Tiga pertemuan Health Working Group G20 sudah genap dilakukan. Ada kesepakatan soal prokes, pembiayaan penanganan pandemi, dan terkait demokratisasi pengetahuan.
Pandemi itu sulit diprediksi dan tidak akan pernah benar-benar berhenti. Kuman penyakit menular akan terus datang dan pergi. Pandemi Covid-9 memberikan pengalaman yang berharga, meskipun harus ditebus dengan mahal, karena 584 juta orang terjangkit, 6,43 juta meninggal, dan jumlah itu masih mungkin bertambah. Belum lagi, dampak ekonomi yang berkepanjangan yang ditimbulkannya.
Kelompok negara G20 berinisiatif untuk melembagakan adanya langkah global dalam pencegahan, membangun kesiapsiagaan, dan respons (prevention, preparedness, and response) atas pandemi di masa depan. Di bawah Presidensi G20 Indonesia 2022, agenda tersebut dipersiapkan melalui Health Working Group (HWG), yang bekerja dalam klaster Sherpa Track, sebutan untuk isu di luar urusan keuangan (finance).
Dengan host Kementerian Kesehatan, Indonesia telah menyelesaikan tiga babak perhelatan HWG. Babak pertama pertemuan internasional itu digelar di Yogyakarta pada akhir Maret lalu dan menghasilkan kesepakatan, antara lain, terkait protokol kesehatan di tengah pandemi. Di dalamnya, ada kesepakatan tentang standardisasi surveilans, diagnosis, kualitas vaksin, dan kesesuaian standar vaksinasi serta tes identifikasi. Hal yang disebut terakhir itu diperlukan demi menjamin agar orang-orang sehat bisa melakukan mobilitas, agar ekonomi masih bisa berjalan di tengah pandemi.
Pada pertemuan HWH kedua, yang digelar di Lombok pada awal Juni, disepakati adanya dukungan pembiayaan dari masyarakat dunia, dengan negara G20 sebagai motornya. Dukungan pembiayaan itu diperlukan agar seluruh masyarakat dunia bisa mengakses layanan surveilans, pemeriksaan, tes, dan pengobatan dalam situasi pandemi. Pembiayaan juga diperlukan untuk mitigasi, upaya untuk mengurangi risiko yang di dalamnya ada unsur pencegahan.
Pertemuan tahap ketiga telah pula selesai digelar di Nusa Dua, Bali, pada 22-23 Agustus 2022, dengan tema “Expanding Global Manufacturing and Research Hubs for Pandemic (Perluasan Pusat Manufaktur dan Penelitian Global untuk Pandemi)”. Rumusan dari tiga tahap pembahasan itu akan diboyong ke pertemuan tingkat Menteri Kesehatan G20 pada Oktober 2022, sebelum dibahas di KTT G20 pada November 2022 di Nusa Dua, Bali.
Berbagi Teknologi
Pertemuan Health Working Group ke-3 di Nusa Dua itu berlangsung secara online dan offlline. Acara yang dibuka oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin itu mengundang seluruh anggota G20, ditambah undangan khusus untuk lima negara, dan lima negara lainnya yang mewakili kawasan (Fiji, Kongo, Kamboja, Rwanda, Belize). Selain juga dihadiri oleh delegasi dari 14 organisasi international.
Dalam paparannya, Menkes Budi Gunadi menyatakan bahwa beberapa negara anggota G20, yakni Argentina, Brasil, India, dan Afrika Selatan mengusung inisiatif untuk memperkuat pusat manufaktur dan membangun pusat penelitian kolaboratif. Semua negara G20 dilibatkan pada penelitian kolaboratif tersebut.
Gagasan itu sebetulnya sudah bergulir di 2021, di saat Italia memegang Presidensi G20. Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 2022 kemudian melanjutkannya. Inisiatif itu berfokus pada aktivitas penelitian dan pembangunan kapasitas produksi vaksin, reagen, obat, dan alat kesehatan di negara anggota G20 berpenghasilan menengah.
Argentina, Brazil, Arab Saudi, Turki, India, dan Indonesia menyatakan kesiapan untuk ambil bagian dalam kegiatan itu. Diyakini Budi Gunadi, kesenjangan dalam hal kapasitas di antara negara-negara G20 akan memperlambat kesiapan dan respons menghadapi pandemi seperti Covid-19.
Sejumlah platform vaksin mutakhir telah dikembangkan. Ada platform m-RNA, viral vector, protein rekombinan, serta yang klasik inactivated vaksin, dengan efektivitasnya yang tinggi. Tapi sebagian besar vaksin m-RNA, misalnya, hanya dikembangkan dan diproduksi oleh perusahaan farmasi di negara berpenghasilan tinggi.
''Agar lebih siap menghadapi pandemi berikutnya, yang akan mengancaman kesehatan global, tiap negara harus memiliki akses dan kapasitas untuk mengembangkan vaksin, terapi, serta diagnostik, atau VTD, terlepas dari status ekonomi dan geografisnya,'' ujar Menkes Budi Gunadi.
Selain fokus pada vaksin, menurut Budi Gunadi, penting memastikan akses dan kapasitas yang adil dalam mengembangkan diagnostik. Tanpa diagnostik dan terapi, sulit untuk mencegah penularan lebih lanjut, mengobati secara dini, dan mencegah kematian.
Menkes Budi Gunadi juga menekankan, supaya jaringan ilmuwan global dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, dengan semangat kemitraan ilmiah serta berbagi sains dan teknologi. Penelitian dan pengumpulan data sains atas patogen yang mendadak muncul dan menyebar secara eksponensial, perlu dibagikan di antara sesama ilmuwan.
''Sangat penting untuk membangun dan memperkuat jaringan kolaboratif ilmuwan di bidang yang terkait kedaruratan kesehatan masyarakat,'' ucap Menkes Budi.
Menkes Budi pun menyebut, pusat penelitian bisa menjadi kerangka kerja untuk mendorong penelitian kolektif dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi, seraya menggabungkan beberapa ekosistem yang ada.
Regulasi Riset dan Manufaktur Global
Pertemuan ketiga HWG itu berakhir Selasa (23/8/2022) sore. ‘’Kami baru saja menyelesaikan HWG ketiga dengan beberapa poin penting terkait perluasan manufaktur, pusat terapi dan diagnostik, serta jaringan riset global," kata Rizka Andalusia, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes yang didapuk menjadi Ketua Pelaksana The Third Health Working Group itu.
Rizka Andalusia mengatakan, regulasi riset dan manufaktur global menjadi salah satu butir penting yang dibutuhkan semua negara untuk menghadapi pandemi di masa depan.“Pertama, kami sepakat tentang pentingnya penguatan regulasi dan harmonisasi untuk mendukung riset dan manufaktur,” ujarnya.
Kesepakatan kedua adalah tentang pentingnya penguatan penelitian multiregional, khususnya uji klinis, dan kemampuan berbagi ilmu dan teknologi di bidang farmasi. Negara-negara anggota G20, menurut Rizka, mendorong diterbitkannya aturan oleh organisasi internasional guna meningkatkan kemampuan penelitian dan manufaktur.
“Kemampuan ini harus dibangun untuk memiliki platform global yang lebih saling terhubung untuk memastikan demokratisasi pengetahuan,” jelas Rizka Andalusia.
Pertemuan tersebut juga membahas beberapa potensi kolaborasi G20 untuk mengidentifikasi hub biomanufaktur global, penelitian kolaboratif, dan mekanisme berbagi kemitraan antara publik dan swasta dalam ekosistem uji klinis, misalnya. Para delegasi juga membahas misi berkelanjutan dalam 100 hari awal tanggap darurat bantuan. “Pada 100 hari di awal tanggap darurat ini akan mencakup kebutuhan untuk menghindari duplikasi pekerjaan melalui koordinasi yang efektif,” kata Andalusia.
Keseluruhan kesepakatan tersebut dilakukan oleh 10 delegasi negara anggota G20 yang mengikuti pertemuan di Hotel Hilton Nusa Dua, Bali, dan delegasi lainnya yang mengikuti pertemuan secara online.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari