Indonesia.go.id - Steve Liem, Sineas yang Teguh dalam Berkarya

Steve Liem, Sineas yang Teguh dalam Berkarya

  • Administrator
  • Selasa, 29 Oktober 2019 | 03:03 WIB
PROFIL
  Teguh Karya. Foto: Dok. FFI

Teguh Karya menjadi semacam sentrum magnet yang gelombang getarannya sanggup membuat para anggota kelompok terus-menerus merasa 'demam berkesenian’.

Remy Silado, menjulukinya sebagai nasionalis tulen. Yunus Yahya menyebut karyanya sebagai "kemanusiaan yang diam-diam". Internet Movie Database (IMDb) menyebutnya sebagai sutradara Indonesia terbaik yang pernah ada.

Dia adalah Steve Liem, nama populernya di tahun 50-an. Ketika dia mulai membuat film di awal 70-an orang mengenalnya sebagai Teguh Karya.

Teguh Karya lahir 22 September 1937 dari pasangan Laksana Karya (Tjoan Hok) dan Naomi Yahya. Dalam dirinya mengalir darah Banten yang berasal dari neneknya. Dia lahir dengan nama Steve Liem Tjoan Hok. Waktu sekolah dasar dia habiskan di Pandeglang sampai kemudian dia pindah ke Jakarta, saat memasuki sekolah menengah.

Selepas SMA, Teguh Karya, menurut Nano Riantiarno yang menulis Teguh Karya & Teater Populer 1968-1993, sempat kuliah di Bogor. Dia masuk Teologia tetapi dia tidak cocok dan diam-diam pergi ke Jogjakarta. Dia masuk ke Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta (ASDRAFI) dari tahun 1954-1955.

Selepas itu dia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia atau ATNI dari tahun 1957-1961. Kemudian dia bersekolah di East-West Center, di Honolulu-Hawai dari tahun 1962-1963.

Nama yang Menuntunnya

Salah seorang kawan Teguh Karya yang juga pernah bersama-sama belajar di ASDRAFI pada pertengahan 50-an, Putu Wijaya, menilai Teguh Karya sesuai dengan namanya merupakan sosok yang sangat teguh dalam berkarya. Nama itulah yang menuntun dirinya dalam bekerja di dunia film.

Dalam artikel koran Republika, 18 Mei 1997, Putu mengatakan, "Selama 30 tahun mengembangkan Teater Populer (teater yang didirikan Teguh Karya), meski tidak semua berjalan mulus, Teguh mampu menjadi sosok yang disegani. Sosoknya pantas untuk senantiasa dikaji, sebagai gambaran berpijak generasi selanjutnya."

Salah satu yang membuatnya sangat teguh, barangkali menurut Putu, adalah dia tidak kawin. Karena membujang Teguh mampu mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya, tanpa pernah diganggu oleh anak-anak dan istrinya. Bagi Teguh, Teater Populer adalah istrinya, sedangkan anggota teater adalah anak-anak yang terus-terusan diurusnya.

Melahirkan Legenda

Majalah Kineskope 16 April 2014, mengulas sedikit tentang kiprah Teguh Karya. Teguh Karya adalah orang yang melahirkan para legenda. Sebut saja nama-nama seperti Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Niniek L Karim, Christine Hakim, Hengky Solaiman, Dewi Matindas, Titi Qadarsih, hingga Alex Komang. Semuanya lahir dari rahim Teater Populer yang dia asuh hingga akhir hayatnya.

Teater adalah sumber kekuatan Teguh. Karya-karya besar pentas teater mulai dari Alice Gerstenberg, Norman Barash, hingga Nikolai Gogol terpatri dalam sejarah sebagai prestasi sebuah sanggar teater yang saat ini, setelah kematian Teguh, diasuh oleh Slamet Rahardjo melalui Yayasan Teater Populer.

"Teguh Karya adalah uhu'. Dia menjadi semacam sentrum magnet yang gelombang getarannya sanggup membuat para anggota kelompok terus-menerus merasa 'demam berkesenian", kata Slamet Rahardjo mengenang seniornya itu.

Kemanusiaan Diam-diam

Yunus Yahya, atau biasa dikenal sebagai Haji Yunus Yahya atau Lauw Cuan Tio adalah salah seorang tokoh Tionghoa Indonesia yang tercatat dalam sejarah sebagai orang yang serius dalam upaya pembauran di tahun 50-an. Dia adalah salah seorang yang menulis capaian puncak karya Teguh Karya. Dalam buku yang berjudul Peranakan Idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Dia menulis obituari kematian Teguh.

Yunus mendengar berita kematian Teguh pada 11 Desember 2001 saat berada di kantor Menteri Parisiwata dan Seni Budaya. Bagi Yunus, Teguh adalah sosok dengan "double minority" yang mempunyai jasa sangat besar dalam mengembangkan proses pembauran Indonesia.

Salah satu karya dia yang menarik perhatian adalah film Di Balik Kelambu.  Dalam film itu karakteristik film Teguh tampak ketika dia menitikberatkan cerita tentang keluarga. Keluarga orang Indonesia. Bagaimana perjalanan hidup orang Indonesia, suka-duka, dan pengalaman selalu mengutamakan semangat kebebasan dan persatuan.

Karya-karya Teguh dalam pandangan dewan juri festival film internasional ke-7 di Hongkong, merupakan suatu "quite humanism", atau kemanusiaan diam-diam. Tidak muncul jargon atau slogan tetapi bertutur dengan wajar.

Satu hal yang membuat Teguh hancur adalah ketika dia mendapati kenyataan bahwa peristiwa Mei 1998 ternyata menyulut peristiwa kerusuhan rasial dan yang menjadi korban adalah orang-orang keturunan Tionghoa. Sejak saat itu dia menjadi depresi, dan berujung pada stroke. Dia lumpuh dan menemui ajalnya dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah kehilangan kesadaran di atas kursi rodanya pada 2001. (Y-1)