Kepulauan Nusantara, sejak zaman perdagangan samudera atau kurang lebih lima abad yang lalu, telah lama dikenal dengan jarak bentang laut yang teramat jauh. Sebagai satu perbandingan, jarak dari Perlak di Aceh hingga Makassar sedikit lebih jauh dibandingkan jarak dari pelabuhan London menuju Cyprus di sebelah utara laut Mediterania. Artinya untuk mencapai pelabuhan terjauh di Kepulauan Nusantara sama kesulitannya dengan melakukan perjalanan di seluruh wilayah laut Eropa.
Eric Tagliacozzo, peneliti sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, pernah menulis artikel di Jurnal Archipel No. 65 Tahun 2003, tentang perkembangan pelayaran di wilayah Asia Tenggara dalam periode 1850 hingga 1900. Pada waktu itu ada dua kekuatan imperial besar yang menentukan berbagai perubahan yang mengubah wajah pelayaran Nusantara hingga sekarang ini.
Persaingan kekuatan maritim Inggris dengan Belanda, saat itu membagi dua wilayah besar yang berporos di ujung Selat Malaka. Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 membagi dua bagian utara dan selatan. Inggris mengembangkan kekuasaan di wilayah laut dan darat Semenanjung Melayu hingga Sarawak-Borneo, sedangkan Belanda dengan pangkalan di Batavia mengembangkan wilayah laut dan darat hingga ujung pulau terluar di timur. Perubahan itu sendiri berlangsung lambat diiringi berbagai dinamika "tukar guling" antara kedua kekuatan imperialis hingga penghujung abad 19.
Skala Kecil
Pertumbuhan perdagangan yang terjadi di perairan Asia Tenggara pada masa itu turut mengembangkan berbagai macam pelayaran dalam skala kecil di berbagai wilayah Nusantara. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi dua kecenderungan. Yang pertama jalur pelayaran digunakan sebagai alat mengembangkan kekuasaan negara lengkap dengan alat-alat pemaksanya. Yang kedua pengembangan ini ikut membuka berbagai perkembangan yang terjadi di luar keinginan negara.
Dua dekade penghujung abad 19, Belanda mengembangkan perusahaan pelayaran yang diberi nama Koninklijke Paketvaart Maatschappij disingkat KPM. Perusahaan ini berbentuk perusahaan swasta yang dibantu penyertaan modal dari Kerajaan Belanda. Perusahaan Pelayaran Kerajaan ini, terjemahan KPM, adalah perusahaan yang didirikan oleh Rotterdamsche (RL) Lloyd dan Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN). Sebelumnya, dua perusahaan pendiri KPM telah mengoperasikan jalur pelayaran dari Belanda menuju Jawa selama 20 tahun. Persoalannya jasa pelayaran pos antara pulau di Hindia Belanda sebelumnya dioperasikan oleh perusahaan swasta yang bernama Nederlandsch Indisch Stoomvaart Maatschappij (NISM). Walaupun bernama Belanda perusahaan ini adalah perusahaan swasta yang dimiliki oleh William Mackinnon, pengusaha inggris yang beroperasi di India. Nama firma ini menurut Lillyana Mulya, peneliti sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta, sebelumnya adalah Netherlands Indies Steamship Navigation Company. Karena perusahaan ini memenangkan tender dari pemerintah Belanda mereka harus menyesuaikan dengan aturan-aturan yang ada.
NISM Diusir dari Hindia Belanda
Depresi ekonomi yang terjadi di penghujung abad 19 menyebabkan Belanda mengurangi kebijakan liberalnya di tanah jajahan. Alasannya adalah meningkatkan proteksi kepentingan kolonial. Kejatuhan harga gula dan kopi, serta persaingan keras dalam ekspor komoditi tembakau dengan Inggris membuat tahun 1890 dilakukan perjanjian kerja sama baru yang mengharuskan awak pelayaran dari nahkoda hingga kelasi harus terdiri dari orang-orang Hindia Belanda. Hal ini lah yang kemudian memunculkan ketidaksepakatan yang membuat NISM terusir dari Hindia Belanda.
Saat NISM terdepak dari Nusantara, KPM segera memulai langkah-langkah strategisnya. Langkah-langkah itu antara lain KPM mengutamakan layanan pelayaran reguler antara pulau dengan prioritas mengembangkan layanan hingga wilayah timur kepulauan. Upaya ini harus memberi dampak keuntungan ekonomi sekaligus keuntungan politik untuk mengembangkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda berhadapan dengan penguasa-penguasa lokal.
Salah satu kebijakan komersial yang ikut mengembangkan wajah pelayaran antarpulau adalah ekspansi jalur pelayaran menuju pelabuhan yang memiliki potensi ekonomi tetapi tidak terdaftar sebelumnya dalam rute reguler. KPM bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha lokal untuk menjadi layanan kargo. Agar lebih cepat terwujud kerja sama, KPM bahkan menawarkan kredit kepada pedagang lokal. Stimulus lain juga diberikan dengan memberikan pedagang lokal tiket perjalanan kelas satu atau kelas dua menuju tempat-tempat komersial yang paling menguntungkan seperti Makassar, Jawa, dan Singapura.
Pada akhirnya kebijakan inilah yang menyebabkan pada masa Hindia Belanda, jalur pelayaran Nusantara pernah mencapai ekspansi terbesarnya. Denys Lombard, dalam bukunya NusaJawa: Jaringan Asia (2004) pernah mengatakan bahwa Hindia Belanda hingga saat ini adalah satu-satunya penguasa yang sangat sukses mengembangkan pelabuhan Nusantara hingga kawasan terjauh. Perkembangan selanjutnya yang dilanjutkan oleh perusahaan pelayaran yang dikembangkan oleh negara Republik Indonesia hingga saat ini masih belum mampu menyaingi kemampuan Belanda dalam mengembangkan jalur pelayaran yang diikuti dengan partisipasi aktif dari pelaku perdagangan dari wilayah yang terjauh. (Y-1)