Di tengah hiruk-pikuk sosial media yang penuh dengan berita politik ternyata ada satu fenomena budaya yang nyaris terlewatkan. Dilan 1991, film romantika anak muda dengan balutan gaya nostalgia 90-an menjadi film terlaris.
Film yang dirilis pada penghujung Februari 2019 ini kembali berjaya. Situs filmindonesia.or.id mencatat jumlah penontonnya mencapai 5.253.411 orang dalam waktu tayang satu setengah bulan.
Fenomena yang luar biasa. Mengapa? Pertama, karena film ini adalah film sekuel. Film ini dibuat menyusul kesuksesan film sebelumnya Dilan 1990. Film yang diangkat dari novel ringan karya Pidi Baiq itu sebelumnya mencetak rekor sebagai film terlaris 2018 dengan jumlah penonton melebihi 6,3 juta orang. Film itu berada di urutan kedua film terlaris sepanjang masa di Indonesia. Posisinya berada di bawah film Warkop DKI Reborn; Jangkrik Boss (2016) dengan selisih hanya lima ribuan saja.
Fenomena kedua, sebagai film sekuel, bisa mencapai separuh kesuksesan film sebelumnya sudah luar biasa. Tetapi capaian Dilan 1991 di luar perkiraan aman. Mencapai lebih dari 5,2 juta orang penonton di tengah himpitan film box office Hollywood, Captain Marvel, adalah sesuatu. Ada hal yang istimewa dalam proses produksinya dan yang lebih istimewa lagi adalah proses pemasarannya.
Kekuatan Riset dan Pemasaran Zaman Now
Vicky Rachman dari situs swa.co.id, mengulik lebih jauh kesuksesan kedua dari film produksi Max Pictures ini. Kejelian Ody Mulya Hidayat, produser sekaligus pendiri rumah produksi, dalam melakukan strategi pemasaran yang inovatif, telah membawa kesuksesan yang kedua. Ody bahkan berani mengklaim dalam tayangan perdana film Dilan 1991 ini telah ditonton sebanyak 800 ribu orang. Dan raihan ini adalah tontonan hari pertama paling banyak dalam sejarah film indonesia.
Gabungan antara riset pasar yang selektif dan kemampuan memahami perkembangan populer di media sosial plus kemampuan menciptakan ikon-ikon promosi dalam kehidupan nyata (offline) adalah resep yang harus dilengkapi. Max Pictures memadukan secara simultan antara promosi online dan offline.
Tagar #HariDilan, misalnya, mampu menjadi "trending topic" di sela-sela riuhnya tagar politik jelang pemilu. Trailer Dilan 1991, juga tidak hanya dilempar begitu saja di media sosial. Peran "influencer" media sosial untuk menjadikannya sebagai perbincangan yang hangat bukanlah hal yang jatuh dari langit.
Dan lebih penting lagi, di dunia nyata tim Ody melakukan beragam kegiatan bekerja sama dengan tak tanggung-tanggung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Pariwisata RI Arief Yahya. Ridwan Kamil sebagai tokoh yang populer dengan ikon-ikon pergaulan anak muda di Bandung bertemu dengan Arief Yahya yang memiliki jejaring pemasaran hampir di seluruh Indonesia.
Untuk keperluan itu, Ody tentu merogoh duit yang tidak sedikit. Jika pada tahun sebelumnya biaya produksi plus biaya promosi mencapai 16 miliar rupiah, pada periode kedua bisa lebih dari 20 miliar. Untuk meminimalisir kerugian, produser bertangan dingin ini memainkan strategi monetisasi. Setidak-tidaknya 10 sponsor berhasil diajak bekerja sama dalam produksi dan pemasaran film ini.
Kekuatan Penonton Nasional
Mengapa Dilan 1991 masih digemari? Pertanyaan itu baiknya dijawab para peneliti budaya populer. Yang pasti data-data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bonus demografi Indonesia sebagai salah satu faktor penentu.
Prediksi BKPM dalam rentang tahun 2020-2030, indeks tingkat ketergantungan akan mencapai titik terendah. Lebih dari 60% populasi akan berada di usia produktif. Ini adalah angkatan kerja sekaligus pasar yang dinamis dengan jumlah yang terbesar di Asia Tenggara. Hitung kasar jika jumlah penduduk Indonesia berada di angka moderat 200 juta orang maka ada 100 juta pasar usia produktif dan konsumtif yang siap membesarkan ekonomi nasional.
Sayangnya perbandingan jumlah bioskop dengan penonton di Indonesia masih kecil. Data BKPM pada 2016 menunjukkan, rasio ketersediaan bioskop per 100 ribu orang hanya 0,4 atau populasi lebih dari 200 ribu baru ada 1 bioskop. Di negara tetangga Malaysia, rasionya sebesar 2,4. Thailand 1,2, lalu itu Cina 1,8. Di Singapura, negeri sekecil itu, rasionya 3,9. Jangan bandingkan dengan Amerika Serikat yang memimpin dengan angka 14. Yang paling mendekati kita adalah India dengan 0,9. Untuk mendekati India setidaknya jumlah bioskop di Indonesia harus dikali dua. Padahal jumlah bioskop di Indonesia belakangan ini sebenarnya menunjukkan tren kenaikan.
Bekraf mencatat, pada 2018 penonton bioskop meningkat pesat hingga 52,5 juta orang meningkat lima kali lipat dibandingkan 2016. Jumlah layar bioskop yang ada pun meningkat hingga 1.680 layar. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada pertumbuhan hingga 16%.
Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia Djonny Syafruddin kepada harian Bisnis Indonesia memperkirakan, pertumbuhannya akan lebih pesat lagi sekitar 20 hingga 30 persen pada 2019. Salah satu karena ada Peraturan Presiden Nomor 44/2016 yang membuka 100% investasi sektor perfilman kepada investor luar.
Satu hal lagi yang harus dibenahi adalah pemerataan bioskop di luar Jawa. Angka BKPM 2016 menunjukkan, 87% layar bioskop hanya berada di Pulau Jawa. Dari sejumlah itu pun 35% berada di Jakarta. Hal ini membuat hanya 13% dari populasi Indonesia yang memiliki akses untuk menonton bioskop. (Y-1)