Indonesia adalah rumah bagi enam dari sembilan spesies ikan gerakan lamban di dunia. Keenam spesies itu hanya terdapat di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati biota laut terkaya di dunia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020 mencatat, laut Indonesia punya koleksi lebih dari 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang. Beberapa spesies ikan, di antaranya, masuk dalam kategori terancam populasinya karena penangkapan besar-besaran, baik untuk dikonsumsi atau dijadikan komoditas ikan hias.
Salah satunya adalah spesies hiu berjalan atau walking shark. Indonesia adalah rumah bagi enam dari sembilan spesies hewan bernama latin Hemiscyllium ini. Keenam spesies hiu unik ini merupakan endemik di wilayah Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Sejak 2020, seluruh spesies ini telah masuk Daftar Merah (Red List) Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN) karena potensi kerentanan dan kelangkaannya.
Hal ini dapat terjadi karena ikan tersebut cenderung mendapat tekanan dari faktor antropogenik. Ikan hiu berjalan gerakannya lamban dan tidak berbahaya sehingga mudah untuk ditangkap. Meskipun jenis ikan hiu ini bukan target sebagai ikan konsumsi, pemanfaatannya diduga semakin meningkat untuk keperluan ikan hias.
Boleh jadi itu berhubungan dengan karakter dan morfologi satwa itu yang tergolong unik. Padahal, ikan ini memiliki potensi yang tinggi dari sisi pariwisata, yaitu sebagai salah satu jenis ikan yang memiliki daya tarik bagi para penyelam.
Data Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP menunjukkan, dua spesies ikan hiu berjalan masuk kategori Hampir Terancam (Near Threatened/NT), tiga spesies dikategorikan Rentan (Vulnerable/VU). Kemudian satu spesies masuk kategori Sedikit Perhatian (Least Concern).
Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk memberi status perlindungan penuh bagi hiu berjalan di Halmahera Utara dan Raja Ampat (Papua Barat). Kesepakatan terjadi pascatemu pakar untuk usulan inisiatif perlindungan hiu berjalan di Indonesia. Kemudian konsultasi publik dengan pemangku kepentingan Maluku Utara dan Papua Barat oleh KKHL dan Konservasi Indonesia pada 13 September 2022 di Toledo, Kabupaten Halmahera Utara, dan 15 September 2022 di Kabupaten Raja Ampat.
Total terdapat hampir 60 perwakilan dari instansi dan institusi lintas sektor seperti pemerintah daerah, akademisi, asosiasi masyarakat, mitra pembangunan, serta perwakilan dari masyarakat pemanfaat spesies hiu berjalan. Kehadiran pemangku kepentingan tersebut memberikan beragam informasi dan umpan balik terhadap inisiatif usulan status perlindungan hiu berjalan di Indonesia.
Konsultasi publik merupakan satu tahapan yang harus dilewati dalam penetapan status perlindungan jenis ikan. Ini sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 49/PERMEN-KP/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.
Seperti dikutip dari pernyataan pers pihak KKHL, Senin (26/9/2022), dua konsultasi publik tersebut berhasil menyepakati beberapa poin. Mulai dari keunikan karakter bioekologi dan keterbatasan daerah sebaran dari hiu berjalan, keterbatasan penyebaran larva planktonik dari hiu berjalan, dan potensi tinggi hiu berjalan dalam konteks pemanfaatan pariwisata secara berkelanjutan.
Kemudian ancaman utama terhadap jenis hiu berjalan, status terkini hiu berjalan di dalam daftar IUCN, komitmen untuk mendorong wilayah persebaran hiu berjalan untuk menjadi kawasan konservasi, serta yang terpenting menyepakati status perlindungan penuh bagi hiu berjalan. Spesies ini adalah satu di antara 20 jenis ikan prioritas konservasi pemerintah di 2020-2024.
Penetapan status perlindungan ini untuk menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, serta kesinambungan jenis ikan tersebut dengan tetap memelihara keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Fahmi menerangkan, alasan dinamakan hiu berjalan karena pergerakannya di dasar perairan seperti sedang berjalan dan bukan berenang, sebagaimana jenis ikan pada umumnya. Hal itu disebabkan sifat biologi kelompok ikan tersebut yang cenderung menetap di dasar perairan dan lebih menggunakan otot sirip dadanya/pektoral untuk melakukan pergerakan tersebut.
Ikan ini termasuk kelompok ikan berukuran kecil atau kurang dari 100 sentimeter. Hiu berjalan memiliki populasi kecil sehingga rentan mengalami kepunahan.
Sementara itu, keterbatasan penelitian dan kajian tentang hiu berjalan di Indonesia merupakan salah satu hambatan dalam penetapan status perlindungan hiu berjalan ini. Demikian dikatakan Senior Ocean Program Lead Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia (YKCI), Victor Nikijuluw.
Akan tetapi, melihat indikasi adanya ancaman kepunahan, maka upaya konservasi dan pengelolaan, termasuk status perlindungannya, perlu ditingkatkan untuk memastikan populasi hiu berjalan di alam tetap lestari.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari