Bicara soal seni, ada berbagai jenis dan macamnya di dunia. Tak halnya di Indonesia, terdapat beranekaragam kesenian yang memiliki nilai, ciri khas, yang lambangkan suatu kebiasan, serta adat istiadat suatu daerah yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah Anyaman.
Seni yang sudah berdiri sekitar ratusan, bahkan ribuan tahun ini diakui sebagai kesenian milik masyarakat Melayu, yang dewasa ini masih sangat dikagumi dan digemari masyarakat.
Dipercaya mulanya berkembang tanpa adanya pengaruh dari luar. Dengan Berbahankan tali, akar, dan rotan merupakan asas pertama dalam penciptaan kerajinan tangan yang satu ini. Bahan-bahannya itu, tak lepas menggambarkan wilayah asalnya. Tumbuh liar di hutan-hutan, kampung-kampung, serta kawasan pesisir pantai.
Asal Mula Anyaman
Konon katanya, Anyaman merupakan salah satu seni tradisi tertua di Indoensia. Mulanya, kegiatan itu ditiru dari cara seekor burung yang menjalin ranting-ranting menjadi suatu bentuk yang kuat. Kesenian yang diakui milik masyarakat melayu ini, sudah ada sejak masa lampau. Buktinya bisa dilihat dari dinding rumah-rumah saat itu, dindingnya di anyam dengan menggunakan buluh (Akar) yang melambangkan kehalusan seni menyanyam. Dipadukan dengan Nipah (salah satu bahan yang dianyam pada saat itu) tebal yang dijadikan bahan utama pada dinding dan atap membuat rumah-rumah tersebut terasa sejuk dan tidak panas.
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai kerajinan tangan dapat dibentuk melalui proses dan teknik menganyam, khususnya menggunakan tumbuhan jenis pandan dan bengkuang. Di mana bentuk-bentuk yang dibuat, disesuaikan berdasarkan pada fungsi dan kebutuhannya. Misalnya, di kalangan masyarakat yang bercocok tangan seperti Petani, anyaman dibentuk menyerupai Topi, Tudung Saji, Tikar, dsb, yang mendukung aktifitas bertani.
Selain dari dua tumbuhan tersebut, anyaman juga dapat dibuat dari tumbuhan berjenis palma dan nipah. Berdasarkan bentuk dan rupa yang dihasilkan, dulunya seni anyaman merupakan daya cipta dari sekelompok masyarakat dari kalangan luar istana (Bukan kalangan kerajaan) yang lebih mengutamakan nilai kegunaannya dibanding dengan nilai seninya. Walaupun dulu di kalangan kerajaan sudah ada tikar buah dari menyanyam yang digunakan oleh Raja. Tepatnya pada tahun 1756 – 1794 M.
Waktu Menganyam yang Tepat
Seperti yang sudah diketahui, seorang seniman membutuhkan suasana dan waktu yang tepat untuk mulai berkarya. Tak halnya dengan menganyam, untuk memulai menganyam, waktu yang paling tepat adalah saat pagi hari atau malam hari, dalam cuaca yang redup dan juga dingin. Mengapa demikian? Karena daun-daun saat itu lebih lembut dan lebih mudah dibentuk tanpa meninggalkan kesan pecah-pecah. Kegiatan menganyam ini tidak dilakukan sendiri-sendiri, biasanya beberapa orang mulai melakukan kegiatan menganyam secara berkelompok di halaman rumah atau beranda rumah pada waktu malam, petang, ataupun saat senggang.
Keunikan dalam proses dan waktu pembuatannya ini, menjadikan anyaman sebagai salah satu kerajinan tangan yang unik pula. Namun, dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, perlu ada usaha untuk terus mempertahankan dan melestarikan kesenian yang satu ini. Warisan budaya maupun adat istiadat yang unik perlu dijaga dan dilestarikan, serta dimanfaatkan dari generasi ke generasi.
Anyaman di Kalangan Masyarakat Gambut
Selain menjadi salah satu kesenian yang unik, teknik menganyam juga dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan alam. Pada daerah-daerah pesisir pantai seperti pantai timur Sumatera, pantai barat dan Selatan Kalimantan, serta pantai barat dan selatan papua yang notabene-nya adalah daerah lahan basah (lahan gambut). Endapan gambut di sekitaran daerah-daerah ini menyebar sangat luas. Dimulai dari dataran pantai, hingga jauh ke pedalaman dengan ekosistem yang berbeda.
Seperti yang diketahui, luas lahan gambut di Indonesia sendiri berkisar 16-17 juta hektar (Polak, 1975; Andriesse, 1988). Sebagian besar dari bahan gambut masih terlihat jelas bentuk asalnya, terutama yang berasal dari kayu dan daun. Sedangkan, hanya sebagian kecil saja berupa komponen tumbuhan yang bentuk tumbuhan asalnya sudah tidak lagi terlihat dengan jelas. Namun demikian, jika diamati lebih cermat lagi, ternyata bahan yang mendominasi gambut di Indonesia umumnya berasal dari kayu (Woody peat). Disamping itu, diantara beberapa tumbuhan yang tumbuh di lahan gambut, ada beberapa tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan anyaman. Misalnya, seperti Purun (Eleocharis dulcis).
Kembali dengan topik menganyam, Purun merupakan jenis tumbuhan rumput yang hidup dan biasa ditemui di dekat rawa (lahan gambut). Tanaman ini berwarna abu-abu hingga hijau mengkilat, daun mengecil sampai ke bagian basal, pelepah tipis seperti membrane dan ujungnya yang asimetris, berwarna cokelat kemerahan.
Menganyam purun telah menjadi tradisi masyarakat gambut sejak dahulu. Umumnya Purun dijadikan tikar, topi, serta tempat bumbuan dapur dan ikan. Bahkan hingga sekarang, purun masih menjadi sumber pendapatan di Pedamaran dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Sebelum dianyam, purun terlebih dahulu diolah menjadi bahan baku. Mengambil purun biasanya ketika siang hari saat air sedang surut. Sehabis mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masyarakat bersiap mengambil purun-purun liar di sepanjang jalan dan rawa. Dengan bermodal sebilah parang kecil maupun sabit, mereka siap untuk memanen purun-purun itu.
Manfaat Mengayam Purun
Ternyata, menganyam purun menjadi salah satu upaya dalam melestarikan gambut. Terpeliharanya budidaya purun, kondisi asli hutan rawa gambut dapat terjaga. Dengan demikian, sejumlah flora fauna, juga mikroba yang ada di habitat tersebut juga dapat dilestarikan.
Alih-alih budidaya purun ini, semakin banyak lahan gambut yang dijadikan sebagai tempat perkebunan sawit, maka akan semakin sedikit jumlah purun yang ditemui. Ditambah kebakaran yang beberapa kali kerap terjadi di lahan gambut, yang menyebabkan berkurangnya jumlah purun.
Seperti yang terjadi saat ini, mendapatkan purun tidak semudah dahulu. Kini, untuk mendapatkannya masyarakat harus mengayuh sampan, seperti di Desa Tambak Sari Panji, Kaurgading, Kabupaten Amuntai, yang merupakan salah satu daerah penghasil purun terbesar di Kalimantan Selatan. Purun sudah cukup sulit ditemui di daerah tersebut.
Melihat dari potensinya, menganyam purun juga berpotensi menjadi salah satu alternatif mata pencaharian masyarakat gambut. Selain itu, purun dikatakan dapat menjaga tanaman petani dari serangan hama serangga. Dalam hal ini adalah purun tikus. Sehingga, purun dapat meningkatkan perekonomian masyarakat lahan gambut. (K-AD)