Indonesia.go.id - Arca Amoghapasa dan Tafsir Ekspedisi Pamalayu

Arca Amoghapasa dan Tafsir Ekspedisi Pamalayu

  • Administrator
  • Senin, 28 Oktober 2019 | 04:14 WIB
TOPONIMI
  Arca Amoghapasa. Foto: Sejarah Tanah Melayu

Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai bagian dari sebuah program terpadu yang bertujuan menyatukan Nusantara, sebuah ide yang nantinya menginspirasi Gajah Mada. Pamalayu lebih bermakna sebagai “perjanjian dengan Melayu”, sebuah bentuk kebijakan politik luar negeri dari Kertanegara yang prihantin dengan ancaman agresi Kublai Khan.

Sekalipun sedikit menuai pro dan kontra, kebijakan moratorium pemekaran daerah hingga kini masih jadi isu strategis yang masih terus digulirkan. Demi agenda membangun Indonesia sentris, Presiden Jokowi setidaknya di tahun ini masih belum akan mencabut kebijakan tersebut.

Seperti diketahui, seiring diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan moratorium merupakan jawaban dari masifnya pemekaran daerah yang terjadi di era reformasi. Jika di tahun 1999 Indonesia hanya memiliki 26 provinsi dan 293 kabupaten/kota, maka sepanjang 15 tahun jumlah tersebut bertambah menjadi 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota.

Banyaknya Daerah Otonom Baru (DOB) yang lahir menjadi stimulus bagi daerah lain untuk ikut menuntut pemekaran daerah. Bahkan hingga saat ini, meskipun kebijakan moratorium tengah diberlakukan, Kemendagri masih saja menerima banyak usulan pemekaran. Tercatat, masih ada 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota dari seluruh Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mendedah soal pro dan kontra kebijakan moratorium. Tulisan ini bermaksud membawa sidang pembaca menyimak muncullah satu nama kabupaten. Bukan terkait latar belakang kepentingan di balik usulan pemekaran tersebut, melainkan lebih pada sejarah tua yang lekat dengan nama yang diberikan pada kota kabupaten itu.

Dia bernama Dharmasraya. Bagian dari Propinsi Sumatra Barat, Kabupaten Dharmasraya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sijunjung Sawahlunto. Dibentuk berdasarkan UU No 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatra Barat, yang diresmikan secara simbolik oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada tanggal 7 Januari 2004.

Menarik disimak pemakaian nama Dharmasraya sebagai pilihan nama kabupaten baru itu. Apa pasalnya? Jelas, istilah Dharmasraya mengingatkan kita kepada eksistensi di balik nama kuno. Dharmasraya ialah nama sebuah kerajaan besar yang berdiri di Pulau Sumatra berabad-abad yang lalu.

Sayangnya, tak seperti nama besar Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7, meskipun berasal dari era yang lebih muda, sejauh ini sejarah Kerajaan Dharmasraya tampaknya benar-benar merupakan fenomena yang terlupakan. Merujuk laman resmi pemerintah Kabupaten Dharmasraya, terlupakannya keberadaan kerajaan ini terang diakui. Jangankan diingat masyarakat luas, seorang pemuka adat seperti Tuanku Rajo Dipati, misalnya, jauh sebelum pemekaran wilayah Kabupaten Sijunjung Sawahlunto dilakukan ternyata juga tak pernah mendengar nama itu.

Simbol Harmoni

Ya, Dharmasraya, nama kerajaan kuno itu kini muncul kembali dan sekaligus bertahan sebagai nama kabupaten di Sumatra Barat. Di balik pengenaan nama kuno itu jelas terbersit harapan besar. Bahwa, seiring pemekaran wilayah dan berdirinya Kabupaten Dharmasraya diharapkan bisa membawa masyarakat menuju kesejahteraan, laiknya peran kemilau Kerajaan Dharmasraya di masa lalu.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572236539_arca_1.jpg" style="height:720px; width:524px" />

Arca Amoghapasa di Museum Nasional, jakarta. Foto: Museum Nasional

Seperti diketahui, di sepanjang Sungai Batanghari di wilayah Kabupaten Dharmasraya, memanjang dari hulu ke hilir, ditemukan banyak situs purbakala sebagai jejak peninggalan dari Kerajaan Dharmasraya. Situs-situs itu adalah Situs Pulau Sawah, Padangroco, Awang Maombiak, dan Padang Lawas.

Merujuk Menguak Tabir Dharmasraya yang ditulis oleh Budi Istiawan dan Bambang Budi Utomo (2006), juga disebutkan nama Dharmasraya ini hanya muncul sekali di dalam Prasasti Dharmasraya yang bertarikh 1208 Saka atau 1286 Masehi. Nama ini disebutkan sebagai merujuk pada nama lokasi tempat didirikannya Arca Amoghapasa. Sumber lain juga menyebut nama Dharmasraya ialah Kitab Negarakertagama. Kitab karya Mpu Prapanca ini ditulis pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke-14.

Ya, pada 1911 ditemukan sebuah sebuah prasasti di hulu Sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, yang kini secara administrasi jadi bagian Kabupaten Dharmasraya. Populer disebut Prasasti Dharmasraya, batu bertulis ini merupakan sebuah lapik atau alas dari Arca Amoghapasa. Lapik ini pada keempat sisinya terdapat manuskrip.

Menurut Budi Istiawan (2006) dalam Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, prasasti ini ditulis dengan huruf Jawa Kuna dan bahasa campuran antara Sanskerta dan Melayu Kuno. Isinya menceritakan tentang Arca Amoghapasa yang berasal dari Bhumi Jawa dan ditempatkan di Dharmmasraya. Arca ini merupakan persembahan Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara dari Kerajaan Singasari di Jawa kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa yang berkuasa di Kerajaan Dharmmasraya di Melayu.

Prasasti ini juga menyebutkam beberapa pejabat dari Jawa yang mengiringi pengiriman arca ini, seperti Rakryan Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma dan Samgat Payangan hang Dipangkara, Rakryan Dmung pu Wira. Menarik digarisbawahi di sini, persembahan arca ini diterima dengan suka cita. Merujuk Slamet Muljana (1981) dalam Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, isi prasasti yang dipahat di atas lapik itu dibuka dengan kata: “Bahagia!”

"Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahma?a, ksatrya, waisa, sudra dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa," tulis Prasasti Dharmasraya.

Tentu, Arca Amoghapasa juga menarik disimak. Tak terlalu jelas apa peyebabnya antara lapik dan arcanya kemudian ditemukan di tempat terpisah. Berjarak 20-an kilometer, Arca Amoghapasa ditemukan di situs Rambahan, sedangkan lapik atau alasnya ditemukan di Padangroco, Kini lapik dan arcanya secara komplit disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Ditemukan lebih dulu ketimbang alasnya pada kisaran 1880-an, arca yang terbuat dari batu andesit berukuran tinggi 163 sentimeter dan lebar 97 - 139 sentimeter ini merupakan perwujudan Awalokiteswara dalam kepercayaan Buddha Mahayana, simbolisasi welas asih. Arca yang awalnya dipersembahkan oleh Kertanegara bagi Tribhuwana Mauliwarmmadewa itu, kemudian oleh Sri Maharajadhiraja Adityawarman pada sisi punggungnya dipakai sebagai medium menulis manuskrip dengan tarikh 1269 Saka atau 1347 Masehi.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572242818_Amoghapasa.jpg" />Tulisan yang ditambahkan Adityawarman terukir di bagian belakang arca Amoghapasa. Foto: Museum Nasional

Sohor disebut Prasasti Amoghapasa, isinya mengenai restorasi bangunan suci yang rusak, pendirian sebuah arca Budha dengan nama Gaganaganja, nama lain Amoghapasa, diadakannya sebuah ritual yang ditujukan kepada tokoh raja sebagai Jina di sebuah bangunan suci Budhis (Jinalaya).

Isi lainnya juga menyebutkan pelbagai kebajikan yang telah dilakukan oleh umat Buddha; memuji pengetahuan mereka yang mendalam tentang latihan-latihan Yoga dari tradisi Mahayana; juga berisi puja-puji terhadap dewa-dewi Buddha Tantris yaitu Matanginisa dan Tara, yang mempunyai sifat Buddha Mahayana, walaupun lingkungan sekitarnya bersifat Siwa.

Berdasarkan uraian prasasti Amoghapasa dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh sang raja adalah Buddha Mahayana aliran Tantrayana. Selain itu, juga tercatat Adityawarman telah bergelar Maharajadhiraja, sebuah gelar yang mengisyaratkan kedudukan yang sama dengan gelar yang digunakan oleh raja Jawa. Gelar ini berbeda dengan gelar yang disebutkan dalam lapik arca, di mana Sri Kertanegara disebut dengan maharajadiraja, sementara raja Melayu disebut dengan maharaja saja.

Menarik dicatat, momen pengiriman Arca Amoghapasa ini lazim dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Terjadi di abad ke-13, ekspedisi ini dilaksanakan atas mandat Sri Kertanegara dari kerajaan Singasari untuk membendung pengaruh ekspansionis Mongol yang dipimpin Kubilai Khan.

Ya, Kertanegara diingat sebagai raja yang berani menepis permintaan tunduk Khubilai Khan. Beberapa kali penguasa Mongol mengirim utusan ke Jawa, dan menuntut Kertanegara tunduk. Sebagai wujud penolakannya dikisahkan, Kertanegara justru pernah memotong telinga Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada 1289.

Banyak sejarawan meyakini, sebelum berani menolak Kertanegara sudah berstrategi untuk membendung pengaruh Khubilai Khan. Ekspedisinya ke luar Jawa seperti ke Bali dan Madura, termasuk Ekspedisi Pamalayu, adalah cara yang dia tempuh untuk membendung laju ekspansionis Mongol.

Istilah Pamalayu sendiri ditemukan dalam Kitab Pararaton dari abad ke-1.522 Saka atau 1.600 Masehi. Istilah Pamalayu berasal dari bahasa sastra Jawa kuno yang berarti perang melawan Melayu. Juga Kitab Negarakertagama mencatat bagaimana Raja Kertanegara mengeluarkan perintah untuk menundukkan Bhumi Melayu. Peristiwa “penundukan” itu juga disebut Pamalayu.

Benar, bahwa dari segi penggunaan bahasa mengandung indikasi peperangan atau penundukan, namun catatan sejarah tidak ditemukan adanya kasus pertumpahan darah dalam ekspedisi itu. Tak kecuali juga penggunaan gelar yang berbeda di saat Arca Amoghapasa dipersembahkan dulu dari Bhumi Jawa ke Bhumi Malayu, yang ditafsirkan bahwa posisi yang pertama berkedudukan lebih dominan daripada posisi yang kedua.

Kebanyakan sejarawan naga-naganya juga mengikuti pendapat NJ Krom. Dalam karyanya Hindoe-Javaansche-Geschiedenis, Krom menyimpulkan bahwa Arca Amoghapasa adalah bukti sejarah Melayu telah ditakhlukkan oleh Singasari.

Namun kesimpulan Krom ini dibantah oleh beberapa sejarawan lain. Merujuk peneliti Jerman, Uli Kozok dalam Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (2006) dicatat, CC Berg telah menginterpretasikan Pamalayu sebagai bagian dari sebuah program terpadu yang bertujuan menyatukan Nusantara untuk menghadapi ancaman dari Mongol, jauh sebelum Patih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.

Dengan demikian, seturut kesimpulan Berg Pamalayu lebih bermakna sebagai “perjanjian dengan Melayu”, sebuah kebijakan politik luar negeri dari Kerjaan Singasari di bawah Kertanegara yang prihantin dengan ancaman agresi Kublai Khan.

Teori Berg ini belakangan juga didukung oleh De Casparis. Masih merujuk pada karya Kozok di atas, Casparis melihat keberadaan Arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dalam kerangka membangun persekutuan antara dua kerajaan dari Jawa dan Sumatra.

Menurutnya, arca persembahan itu memiliki tujuan ganda. Pertama, supaya Malayu mengakui kedaulatan Singasari. Kedua, menyatukan kerajaan-kerajaan di Melayu supaya bersama-sama dengan SIngasari bersiap diri menghadapi ancaman pasukan Kublai Khan. (W-1)

Berita Populer