Di masa Belanda, Kabupaten Boven Digoel, yang dikenal dengan sebutan Digoel Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Lokasi ini terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan.
Catatan Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4, disebutkan, Digoel disiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan November 1926. Boven Digoel kemudian digunakan sebagai lokasi pembuangan pemimpin-pemimpin nasional yang jumlahnya hingga sekitar 1.308 orang.
Tetapi kalau ditanya letaknya di peta Indonesi, banyak yang tidak tahu lokasi Boven Digul yang merupakan penjara alam ini. Boven Digoel atau di peta tercantum dengan nama Tanah Merah, merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Merauke, Papua, ujung timur Indonesia.
Tercatat sejumlah tokoh nasional pernah dibuang ke Boven Digul seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Kedua toko pergerakan nasional itu dibuang di lokasi itu pada 28 Januari 1935 silam. Mereka dianggap musuh pemerintah kolonial Belanda karena membangkang.
Selain Hatta dan Sjahrir, mereka yang dibuang ke Digul di antaranya Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, dan sejumlah para pejuang lainnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun, para pejuang pergerakan, Digul adalah tempat pembuangan yang paling menyeramkan.
Digul dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai lokasi pengasingan tahanan politik. Di sekeliling Digul terdapat hutan rimba dengan pohon yang menjulang tinggi. Bung Hatta pernah dibuang disana selama satu tahun.
Digul jauh dari mana pun, hanya dengan jalur udara untuk mengakses lokasi tersebut. Digul semakin mengerikan lantaran banyak nyamuk malaria yang ganas. Sungai Digul memiliki panjang 525 kilometer. Selain panjang, juga banyak buaya di sungai ini.
Mengunjungi Digul tak ayal seperti pergi ke negeri entah berantah. Perjalanan panjang melalui jalur udara. Dari Jakarta-Jayapura. Serta Jayapura-Tanah Merah. Selain jalur udara, bisa melalui jalur darat dari Merauke. Membutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan berkendara menggunakan roda empat.
Di atas pesawat sebelum tiba di Bandar Udara Tanah Merah, terlihat hutan rimba dengan pepohonan yang lebat. Serta Sungai Digul yang panjang. Tak jauh dari Bandara Tanah Merah, terdapat satu patung besar Bung Hatta. Tepatnya berada di hadapan Bandara yang digunakan untuk pendaratan pesawat perintis.
Di belakang patung Bung Hatta berdiri Markas Polres Boven Digul. Di sebelah Mapolres terdapat bangunan penjara lama. Bangunan penjara lama ini, merupakan simbol bahwa Bung Hatta pernah diasingkan dan berjuang meski diisolasi.
Dibagian bawah patung Hatta terdapat tulisan berupa: "Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku" (Bung Hatta).
Penghuni Digul ini hampir semuanya adalah para aktivis politik yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda. Banyak tokoh-tokoh terkenal yang dibuang kesana, ada juga banyak cerita para penghuni kamp, yang merupakan sejarah kecil untuk menuju ke kemerdekaan Indonesia.
Salah satunya Thomas Nayoan pemuda asal Minahasa yang berusaha untuk melarikan diri dari kamp tersebut. Semuanya tertulis dalam buku “Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson, dalam buku ini diceritakan bahwa Thomas Nayoan ini adalah tawanan yang gigih untuk melarikan diri, walaupaun pelariannya gagal dan sempat menyasar ke Australia.
Ia melarikan diri lewat sungai dengan menggunakan perahu, akan tetapi malah tibanya di Australia, karena memang sebelumnya Australia sudah memiliki perjanjian ektradisi dengan Belanda, maka Ia digelandang kembali ke kamp digul, Ia merupakan salah satu tokoh dalam pemberontakan PKI di Banten.
Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun 1910. Kisahnya ini diceritakan dalam karya dengan judul “Spanning a Revolution” yang menceritakan adalah Istrinya, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul.
Dalam buku itu dikisahkan perjalanan Bondan ketika di Digul, Ia merupakan rombongan dari Hatta, Syahrir, dan para aktivis lainnya. Bondan ini menceritakan tentang perlakuan yang Ia dapatkan dari pemerintah kolonial Belanda, yang sering membuat permusuhan antara para tawanan, yang membuat tawanan saling bertengkar karena perbuatan mereka yang mengadu domba para tawanan kamp Digul.
Tahanan Dipindahkan
Pada saat Jepang meduduki Indonesia dan juga pecahnya Perang Pasifik, para tawanan Boven Digoel dipindahkan atau dialihkan oleh Belanda ke Australia. Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.
Bagian dari kamp itu tidak dibebaskan lebih awal dari pertengahan 1943, akan tetapi ketika dalam menghadapi pendudukan Jepang, pada akhirnya Belanda menutup kamp Digoel tersebut dan mengirim seluruh penduduk ataupun tawanan Boven Digoel ke Australia.
Belanda berharap orang-orang Indonesia yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan politik itu dapat mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.
Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan dari pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia. Pada akhirnya sekutu menduduki Indonesia. Sehingga beralih tangan, dari tangan Belanda ke tangan Jepang. Indonesia masih berada dalam kekuasaan negara lain. Hingga akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945. (K-YN)