Indonesia.go.id - Menulis, Rahasia Para Juara

Menulis, Rahasia Para Juara

  • Administrator
  • Jumat, 28 Juni 2019 | 03:15 WIB
ERA DISRUPSI
  Reporter arsip 1942. Foto: Net

Menjadi salah media massa yang penting, independen, dan berpengaruh di tengah disrupsi, yang membayangi media massa sebelumnya, yang tidak cakap untuk beradaptasi.

Seorang anak muda yang selama ini dikenal sebagai pembuat konten kreatif di berbagai platform media sosial pada suatu kesempatan berkata, “Aku tidak sepakat kalau aku disebut sebagai ‘content creator’. Selama ini aku memang membuat konten, tetapi aku tidak mau dibatasi oleh istilah dari pembuat platform. I’m running a mass media.

Sebuah pernyataan yang punya prinsip. Pange, panggilan dari Pangeran Siahaan, tidak terlihat bercanda saat mengemukakan hal itu. Sebagai penulis dan presenter, setidaknya itu yang dia tulis dalam situs pribadinya.

Pange mewakili generasi ‘contender’ zaman sekarang yang bisa dibilang lengkap. Dalam usia yang sudah cukup matang, laki-laki kelahiran Jakarta 1985 itu memperlihatkan sosok generasi urban, dari latar keluarga menengah biasa, dengan ciri-ciri menonjol. Yakni, independen, haus ilmu pengetahuan,  sadar politik, dan ‘restless’ alias tidak bisa jenak.

Pernyataan Pange, di awal tulisan ini, sangat menarik perhatian. Setidak-tidaknya adalah beberapa hal yang harus digarisbawahi. Pertama, pentingnya membuat konten. Di zaman kelimpahan informasi yang  ada saat ini, konten dalam berbagai bentuknya tentu berserak di mana-mana. Tetapi, dalam lautan konten yang umumnya berbentuk teks, grafis, infografis, foto, podcast, animasi, hingga video ada paradoks yang menyertainya. Banyak hal bisa dibaca, didengar, ditonton, dan dinikmati tetapi sedikit sekali yang memberikan gizi atau ‘insight’.

Kedua, peranan media sosial. Perkembangan media, sebelum zaman internet, boleh dibilang sangat penting. Oleh para peneliti sosiologi, media bahkan ditaruh sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi. Tetapi, begitu media bersentuhan dengan perkembangan teknologi, yang terjadi adalah kuburan massal bagi media itu sendiri. Saat setiap orang bisa menulis sendiri apa yang dia inginkan dan mempublikasikannya setiap saat, yang pertama kali menjadi tidak penting adalah mediatornya.

Ketiga, penyedia platform. Gabungan superkomputer berjejaring dengan kapasitas penyimpanan yang nyaris tidak terbatas, ditambah dengan perangkat lunak yang mudah digunakan, memberikan kemudahan membuat konten semudah membuat catatan belanja di pagi hari. Tetapi segala kemudahan ini juga membawa paradoksnya sendiri. Saat setiap orang bisa membuat dan menonton konten dengan sangat mudah maka yang berlaku adalah selera pasar.

Apa yang paling mudah dicerna, yang paling disukai, yang menarik bagi semua kalangan, yang menguntungkan, yang mudah menempel di kepala orang, itulah yang dominan. Ditambah lagi dengan kemudahan untuk saling bertukar di antara jutaan populasi membuat duplikasi dan reduplikasi memenuhi semua tempat. Konten-konten yang dibuat dengan dedikasi dan kerja keras, yang orisinil, yang visioner, yang memerlukan kemampuan tersendiri dalam mengapresiasi, yang artistik, yang berbeda, yang mendahului zamannya harus terselip dan terbawa kerumunan, bagaikan anak-anak kecil yang tersesat di pasar raya.

Keempat, adalah mengelola media massa. Setelah membaca berbagai kondisi yang ada dalam situasi hyperinformasi, seorang anak muda penggila buku, yang sangat antusias dengan politik dengan ‘P’ besar, yang menyadari betapa rendahnya apresiasi masyarakat terhadap informasi yang bermutu, menyatakan dia sedang serius mengelola media massa. Hal itu diucapkan dengan kesungguhan dan kepercayaan diri yang terang. Bahkan di berbagai kesempatan dia selalu mengatakan hal yang sama.

Penentu Masa Depan

Mengapa dia bisa seyakin itu? Apakah dia sesumbar? Jangan-jangan dia tidak serius. Berbagai macam keraguan pasti muncul. Cara pandang yang berbeda dari kebanyakan orang pasti hanya sedikit yang mengimaninya. Tetapi dari yang sedikit ini, sejarah mengatakan, merekalah yang menentukan masa depan.

Saat beberapa anak muda menggelar ‘open mic’ di sebuah kafe di Jakarta Selatan pada 2011, tidak ada yang pernah membayangkan bahwa mereka akan menjadi populasi penghibur paling banyak di Indonesia pada saat sekarang ini. Tanpa melupakan guru dan perintis awal lawak tunggal Indonesia, seperti Ramon Papana dan Iwel Sastra yang sudah berkiprah puluhan tahun sebelumnya. Anak-anak muda yang didorong oleh para seniornya yang kenyang asam garam dunia acara dan pertunjukan rupanya memahami bagaimana caranya survival di zaman hyperinformasi ini.

Panji, Radit, dan Ernest, adalah tiga orang yang relatif seumuran dengan Pange yang memiliki rumus-rumus yang kurang lebih sama untuk menghadapi cabaran zaman digital informasi. Jangan lihat saat mereka berhasil, lihat saat mereka memulai. Satu hal yang kuat dari mereka adalah kemampuan riset dan kemampuan menulis. Dan tambahan berikutnya adalah pantang menyerah, selalu mencoba hal yang baru, dan inovasi.

Menulis adalah Kunci

Joko Anwar memang lahir lebih dulu jika dibandingkan dengan beberapa anak muda yang ditulis di awal tulisan ini. Dia lahir pada 1976 di Medan, Sumatra Utara. Tetapi, dalam banyak hal, apa yang dirintis oleh Joko Anwar melalui kemampuannya menulis adalah kunci yang menentukan keberhasilannya.

Mengecap pendidikan di Intitut Teknologi Bandung, jurusan teknik penerbangan, Joko Anwar aktif menulis skenario teater saat aktif di dunia kemahasiswaan. Yang dia tulis adalah peristiwa-peristiwa yang membawa dia sampai menjadi seorang penggila film. Mulai dari masa kecil yang menyelundup ke gedung bioskop, perburuan layar tancap, menjadi pembantu tukang proyektor, sampai film-film yang dinikmati dengan sepenuh hati dan pergaulan yang dia alami sampai bisa sekolah di perguruan tinggi.

Ternyata dari skenario-skenario yang dia tulis semasa masih menjadi mahasiswa itulah mendatangkan keberuntungan pertama. Film Arisan! (2003), adalah kolaborasi dia dengan produser dan sutradara Nia Dinata. Skenario tentang kehidupan urban, pergaulan, dan kompleksitasnya ditingkahi dengan berbagai macam perkembangan budaya populer yang berkembang pada waktu itu, rupanya mendapatkan perhatian yang luar biasa dari penonton film Indonesia.

Tidak berhenti di situ. Joko Anwar kemudian membuat film dari naskah skenarionya yang menceritakan masa-masa dia remaja, saat menjadi kurir bioskop pengantar gulungan pita film. Naskah itu dia tulis sebelum naskah yang pertama kali melambungkan namanya. Naskah itu dia sebut sebagai naskah tabungan yang telah ditulis sejak 1998. Film itu adalah Janji Joni (2005) yang dibintangi oleh Nicholas Saputra. Film itu mendapat sambutan kreatif yang luar biasa. Cara Joko Anwar bercerita dalam film itu mendapat sambutan dari sineas senior sebagai cara yang inovatif.

Joko Anwar, adalah seseorang yang  memegang prinsip pada kemampuan penulisan skenario. Dia meyakini bahwa kunci untuk membuat sebuat karya sinema yang bermutu dan menarik adalah skenario yang kuat. Joko sangat terinspirasi dari riwayat duet Matt Damon dan Ben Afleck, saat membuat film fenomenal Good Will Hunting. Dua sahabat ini, karena kemampuan menulisnya telah membawa mereka menjadi aktor, penulis skenario, dan sutradara papan atas di Hollywood.

Seperti halnya Joko, generasi Radit, Ernest, Panji, dan Pange adalah generasi yang piawai menulis. Radit sebelum menguat sebagai Stand Up Komedian, adalah penulis buku populer tentang anak muda pelajar hingga mahasiswa yang kerap mengalami nasib naas akibat perundungan, diskriminasi, dan penolakan lawan jenis. Pengalaman-pengalaman dan keresahan dalam tulisan Radit adalah konten-konten komedinya yang bisa menembus batasan umur.

Kemampuan Ernest untuk menulis materi-materi yang kritis, disambung dengan kemampuan menangkap berbagai kompleksitas akibat posisinya yang minoritas di dalam masyarakat urban yang cenderung diskriminatif membuatnya memiliki ciri khas yang tidak dipunyai komedian lain.

Kemampuan Panji, untuk melakukan riset pasar Stand Up Komedi yang memerlukan variasi dalam berbagai bentuknya membuat dia mampu menarik televisi untuk menayangkan ide-ide dia. Kemampuannya membuat variasi, membuat eksperimen, yang seringkali gagal membuatnya menjadi salah seorang entertainer yang tahan uji.

Sedangkan seorang Pange sudah cukup lama menjadi penulis sepakbola independen. Dia menulis dari blog. Kemampuan menulisnya yang mampu menghadirkan kompleksitas permainan sepakbola dengan sajian data dan sains sepakbola tetapi tidak lupa pula menyertakan dengan sisi humanis para pemainnya membuat dia cepat berkembang sebagai penulis kolom di berbagai media digital.

Dari kemampuan menulis itu pula karir dia sebagai presenter sepakbola mulai menanjak. Kemampuan menulisnya itulah yang kemudian mengantarkan dia pada obsesi dirinya yang lain di bidang politik, current affairs, dan budaya populer. Sejak 2015 dia telah mengelola channel Asumsi dan situs Asumsi.co yang mampu menjadi salah media massa yang penting, independen, dan berpengaruh di tengah disrupsi yang membayangi media massa sebelumnya, yang tidak cakap untuk beradaptasi. (Y-1)