan. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Bank Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengembangkan keuangan hijau dan berkelanjutan.

Tuntutan dunia yang berkelanjutan dan rendah emisi telah melahirkan sejumlah inovasi. Tuntutan itu juga mencakup pengembangan keuangan hijau yang berkelanjutan.

Isu itu juga mengemuka di tengah-tengah penyelenggaraan kegiatan G20. Mengambil tema “Meningkatkan Pemanfaatan Instrumen Keuangan yang Berkelanjutan (Scaling Up The Utilization of Sustainable Financial Instrument)”, sejumlah pembicara mengulas persoalan itu, Jumat (18/2/2022).

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, yang juga salah satu Koordinator Bidang Finance Track Presidensi G20 Indonesia bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengemukakan bahwa bank sentral berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengembangkan keuangan hijau dan berkelanjutan. Menurutnya, ada tiga strategi yang dilakukan untuk mendukung keuangan berkelanjutan.

Apa itu keuangan berkelanjutan? Sebuah instrumen keuangan yang merupakan upaya pengembangan sumber-sumber pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim dan menangani risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon.

"Pertama, kita harus meningkatkan green instrument dan green investment yang berperan penting dalam memperkuat ekonomi hijau dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif," ujar Perry.

Menurut Perry, instrumen hijau dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di sektor green energy, green transportation, green building, serta masih banyak lagi. Semua pembangunan tersebut dapat menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja.

Kedua, yaitu menciptakan ekosistem untuk ekonomi berkelanjutan. Menurut Perry, regulator harus bisa menciptakan ekosistem melalui penerapan kebijakan berbagai insentif seperti green taxonomy, verification services, green certificate issuer, dan green rating services.

Ketiga, pentingnya implementasi capacity building untuk meningkatkan pemahaman dan keahlian dari para otoritas global dan domestik, industri, hingga pelaku pasar. “Hal ini penting untuk mempercepat pengembangan ekonomi dan keuangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, Bank Indonesia meyakini upaya bersama antara pemerintah, otoritas, serta pelaku pasar akan menjadi motor penggerak percepatan pembangunan nasional yang hijau dan berkelanjutan," ujarnya.

Tak dipungkiri, ekonomi hijau, termasuk instrumen keuangan berkelanjutan alias sustainable finance instrument, akan terus berkembang. Bahkan, selama lebih dari satu dekade terakhir telah mencapai USD859 miliar atau sekitar Rp12.264 triliun pada tahun lalu.

Namun Perry berpendapat, pesatnya pertumbuhan masih menyisakan sejumlah tantangan yang penting dibicarakan dalam pertemuan para pemimpin dunia di Presidensi G20 Indonesia. Pasalnya, instrumen keuangan berkelanjutan telah berkembang, bukan hanya dari sisi volume, melainkan juga dari jenis instrumennya.

Keuangan berkelanjutan sudah merambah ke pasar modal, instrumen surat utang hijau atau green bond, hingga pinjaman hijau atau green loan.

Beberapa lembaga keuangan dunia juga telah mulai memanfaatkan instrumen pasar uang hijau, seperti green atau sustainable repo, green atau sustainable commercial paper, dan green atau environmental, social, and governance (ESG)-linked derivatives. “Namun, tantangannya masih banyak.”

Perry mengatakan, lebih dari separuh penerbitan obligasi berkelanjutan merupakan obligasi hijau atau green bond, sedangkan sisanya merupakan obligasi sosial dan obligasi berkelanjutan lainnya.

"Namun, pertumbuhan yang menggembirakan dari pembiayaan berkelanjutan masih kecil dibandingkan dengan total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target kolektif global dalam Kesepakatan Paris dan tujuan SDG's," kata Perry.

Pada kesempatan yang sama Ketua Perbanas, Kartika Wirjoatmodjo menilai, pandemi Covid-19 telah berperan dalam meningkatkan penerbitan ESG Bond. Hal itu terlihat dari peningkatan dua kali lipat penerbitan ESG bond pada 2020 yang mencapai USD698,7 miliar dibandingkan 2019 yang mencapai USD358,3 miliar.

"Tren ini mencerminkan tuntutan instrumen ESG serta pentingnya isu-isu ESG yang menyebabkan institusi keuangan membantu mengatasi masalah kesehatan, lingkungan, dan sosial," ujarnya.

Adapun penerbit ESG Bond pada 2020 terdiri dari Efek Beragun Aset (EBA,) korporasi finansial, pemerintah lokal, bank pembangunan, pemerintah korporasi nonfinansial, serta lainnya. Penerbitan ESG Bond pada 2020 merupakan bond berbentuk social bond, di antara dua jenis bond lainnya, yakni green bond dan sustainable bond.

"Di Indonesia, kami memang telah memulai dan terus membangun kerangka kerja serta ekosistem pendukung untuk keuangan yang berkelanjutan," ujarnya.

Kartika menjelaskan, implementasi keuangan yang berkelanjutan di Indonesia dimulai dengan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Fase Satu 2016--2019 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan/OJK sebagai langkah awal untuk meningkatkan kesadaran implementasi ESG dan adaptasi perubahan iklim menuju ekonomi rendah karbon.

Selanjutnya, pada 2021, OJK menerbitkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Fase Dua 2021-2025 yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi industri jasa keuangan serta kementerian dan lembaga terkait dalam meningkatkan implementasi ESG dan mengembangkan pembiayaan yang berkelanjutan.

Terakhir, pada Januari 2022, OJK telah merilis Taksonomi Hijau Indonesia edisi 1.0, sebagai pedoman dan acuan bagi industri jasa keuangan dalam mengindetifikasi dan melaporkan eksposur dan pembiayaan hijau.

Sementara itu, Katherine Koh (Global Climate Lead for Infrastructure & Natural Resources IFC) mengakui, kebutuhan instrumen termasuk bond yang berkelanjutan terus membesar, meski di negara berkembang porsinya masih kecil, yakni 5%. “Perlu terus upaya untuk mengembangkan instrumen keuangan hijau tersebut. Mereka semua membutuhkannya dalam konteks sustainable development goals (SDGs),” ujarnya.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari