Patung wanitanya adalah simbolisasi dari Dewi Sri atau dikenal dengan Dewi Kesuburan. Sedangkan patung lelakinya adalah representasi dari Dewa Wisnu. Keduanya kemudian dipertemukan dan menjadi sebuah pasangan. Berkat keserasiannya, akhirnya pasangan ini dibuatkan patung yang menyerupai mereka dan diberi nama Loro Blonyo yang memiliki arti simbol kemakmuran serta keturunan atau juga dapat disebut kemakmuran dan kesinambungan.
Patung laki-laki memakai kuluk kanigara (tutup kepala para raja) berwarna hitam dengan garis kuning yang disusun secara tegak dan melingkar, dan menggunakan seperti setagen dan diberi sabuk melingkar. Posisi tangan ngapurancang (posisi kedua tangan diletakkan diatas pusar) serta posisi kaki bersila dengan telapak jari-jari kaki diperlihatkan.
Kemudian, patung wanitanya memakai busana khas Jawa yakni kemben dan ditambah dengan hiasan paes (riasan) di dahi. Bentuk rambut gelungan lengkap dengan mahkota bagian atas dan menggunakan sunduk mentul (sejenis hiasan di rambut). Posisi kaki sedang timpuh (sikap hormat) dengan bagian telapak dan jari kanan dan kiri terlihat.
Menurut catatan sejarah, patung Loro Blonyo berkaitan erat dengan kultur dan budaya. Hanya kaum priyayi etnis Jawa yang memilikinya. Dalam rumah joglo milik kaum priyayi tersebut, patung Loro Blonyo diletakkan di sentong atau bagian rumah tengah. Bagian ini dianggap sebagai wilayah pribadi suami dan istri.
Dalam perkembangan zaman, patung Loro Blonyo yang berasal dari zaman Jawa kuno, ternyata masih hadir di rumah-rumah masyarakat Jawa di zaman modern saat ini. Patung Loro Blonyo menjadi representasi pemilik rumah yang biasanya ditempatkan di luar kamar pribadi misalnya di ruang tamu atau ruang keluarga sebagai aksesoris interior ruangan.
Dewi Sri Mengajukan Tiga Syarat
Diceritakan, karena merasa kesepian di khayangan, Batara Guru menciptakan wanita cantik yang diberi nama Retno Dumilah. Karena cantiknya, Batara Guru jatuh cinta. Retno Dumilah yang disebut Dewi Sri menolak dengan cara mengajukan tiga syarat yang tak dapat dipenuhi Batara Guru. Batara Guru marah karena merasa ada dewa lain yang menghalangi niatnya. Ia mengutus Kala Gumarang untuk menyelidiki.
Sang utusan terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Sri. Ia lantas mengejar Dewi Sri kemanapun. Dewi Sri marah, Kala Gumarang dikutuknya jadi babi. Babi itu tetap mengejar Dewi Sri sampai ke dunia. Di tempat Dewi Sri tinggal tumbuhlah tanaman padi dan tanaman lain, serta terpancar cahaya kemilau.
Prabu Mangkukuhan dari kerajaan Medang melihat cahaya itu terpancar dari sosok wanita cantik. Ketika tahu wanita itu Dewi Sri, Batara Wisnu menjelma manunggal dengan Prabu Mangkukuhan dan mengambil Dewi Sri sebagai istrinya. Batara Wisnu yang mawujud Prabu Mangkukuhan itu ada yang menyebutnya sebagai Raden Sadana. Sementara itu rakyat memanfaatkan tanaman yang ditinggalkan Dewi Sri dengan memelihara serta menjaganya dari ancaman babi dan hama lainnya.
Kisah tersebut merupakan salah satu versi dari mitologi Jawa dan Nusantara tentang Dewi Sri sebagai Dewi Padi atau Dewi Kesuburan. Pasangannya Raden Sadana pengejawantahan Dewa Wisnu dikenal sebagai pemelihara kelestarian alam semesta. Keduanya merupakan suami-istri abadi yang menyandang misi ke dunia untuk menolong manusia menggapai kesejahteraan hidup.
Versi lain menyebutkan bahwa Dewi Sri dan Sadana adalah saudara kembar (kedhono-kedhini). Keduanya saling mencintai dan berhasrat menikah. Namun, tidak terlaksana karena mereka sekandung. Karena putus asa Sadana bunuh diri dengan harapan dapat reinkarnasi menjadi manusia lain dan menikah dengan Dewi Sri.
Sepeninggal Sadana, Dewi Sri hidup mengembara dan dikejar-kejar oleh Bathara Kala. Dewi Sri kemudian ditolong para petani. Sebagai balas jasa, dengan kesaktiannya Dewi Sri memberi para petani hasil sawah yang melimpah. Para petani pun membalas kebaikan Dewi Sri dengan cara mengabadikan Dewi Sri dan Raden Sadana dalam bentuk patung pengantin duduk berdampingan.
Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat petani tradisional di seluruh pulau Jawa ditemukan peninggalan tadisi ritual dan sesajian di sawah saat akan tanam hingga pascapanen. Konon tradisi bersih desa dan labuhan awalnya terkait dengan ritual itu. Upacara ritual itu dimaksudkan untuk mendapatkan panen yang berlimpah. Dan dilaksanakan di dalam atau di luar rumah.
Seiring berjalannya waktu, patung ini terus berkembang dan terbawa hingga masa sekarang. Perkembangan seni-rupa kontemporer patung ini pun mengalami perubahan bentuk, tak hanya dibuat dalam posisi duduk namun juga dapat ditemui patung Loro Blonyo dalam posisi berdiri serta beberapa tambahan aksesoris lainnya.
Djoko Diyanto, dosen arkeologi UGM, menuturkan bahwa patung Loro Blonyo merupakan sebuah simbol harapan. Patung tersebut tak lagi menjadi penanda wilayah pribadi suami istri, namun menjadi simbol bahwa sang pemilik rumah sudah memiliki keluarga.
Loro Blonyo juga dipercaya dapat menimbulkan aura positif didalam rumah sehingga keharmonisan kehidupan rumah tangga tetap terjaga. (K-YN)