Pukul setengah lima sore adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Sebelum Berita Nusantara jam lima, Televisi Republik Indonesia (TVRI), satu-satunya stasiun televisi yang ada waktu itu menyiarkan berbagai acara untuk anak. Gambaran seperti itu lumrah di pertengahan tahun 80-an.
Anak-anak menonton Ayo Menyanyi bersama Pak AT Mahmud, atau mengikuti Gemar Menggambar bersama Pak Tino Sidin. Bisa juga menonton Cerdas Cermat Sekolah Dasar dengan peserta dari berbagai daerah, atau sekadar menikmati fragmen keluarga lepas yang dimainkan oleh sanggar Keluarga Pak Is, Keluarga Marlia Hardi, Keluarga Ratu Asia, atau Sanggar Cerita.
Tidak banyak pilihan. Setengah jam hanya terasa sebagai pemanasan. Jujur saja anak-anak tetap menunggu hiburan. Film kartun atau serial anak-anak adalah yang ditunggu. Setelah berita tentang pembangunan di berbagai daerah yang membosankan, serial kartun Hanna Barbera, Tom dan Jerry, Scooby Doo, atau film boneka Si Unyil, adalah pilihan menarik menjelang Magrib.
Selepas Magrib, TVRI cukup bijak memilih acara yang tidak mungkin digemari anak-anak. Misalnya, Bahasa Inggris Untuk Anda diikuti dengan Universitaria tentu akan membuat anak-anak terpaksa belajar atau bermain di luar rumah.
Generasi yang mengalami peristiwa di atas bisa dipastikan telah memasuki paruh baya. Tua barangkali belum terlalu. Muda tentu saja tidak. Yang pasti, rata-rata mungkin sudah mempunyai anak-anak berusia tanggung yang mudah bosan dan haus hiburan. Biasanya mereka disebut sebagai anak-anak "milenial".
Keseharian anak-anak "milenial" tentu jauh berbeda dibandingkan generasi pendahulunya. Saat ini hubungan antara anak-anak dengan hiburan zaman "now" biasanya tidak jauh-jauh dari urusan "kuota". Kuota adalah besar kapasitas sambungan internet yang tersedia atau yang mampu dibeli.
Pola keseharian anak-anak kekinian sebenarnya cukup sederhana. Jika kuota masih banyak, "game online" pasti jadi pilihan. Sesudah itu "Line" atau "Instagram" menjadi jendela perkawanan. Kalau perlu kode curang atau petunjuk praktis lainnya, "Youtube" baru dibuka. Semuanya hadir dengan mudahnya dalam genggaman gawai.
Gawai atau telepon pintar telah lebih dari dua dekade menjungkirbalikkan tatanan. Televisi? Nyaris tidak kebagian. Konon, lembaga survei konsumen yang banyak jadi rujukan pelaku usaha, AC Nielsen, pernah menemukan fakta. Yakni, televisi, dengan segenap siarannya, pada akhirnya hanya menjadi wilayah kekuasaan para asisten rumah tangga. Penghuni rumah tangga lainnya, bapak, ibu, dan anak sudah tidak lagi berselera.
Walau teknologi televisi juga semakin pintar, minat orang Indonesia pada televisi sudah jauh menurun. Survei Digital 2019 dari Hootsuite memperlihatkan orang Indonesia (termasuk anak-anak) menghabiskan rata-rata tiap harinya 8 jam 36 menit mengakses internet. Selama itu pula selama rata-rata 3 jam 26 menit orang Indonesia menggunakanya untuk membuka media sosial. Sisanya mengakses konten TV digital atau “broadcast” selama rata-rata 2 jam 52 menit, sedikit lebih lama dari mendengarkan "audio streaming" yang rata-rata dihabiskan selama 1 jam 22 menit.
Internet yang telah menjadi kelaziman membentuk lingkungan dan budaya yang jauh berbeda. Jika TVRI di zaman Departemen Penerangan bisa memilih talenta-talenta pedagogis mumpuni bagi program-program siaran yang bermutu. TVRI di zaman kini adalah lembaga penyiaran yang terbebani kebesaran masa lalu. Aset dan sumber daya TVRI saat ini lebih pas disebut sebagai museum ketimbang diberdayakan menghadapi persaingan era digital yang serba cepat.
Walau begitu, peninggalan masa lalu tidak berarti dilupakan begitu saja. Ada cukup banyak, suvenir dari zaman Orde Baru yang perlu dilihat dan diangkat kembali. Salah satunya adalah Film Boneka Si Unyil.
Lahir Dalam Keterbatasan
Generasi anak-anak 80-an pasti akrab dengan hasil karya almarhum drs Suyadi. Selain membuat karakter-karakter dalam Film Boneka Si Unyil, sebelumnya Suyadi adalah ilustrator buku-buku Sekolah Dasar terbitan Balai Pustaka. Karakter Budi, Wati, Iwan, dan ayahnya Pak Madi adalah sosok-sosok yang digambar dengan coretan-coretan khas Suyadi. Karakter buatannya memiliki kesan yang lembut, digambar dengan garis-garis mulus, dengan bentuk-bentuk karakter yang beranatomi kanak-kanak.
Buku pelajaran bahasa Indonesia 80-an, dari kelas I sampai kelas VI SD adalah arsip sejarah yang paling banyak menyimpan goresan Suyadi. Karakter-karakter orang dewasa atau anak-anak, lengkap dengan binatang-binatang piaraan khas Indonesia seperti ayam jago, kucing, dan kelinci memberikan gaya tersendiri yang melekat pada sosok Suyadi.
Gemar menggambar dan membuat ilustrasi sejak kecil, Suyadi melengkapi pendidikan seni lukisnya di Jurusan Seni Rupa Insitut Teknologi Bandung (1952-1960). Selepas dari Bandung, Suyadi melengkapi teknik ilustrasinya dengan belajar di Prancis (1961-1963). Garis-garis lengkung dan mulus dalam ilustrasi Suyadi sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya sapuan garis mulus atau "ligne claire" yang populer dalam sub-kultur Franco-Belgian pascaperang dunia kedua. Komik Tintin karya Herge adalah salah satu pelopor dalam gaya ini.
Endy Saputro dari CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM, menyebut karakter-karakter yang dibuat Suyadi dalam Film Boneka Si Unyil sebagai proto-animasi. www.academia.edu Sebutan proto-animasi, memang bukan hal yang mengada-ada. Kurnain Suhardiman bersama Suyadi di akhir 60-an pernah membuat “Si Unyil Ke Rimba” sebuah film pendek animasi dalam format hitam putih yang merupakan gagasan awal film animasi anak khas Indonesia. Karena sumber daya ilustrator saat itu masih sangat sedikit, film animasi itu hanya berakhir menjadi projek rintisan.
Film Boneka Si Unyil yang dibuat oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) secara keseluruhan tayang dari tahun 1981 hingga tahun 1993. Selama waktu itu 603 episode dilahirkan oleh perusahaan yang dipimpin oleh perwira TNI AD, Brigjen Gufron Dwipayana, yang biasa dikenal sebagai G Dwipayana. Tito Amanda, dalam Jurnal Antropologi Nomor 75 tahun 2004 www.academia.edu mencatat bahwa G Dwipayana sebelumnya adalah ajudan Presiden Suharto. Kedekatan Pak Dipo, sebutan Gufron, dengan Pak Harto, membuat film Si Unyil dalam banyak hal merepresentasikan apa yang ada dalam pikiran pak Harto tentang pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
Karakter-karakter boneka Si Unyil, Pak Lurah, Pak Raden, Pak Ogah, Cuplis, Meylan, Bu Bariah, Penjahat, dan Orang Gila, adalah karakter ciptaan Suyadi yang sangat melekat dalam benak anak-anak Indonesia 80-an. Bentuk-bentuk bulat, dengan proporsi anatomi khas kanak-kanak berkembang menjadi berbagai karakter boneka tangan yang pada awal pembuatannya dibuat dalam kondisi serba terbatas.
Sulaiman Harahap, pemerhati sejarah populer dari Universitas Indonesia, dalam tulisannya “Yuk, Mengenang Si Unyil”, www.academia.edu menceritakan pada awal pembuatannya karakter-karakter boneka itu dibuat dengan mengerahkan tenaga relawan dari Pramuka Gugus Depan 2155-2156 PPFN. Dengan menggunakan kertas koran bekas, lem kanji, lempung untuk cetakan, kertas layangan, dan plamir tembok mereka berhasil membuat 100 kepala boneka yang karakternya berasal dari gambar-gambar Suyadi.
Pengambilan gambar dilakukan di lingkungan PPFN, yang terletak di Jl Otto Iskandar Dinata 126-127, Jakarta Selatan. Sebuah gudang berukuran 16 x 8 meter digunakan sebagai studio pada awal-awal pembuatannya. Di luarnya dijadikan bengkel kerja yang dipimpin oleh Suyadi, sebagai “Art Director” bersama dengan seorang asisten dari Seni Rupa ITB dan seorang tukang kayu. Mereka membuat set-set rumah, latar, jalan, hutan, sekolah, atau kebun yang kerap harus dibongkar tiap kali cerita berganti.
Si Unyil adalah salah satu produk Orde Baru yang terbaik. Kesederhanaan proses produksi, jalan cerita, maupun penyajiannya tidak menutup kenyataan bahwa tayangan acara televisi bagi anak-anak adalah hal yang sangat kompleks. Praktis setelah era Si Unyil, hingga saat ini, belum ada tayangan acara televisi serial di Indonesia yang mampu memberikan tayangan hiburan sekaligus pendidikan dengan kualitas seperti itu.
Hingga jaman kemajuan teknologi gawai yang menghadirkan televisi dalam genggaman, tidak ada satu pun tayangan film serial anak-anak di Indonesia yang mampu menyamainya. Sampai akhirnya, kekosongan itu memunculkan terobosan baru, sebuah program tayangan anak yang berkualitas, sayangnya bukan dari Indonesia tetapi dari negara tetangga, Malaysia.
Pelajaran Penting dari Pendahulu
Pada awalnya adalah keinginan untuk membuat tayangan bagi anak jelang bulan Ramadan. Ternyata serial animasi sepasang kembar anak yatim piatu, berusia taman kanak-kanak, dengan opa atau neneknya yang penyayang, mendapat sambutan yang luar biasa. Sejak kemunculannya di bulan September 2007, Serial Upin dan Ipin hingga saat ini telah memasuki musim ke-12 produksinya.
Apa yang membuat Upin dan Ipin mendapat sambutan yang luar biasa dalam kemunculannya? Jawabannya adalah kesederhanaan dan warna lokal. Hal itu yang disampaikan oleh salah seorang animator pembuatnya, Muhammad Nizam Abdul Rozak. Dia mencontohkan serial animasi Doraemon dari Jepang yang sangat berwarna lokal tetapi popularitasnya tingkat dunia.
Selain itu, kemampuan membuat film animasi yang enak dilihat, halus penggarapan tekstur animasinya, lengkap dengan karakter-karakter yang khas dengan jalan cerita yang “pas” adalah hasil dari proses yang tidak mudah. Salah satu yang membuat Upin dan Ipin berhasil membangun karakter dengan kuat adalah belajar dari pendahulunya, yakni serial Si Unyil.
Burhanuddin Radzie adalah mahasiswa teknik perminyakan Institut Teknologi Bandung pada awal 80-an. Setelah cukup lama berkecimpung dalam bisnis perminyakan, Burhanuddin pada tahun 2005 mendirikan rumah produksi “Les Copaque”. Nama berbau Prancis yang sebenarnya berarti “Las Kopek” alias kartu terakhir atau modal terakhir, adalah nama yang dipilih untuk menggambarkan pertaruhannya di dunia film animasi yang berat tantangannya.
Masa kuliah Burhanuddin adalah masa kuliah di Indonesia saat film boneka Si Unyil sedang menjadi serial yang digemari. Hingga saat ini serial Upin dan Ipin dalam banyak hal belajar banyak karakter-karakter dalam Si Unyil.
Jika Unyil digambarkan sebagai seorang anak berbalut sarung dengan mengenakan peci, hal itu karena dua benda itu sangat khas Indonesia. Upin dan Ipin adalah saudara kembar berkepala gundul yang mengenakan kaus bertuliskan huruf U dan I. Mengapa harus gundul? Ternyata karena memudahkan membuat karakter animasi. Mengapa harus kembar? Karena inilah karakter Malaysia, negara kembar Sabah dan Sarawak.
Jika Si Unyil punya kawan perempuan dengan ciri khas bermata sipit bernama Meilani, maka Upin dan Ipin punya teman bernama Mey Mey. Jika Si Unyil punya kedekatan dengan sosok Pak Raden, maka Upin Ipin sangat dekat dengan Tok Dalang. Jika di kampung Si Unyil ada sosok pengangguran seperti Pak Ogah, Upin dan Ipin mengenal Sally alias Saleh. Bukan hal kebetulan pula ketika Upin-Ipin kemudian sengaja menampilkan karakter Susanti dari Indonesia.
Di era, slogan-slogan nasionalisme tidak lagi tampil dalam bentuk yang vulgar, Upin dan Ipin mampu memberikan warna baru dengan mengambil "ruh" Si Unyil dan menyajikannya dalam semangat zaman yang baru. Pendidikan moral, pendidikan karakter, pengajaran nilai-nilai khas Malaysia, khas Asia Tenggara, dan universalitas dunia anak-anak adalah resep yang menjadikan Upin dan Ipin mendunia.
Bukan kebetulan jika tahun 2013 UNICEF, lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa untuk anak anak, memilih serial Upin dan Ipin menjadi Duta National UNICEF bagi program pendidikan bagi anak-anak di seluruh dunia. Bukan kebetulan pula jika tiga puluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1983 film Serial Si Unyil juga mengalami hal yang sama, menjadi duta UNICEF bagi program-program pendidikan anak di dunia berkembang yang mempromosikan pendidikan integrasi dan pembangunan. (Y-1)