Indonesia.go.id - Namdur, Arsitek Bersayap dari Papua

Namdur, Arsitek Bersayap dari Papua

  • Administrator
  • Minggu, 4 April 2021 | 07:11 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Burung namdur atau juga disebut dengan burung kucing hanya terdapat di Australia dan Pulau Papua (Indonesia dan Papua Nugini). WIKI COMMON
Burung namdur jantan akan membangun sarangnya di atas tanah dengan bentuk seunik mungkin, dilengkapi semacam teras yang dihiasi aneka benda agar mampu memikat hati namdur betina pada saat musim kawin tiba.

Burung menjadi salah satu satwa paling menarik bagi masyarakat karena selain indah, tak sedikit di antaranya memiliki sifat kharismatik dan menjadi petunjuk penting yang berhubungan dengan upaya konservasi. Sejak lama burung telah memberikan ide bagi banyak pihak untuk dijadikan motif pada pakaian, karya seni, bahan pemanis topi. Atau dipelihara dalam sangkar sebagai koleksi atau sekadar hobi. Burung pun dijadikan inspirasi sebagai lambang nasional oleh banyak negara termasuk Indonesia.

Di antara beragam keistimewaan burung tersebut, terdapat segelintir yang mampu membuat kita terkesima. Salah satunya adalah spesies namdur, burung kecil dari famili Ptilonorhynchidae yang terdiri atas 20 spesies. Burung namdur atau juga disebut dengan burung kucing hanya terdapat di Australia dan Pulau Papua (Indonesia dan Papua Nugini).

Sembilan spesies dapat ditemukan di wilayah Indonesia, dan bahkan dua jenis di antaranya merupakan burung endemik Provinsi Papua. Keduanya adalah namdur dahi emas (Amblyornis flavifrons) atau dikenal juga sebagai golden-fronted bowerbird. Satunya lagi adalah namdur polos (Amblyornis inornata) yang juga dikenal dengan nama vogelkop bowerbird. Namdur dahi emas dan namdur polos merupakan satu di antara 557 jenis burung dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018.

Burung pemakan buah-buahan dan serangga kecil ini memang tak mempunyai bulu seindah burung cenderawasih si burung surga. Tetapi namdur dijuluki sebagai burung pintar karena dikenal dengan kehebatannya dalam mendesain dan menghiasi sarang. Namdur jantan merupakan tokoh utama dari cerita kehebatan para namdur tadi.

Ketika musim kawin tiba, para pejantan ini akan tampil layaknya arsitek bersayap di mana mereka akan mati-matian membangun sarang seindah dan sekeren mungkin. Tidak seperti spesies burung lainnya yang membangun sarang di pepohonan, namdur jantan justru sebaliknya. Mereka lebih senang membangun sarangnya di atas tanah.

Meski ukuran panjang tubuhnya antara 22--40 sentimeter, seekor namdur jantan sanggup membuat sarang dari ratusan ranting kayu kering. Nantinya mampu membentuk sebuah rumah idaman dengan berbagai model unik, bahkan berukuran tinggi dan lebar masing-masing 1 meter.

Arkeolog senior dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebutkan, sarang terutama yang dibuat oleh namdur polos dikenal juga dengan nama bower atau bungalow. Ini terdiri dari sebuah sarang dengan bentuk kubah di mana terdapat kamar luas dan nyaman sebagai tempat berteduh pasangan namdur nantinya. Aneka bentuk sarang si arsitek bersayap ini sudah menyebar dan viral di sejumlah platform media sosial sejak beberapa waktu terakhir.

Seperti seorang arsitek dengan jam terbang tinggi, para pejantan ini pun ikut memikirkan bagaimana caranya memperindah pelataran sarang mereka. Maka, berbagai obyek benda aneka bentuk pun dikumpulkan, seperti bekas botol minuman, tutup botol, biji-bijian, bekas pecahan kulit buah yang mengering, kulit-kulit kayu yang mengelupas.

Para namdur jantan ini akan menyusunnya sesuai selera mereka di sekitar sarang. Benda-benda warna cerah terutama biru menjadi favorit namdur jantan sebagai penghias sarang. Perlu waktu berhari-hari bagi seekor namdur jantan untuk merampungkan pekerjaan besar ini.

Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menaklukkan hati para namdur betina. Pasalnya, namdur betina merupakan juri cantik yang akan menjatuhkan pilihan kepada namdur jantan yang paling keren dalam mendesain sarang. Dalam menilai sarang, namdur betina bahkan sampai harus mengitari seluruh penjuru sarang untuk memastikan layak atau tidak untuk ia huni bersama pilihan hatinya. Ketika pujaan hati sedang menginspeksi sarang, namdur jantan pun kerap menari dengan gerakan maju-mundur yang cepat, mirip tarian moonwalker dari penyanyi pop dunia, mendiang Michael Jackson.

 

Perlindungan Burung Endemik

Meskipun bertitel arsitek bersayap dan pandai menari, burung namdur juga rawan dirusak ekosistemnya oleh manusia. Sebagai satwa endemik, burung namdur polos bukan tidak mungkin akan rentan terhadap kepunahan. Terlebih jika melihat wilayah sebarannya yang terbatas di Papua saja. Sebagai upaya melindungi burung endemik, pemerintah telah mencantumkan perlindungannya dalam Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.  

Guru Besar Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dewi Malia Prawiradilaga, mengatakan prioritas utama perlindungan burung endemik harus diberlakukan bagi satwa yang kemampuan berbiaknya rendah dan sulit ditangkarkan.

"Perburuan dan perdagangan liar sulit dikendalikan karena jumlah petugas penegak hukum yang kurang memadai ditambah nilai ekonomi burung endemik yang menggiurkan," kata Dewi seperti dikutip dari orasi pengukuhan dirinya sebagai profesor riset LIPI, 4 Desember 2019 lalu.   

Seperti diungkapkan Research and Communication Officer Burung Indonesia Achmad Ridha Junaid, dari 1.794 spesies burung di Nusantara pada 2020, hampir 10 persennya atau sekitar 174 spesies merupakan satwa hampir punah versi Badan Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature/IUCN). Mereka masuk dalam Daftar Merah IUCN (IUCN Redlist), berisi 3 kategori mulai dari rentan (vulnerable), genting (endangered), hingga kritis (critically endangered). Secara keseluruhan, sebanyak 30 spesies burung di Indonesia masuk dalam kategori kritis, dan 48 jenis berstatus genting serta 96 jenis lainnya ada pada kategori rentan.  

Oleh karena itu sudah waktunya kita menjaga bersama kelestarian dan perlindungan satwa- satwa asli Nusantara dari ancaman kepunahan, baik itu karena kerusakan alam di habitatnya. Termasuk juga akibat maraknya perburuan liar, sehingga keberadaan satwa-satwa endemik ini masih bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.



Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari