Memang, para penari klasik ini selalu tampil penuh dengan asesoris dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tari ini sangat populer dalam dunia pariwisata di Bali selain tari pendet dan tari kebyar yang merupakan tari penyambutan. Legong ditarikan oleh dua penari, satu diantara penari disebut condong. Penari legong selalu berkipas tetapi penari condong tidak.
Penari condong menari selama 10-15 menit sebagai pembuka dengan karakter tarian yang menurut etnomusikologis Michael Tenzer, ‘tajam dan intens’. Selama condong menari, dua penari legong menggerakkan badan seperti berayun di depan penabuh gamelan. Warna busana yang dikenakannya cukup khas, yaitu merah, kuning dan ungu serta rangkaian bunga memanjang di dekat mahkota.
Konon, pada paruh kedua abad 18, seorang raja Sukawati, Gianyar, bernama Raja I Dewa Agung Made Karna atau lebih dikenal sebagai raja Sukawati mendapatkan gerakan-gerakan tari legong dari mimpi yang didapatkannya saat sakit keras. Legong, awalnya merupakan tari ritual dan ditarikan di Pura dan lingkup Istana. Tapi seiring perkembangan zaman, kini tari ini dipakai untuk penyambutan dan hiburan (wisata). Salah satu maestro tari legong yang masih aktif adalah dr Bulantrisna Djelantik
Usai sakit keras dan berada di Pura Jogan Ketewel Gianyar, Raja Sukawati berusaha mengonstruksi gerakan-gerakan bidadari di mimpinya itu dengan dibantu bendesa (pemimpin) adat Ketewel. Saat gerakan lengkap, dia menamakan tarinya Tari Sang Hyang Legong dengan para penari yang memakai topeng. Istilah Sang Hyang merujuk pada tarian sakral dan berhubungan dengan ritual adat.
Karena sakral, tari ini dipentaskan di halaman pura dan puri (istana) pada hari-hari tertentu. Para penarinya pun tidak sembarangan karena harus masih murni dan belum mengalami siklus menstruasi. Gamelan yang mengiringinya adalah gamelan Semar Pagulingan yang punya hubungan erat dengan garak tari yang dibawakannya.
Itulah sebabnya tari ini dinamakan legong (Leg: gerak tari, gong: instrumen pengiring). Raja Sukawati menyatakan bahwa tari legong merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Bali terhadap para leluhurnya atas anugerah yang mereka terima berupa pulau indah yang mereka huni. Gerakan tarian legong adalah peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan diolah sedemikian rupa sehingga enak disajikan.
Akademisi dan budayawan Bali, Prof I Made Bandem, dalam bukunya Evolusi Tari Bali mengatakan bahwa tari legong tidak pernah tertulis dalam beberapa lontar sejarah Bali. Namun tari ini amat terkenal di lingkup puri karena dipopulerkan oleh para perangkat puri. Menurutnya, beberapa elemen tari legong menyiratkan hubungannya dengan kepercayaan dan budaya Hindu Jawa.
Budaya ini amat berbeda dengan budaya pra-Hindu yang tercermin pada tari-tarian Sang Hyang Murni. Kebudayaan Hindu Jawa di Bali sering dituangkan dalam bentuk seni gambuh yang merupakan tipe drama tari zaman pra-Islam pada abad ke 15. Karena itu, tari legong paling banyak menyerap cerita Lasem yang kental dengan unsur cerita Panji yang amat terkenal di Kediri pada abad 12–13.
Tapi sebenarnya cerita bukan elemen penting dan menarik dalam tari legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Orang tidak bisa begitu saja mengerti tari legong tanpa mendengarkan dialog dari juru tandak, yaitu pesinden pria yang duduk di tengah gamelan. Hal yang menarik dari tari legong adalah gerakannya itu sendiri.
Transformasi Pada Abad 19
Sejak diciptakan, tarian ini mengalami naik turun seiring zaman. Tari legong lebih sering dicap sebagai tari para bangsawan karena hanya populer di puri saja untuk menunjukkan kekayaan dan kemampuan puri. Ketika beberapa puri di Bali ditengarai sangat dekat dengan Belanda yang saat itu menjajah Nusantara, tarian ini meredup dan tidak lagi disajikan di pura maupun puri. Otomatis regenerasi penari legong nyaris putus pada zaman itu.
Lalu beberapa ahli dan peminat tari merevitalisasi tari ini. Tak saja ditarikan oleh para anak-anak yang belum dewasa tapi bisa ditarikan wanita umum. Beberapa gerakan diubah, ada yang ditambah dan ada yang dikurangi dan tak lagi memakai topeng. Sehingga tari legong yang kita nikmati saat ini sejatinya berbeda dengan tari legong pada awal mulanya. Tari legong tidak lagi sebagai manisfestasi dari leluhur seperti halnya tari-tari Sang Hyang. Tapi dipertunjukkan untuk hiburan para leluhur dan tidak untuk ritual adat.
Tari Legong akhirnya keluar dari lingkup puri dan dipelajari oleh rakyat kebanyakan serta menyebar ke beberapa daerah di Bali. Pada tahun 1928 seiring perkembangan politik Nusantara, evolusi atau lebih tepatnya transformasi membawa tarian ini berubah dari tarian adat menjadi tari hiburan. Sejak tahun 1931 tari ini disajikan untuk tamu yang berkunjung di Bali dan kemudian menjadi tari wisata.
Kini setidaknya ada 18 tari legong selain Tari Legong Lasem (Legong Kraton) yang merupakan tari legong paling tua. Ada Legong Jobog yang menceritakan Subali–Sugriwa yang menjadi kera ketika berebut ajimat, Legong Legod Bawa tentang persaingan dewa Wisnu dan dewa Brahma untuk mencari lingga Dewa Syiwa. Ada juga Legong Kuntul, Legong Asmaradana, Legong Sudarsana, Legong Andir, Legong Playon dan Legong Mintaraga.
Legong Asmaradana adalah ciptaan Bulantrisna Djelantik. Penari AA Bulantrisna Djelantik banyak memperkenalkan tari legong ke berbagai daerah sampai keluar negeri dan aktif melakukan regenerasi penari. Bulantrisna yang juga seorang dokter ini adalah keturunan raja terakhir Karangasem, AA Anglurah Djelantik. Ayahnya dr AA Made Djelantik adalah tokoh dan budayawan Bali.
Tari Legong Keraton ditetapkan sebagai warisan budaya dunia non benda oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2015. Tari Legong Keraton adalah salah satu dari sembilan tarian Bali yang mendapat penghargaan serupa disamping Tari Barong Ket, Tari Rejang, Tari Joged Bumbung, Drama Tari Wayang Wong, Drama Tari Gambuh, Topeng Sidha Karya, Tari Bari Upacara dan Tari Sang Hyang Dedari. (K-CD)