Indonesia.go.id - Aku Bukan Prodigi

Aku Bukan Prodigi

  • Administrator
  • Senin, 3 Desember 2018 | 13:38 WIB
PRESTASI SENI
  Sumber foto: Flickr

Menolak disebut prodigi, Joey Alexander, nominator dua kali berturut-turut  di Grammy Award, seolah ingin mengungkapkan betapa prestasi tidak diraihnya dengan mudah.

Joey Alexander saat ini sudah menginjak usianya yang keempatbelas. Lahir 23 Juni 2003, di Denpasar, Bali, dari pasangan Denny Silas dan Fara Urbach, Joey telah membuat masyarakat dunia menengok pada prestasinya.

Joey mendapat nominasi dua kali berturut-turut  di ajang Grammy Award. Nominasi itu dia peroleh di tahun 2016 dan 2017. Grammy Award adalah ajang penghargaan musik yang sangat bergengsi di Amerika Serikat dan dunia.

Berdasarkan data dari situs Grammy Award, Joey pada 2016 mendapatkan dua nominasi, yakni kategori terbaik untuk Best Improvized Jazz Solo dan Best Jazz Instrumental Album. Tahun berikutnya, Joey kembali mendapatkan nominasi di kategori yang pertama.

Masyarakat dunia telah menolehkan perhatiannya pada Joey, sebagian besar karena prestasinya, sebagian lagi karena umurnya. Joey masih sangat muda untuk ukuran seorang artis “performer”. Praktis saat mendapatkan nominasi Grammy yang pertama, Joey masih berumur 12 tahun.

Seorang blogger bernama Mas Teddy menulis tentang prestasi Joey. Setidaknya ada lima hal yang membuat Joey menjadi pusat perhatian dan pemberitaan. Baru berusia 12 tahun, bermain musik jazz dengan piano, sudah menghasilkan album, mendapatkan dua kali nominasi Grammy, dan tercatat sebagai peraih nominasi termuda dalam sejarah Grammy.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat Joey menjadi perhatian dunia, yakni karena dia berasal dari Indonesia. Bagi masyarakat dunia yang jarang mendapatkan kabar tentang Indonesia dalam ajang musik dunia, tentu kemunculan Joey bagaikan keajaiban.

Banyak penggemar, penikmat musik, dan pemerhati musik memberikan julukan prodigi  kepada Joey. Prodigi adalah istilah bagi seseorang yang memiliki bakat luar biasa dalam suatu bidang dengan kemampuan memperlihatkan keterampilannya dalam usia yang masih sangat muda, jika dibandingkan dengan para ahli dalam bidang yang sama.

Musik dunia mengenal begitu banyak nama-nama tenar yang dituliskan dalam sejarah sebagai seorang prodigi. Mulai dari Mozart, Chopin, hingga Nicolo Paganini. Merekalah orang-orang yang dikenal sebagai prodigi dalam musik karena telah memperlihatkan kemahirannya dalam usia sangat belia. Mozart menulis komposisinya pada usia 4 tahun, sementara itu Chopin dan Paganini pada usia 7 tahun.

Joey, yang hingga kini masih memainkan boneka tokoh-tokoh aksi dan miniatur mobil, selain bermain “mobile games” tidak suka dengan sebutan prodigi. Dalam berbagai ajang wawancara dengan media, Joey selalu mengatakan bahwa dia tidak menganggap dirinya seorang prodigi.

Bagi Joey, dia adalah seorang pemusik jazz. Kalau hal itu dikaitkan dengan umurnya Joey hanya ingin dikenal sebagai pemain musik jazz muda. Hal itu diungkapkan dalam wawancara Joey dengan CNN, yang ditayangkan pada Februari 2016.

Cara Joey menjawab pertanyaan wartawan CNN terkesan wajar seperti halnya jawaban seorang anak 12 tahun. Hanya kesan rendah hati dan sangat sederhana terungkap dalam kata-katanya datar dengan senyum malu sedikit tidak antusias atau seperti kesulitan menemukan kata-kata yang bisa mengungkapkan maksudnya.

Joey Alexander, dengan kesederhanaan dan kewajaran seorang anak biasa, adalah buah dari usaha yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Saat Joey masih sangat muda, menurut penuturan dari Bonny Man, seorang guru les piano waktu Joey masih tinggal di Bali, kedua orang tuanya memberikan pendidikan yang khusus bagi Joey. Pendidikan khusus itu dilakukan karena menurut medis Joey termasuk anak yang berkebutuhan khusus.

Pendidikan yang tepat dan usaha keras orang tua Joey lah yang membuat Joey bisa mencapai prestasinya. Di balik gemerlap pujian saat ini, Joey tentu mengingat usah keras Denny Silas, ayahnya yang juga seorang pemain keyboard, untuk mengenalkan musik sejak sangat dini.

Alunan musik dari piringan hitam koleksi jazz klasik dari mulai Louis Armstrong, John Coltrane, hingga Duke Ellington adalah nada-nada yang masuk dalam memori Joey yang mampu dia tangkap dengan tingkat konsentrasi dan motorik yang lebih dari anak kebanyakan. Tak cukup hanya itu, Denny dan Fara juga harus berganti-ganti mendatangkan guru piano mulai dari piano klasik sampai musik kontemporer, karena Joey biasanya tidak betah lama dengan satu pelajaran.

 

Buah Pengorbanan

Upaya keras itu pun bahkan belum cukup. Denny dan Fara sadar bahwa Joey harus mendapatkan iklim yang cocok bagi kemampuannya. Yang pertama mereka lakukan adalah pindah ke Jakarta, sekalipun mereka harus meninggalkan bisnis travel wisata yang telah lama mereka bangun. Joey harus dekat dengan para musisi jazz dan mendapat kesempatan untuk bermusik.


Pengorbanan itu pun berbuah. Setelah berbagai “jam sessions” dan bimbingan khusus dari berbagai musisi jazz di Jakarta, Joey mendapat kesempatan memperlihatkan kemampuannya kepada Herbie Hancock yang pada saat itu menjadi duta UNESCO. Saat itu Joey berumur delapan tahun. Herbie Hancock sangat mengapresiasi kemampuan Joey dan memberikan dukungan bagi orang tua Joey untuk mengembangkan kemampuan Joey. Dua tahun sejak saat itu, pada 2014, orang tua Joey memutuskan pindah ke New York, Amerika Serikat, untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.

Begitu sampai di Amerika, kesempatan Joey juga tidak didapat dengan gampang. Joey harus mengikuti berbagai “jam sessions” yang ada di berbagai tempat publik di dekat tempat tinggalnya. Selain itu Joey juga harus mengirim dengan rutin video-video latihannya di media sosial seperti Youtube dan Facebook.

Proses yang berlangsung sejak Joey memperoleh prestasi Jazz internasional di Odessa Ukraina pada 2013, hingga undangan pertama bagi Joey untuk tampil di Lincoln Center New York pada 2014, adalah kelanjutan dari berbagai upaya keras yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti kebutuhan Joey.

Kisah selanjutnya adalah sejarah. Joey Alexander, dengan ungkapannya yang sederhana kepada berbagai pihak yang mewawancarainya seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa prestasinya hingga sampai pada titik sekarang walaupun dalam usia yang sangat muda tidaklah diraih dengan mudah. Ada dedikasi, kerja keras, konsentrasi, berlatih terus-menerus, hingga berbagai pengorbanan yang tidak bisa dinilai harganya untuk bisa berjaya.

Jazz, musik yang disukai Joey, adalah musik yang lahir dari sejarah panjang. Sejak munculnya jaman perbudakan, para pencetus musik jazz adalah pewaris musikalitas leluhur Afrika. Perpaduan dengan musik gospel yang berkembang di perkebunan-perkebunan Amerika dan kemampuan memainkan perkusi dan alat musik tiup yang tersisa dari babak panjang perang saudara, telah membuat jazz menjadi satu ramuan rahasia. Dan rahasia itu yang hingga kini masih dipegang Joey dengan segala kebersahajaannya.  (Y-1)