Indonesia.go.id - ASI Lebih Baik dari Susu Formula

ASI Lebih Baik dari Susu Formula

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2024 | 09:36 WIB
KESEHATAN
  Pemberian air susu ibu atau ASI yang dilakukan sejak anak lahir hingga mencapai usia 6 bulan atau dikenal pula sebagai ASI eksklusif memberi banyak manfaat dalam jangka panjang terutama bagi anak yang disusui. ANTARA FOT
Pemerintah resmi melarang industri makanan bayi mempromosikan diskon harga susu formula kepada pembeli dan membagikan contoh produk secara gratis kepada masyarakat.

Pemberian air susu ibu atau ASI yang dilakukan sejak anak lahir hingga mencapai usia 6 bulan atau dikenal pula sebagai ASI eksklusif memberi banyak manfaat dalam jangka panjang terutama bagi anak. Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Profesor Sandra Fikawati, tingginya kadar kolesterol pada ASI yang dikonsumsi bayi berfungsi melindunginya dari risiko penyakit generatif.

Dalam ASI juga terkandung zat antikanker sehingga dapat memperkuat kekebalan tubuh bayi secara alami. Berdasarkan penelitian, zat tersebut dapat membunuh 40 sel tumor yang berbeda. ASI eksklusif juga mampu menjaga anak dari risiko obesitas atau kegemukan dan gangguan penyakit lainnya. Sedangkan menurut dosen FKM UI sekaligus aktivis pemberian ASI eksklusif, dr. Utami Roesli, bayi yang disusui akan lebih sehat sepanjang hidupnya dan jarang mengalami gangguan perilaku, baik emosional maupun psikologis.

Utami juga menganjurkan bayi yang baru lahir agar segera dilaktasi dini oleh ibunya dengan tujuan mempertahankan kehangatan bayi. Sehingga pemberian ASI akan lebih berhasil dan membuat detak jantung serta napas lebih stabil. Selain itu dapat menunda angka kematian bayi hingga 22 persen dan 16 persen pada 24 jam pertama. Perlu ada kerja sama dari semua pihak mulai dari keluarga, dokter anak, bidan, dan perawat bayi untuk menjadikan ASI sebagai sumber utama nutrisi bayi sejak lahir.

Terlebih, berdasarkan hasil pemantauan Utami terungkap bahwa dari 10 ibu yang memiliki bayi di bawah 6 bulan, hanya ada 3 ibu yang terus memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan. Sedangkan sisanya menyerah dan memilih menambah asupan kepada bayinya dengan susu formula atau makanan pengganti ASI (MPASI). Padahal, ketika tidak diberikan ASI lagi meski si bayi masih dalam fase usia kurang dari 6 bulan, maka tubuhnya akan  rentan terhadap penyakit hingga usianya dewasa.

ASI diketahui mengandung lebih tinggi kolesterol dibandingkan dengan susu biasa atau bahkan susu formula. Ini bisa dimaklumi lantaran susu formula berasal dari sapi yang diproduksi hanya untuk mencukupi gizi anak kurang dari 1 tahun. Jika hal itu dibiarkan, maka akan meningkatkan risiko penyakit jantung pada anak-anak.

Karena itu demi melindungi kehidupan bayi di 6 bulan pertama dan tetap mengonsumsi ASI secara eksklusif, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2024 tentang Kesehatan. PP 28/2024 tersebut mengatur pengetatan aturan terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI lainnya.

Aturan itu turut melarang penjualan, penawaran, pemberian diskon atau potongan harga, hingga promosi iklan susu formula. Dalam Pasal 33 PP 28/2024 dijelaskan bahwa produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif.

 

Rekomendasi WHA

Seperti disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indah Febrianti seperti dikutip dari website Kemenkes, menyebutkan bahwa kebijakan larangan iklan susu formula itu diterbitkan guna mendukung program ASI eksklusif seperti direkomendasikan oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA).

Rekomendasi WHA itu tertuang dalam Resolusi 69.9 tentang Mengakhiri Promosi Makanan yang Tidak Tepat untuk Bayi dan Anak Kecil (Ending the Inappropriate Promotion of Foods for Infants and Young Children). "Larangan donasi materi informasi ddan edukasi oleh industri yang selaras dengan panduan MHA termasuk larangan total terhadap hadiah atau insentif untuk petugas kesehatan," demikian bunyi Resolusi MHA tersebut.

Indah menyebutkan bahwa kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif seperti tercantum pada Pasal 33 PP 28/2024 adalah sebagai berikut:

  1. Pemberian contoh produk susu formula bayi dan atau produk pengganti ASI lainnya secara cuma-cuma, penawaran kerja sama, atau bentuk apapun kepada fasilitas pelayanan kesehatan, upaya kesehatan bersumber daya masyarakat, tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan.
  2. Penawaran atau penjualan langsung susu formula bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya ke rumah.
  3. Pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya sebagai daya tarik dari penjual.
  4. Penggunaan tenaga medis, tenaga kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, dan pemengaruh media sosial untuk memberikan informasi mengenai susu formula bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya kepada masyarakat.
  5. Pengiklanan susu formula bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya dan susu formula lanjutan yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial.
  6. Promosi secara tidak langsung atau promosi silang produk pangan dengan susu formula bayi dan/atau produk pengganti ASI lainnya.

Sementara itu Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes dr Lovely Daisy seperti dikutip Antara mengatakan bahwa perlindungan, promosi, dan dukungan terhadap pemberian ASI merupakan salah satu cara paling efektif untuk memastikan kesehatan dan kelangsungan hidup anak. Adopsi Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1981 adalah langkah penting melindungi orang tua dan pengasuh dari salah satu hambatan utama dalam keberhasilan menyusui, yaitu praktik promosi produk pengganti ASI oleh industri makanan bayi.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/TR