Indonesia.go.id - Dari New York ke Batavia, Catatan Seorang Agen Amerika

Dari New York ke Batavia, Catatan Seorang Agen Amerika

  • Administrator
  • Senin, 18 November 2019 | 21:40 WIB
SEJARAH
  George McTurnan Kahin waktu wajib militer dari buku Southeast Asia a Testament 2005. Foto: Dok. Testament 2005

Bulan Mei 1948, adalah bulan ketika izin untuk berkunjung ke Hindia Belanda diberikan. Di akhir Mei, dilakukan persiapan menempuh perjalanan melintasi samudera. 

George McTurnan Kahin, atau biasa dikenal sebagai George MT Kahin, adalah seorang antropolog, saksi dan pelaku sejarah, diplomat, intelijen, jurnalis, hingga sosialita yang sangat dikenal namanya hingga saat ini karena kepeloporannya mencatat berbagai peristiwa di sebuah negara muda yang baru berdiri, yakni Republik Indonesia. Berbagai kesaksiannya yang sangat unik dia tulis dalam sebuah buku berjudul Southeast Asia; A Testament  yang terbit pertama kali di kalangan terbatas pada 2003.

Keberadaan Kahin, di zaman revolusi Indonesia antara 1945 sampai 1950, menuliskan satu perjalanan yang "seru". Dalam beberapa kesaksiannya,nasib yang mengantarkan Kahin ke Indonesia lebih mirip suatu kisah fiksi spionase penuh ketegangan, yang mengantarkan dia dari sebuah kapal pesiar penuh kemewahan bersama para istri pembesar NICA yang gemar berdansa, sampai dengan keberuntungan bisa selamat dari berondongan peluru yang menembus penginapannya saat serangan udara Belanda pertama kali menghujani Yogyakarta.

Banyak hal yang menyulitkan posisi Kahin sebagai seorang peneliti ilmu sosial yang seharusnya berjarak dengan objek penelitiannya. Pada faktanya, Kahin adalah seorang pencari kebenaran ilmu sosial. Tetapi keberadaan dia selama melakukan penelitian itu benar-benar membuat tulisan dia tidak mungkin bebas dari 'bias' aktor yang mengalami sendiri berbagai kejadian selama masa penuh bahaya yang berkali-kali mengancam nyawanya.

Dipercaya Sekaligus Dicurigai

Hasil penelitian Kahin yang diselesaikan pada 1952, dia beri judul "Nationalism and Revolution in Indonesia". Pikiran Kahin yang tertuang dalam penelitian itu sedikit banyak memuat cara pandangnya yang berwarna "antikolonialisme". Hal itu membuat dia ditahan oleh Pemerintah Belanda yang tentu saja ingin mengetahui lebih banyak hal-hal yang mendasari berbagai hal yang ada dalam tulisannya.

Kahin lahir pada 25 Januari 1918 di Baltimore, tetapi dia besar di Seattle. Dia menempuh pendidikan sarjana jurusan sejarah di Harvard College pada 1940. Setelah itu, dia menjalani wajib militer sejak 1942 sampai 1945. Pendidikan master di bidang antropologi dia selesaikan pada 1946 dari Stanford University. Program doktoralnya dia selesaikan di The John Hopkins University pada 1951. Setelah pendidikan doktoral inilah dia bergabung bersama Departemen Pemerintahan di Cornell University yang memelopori kajian Asia Tenggara. Periode antara 1946 sampai dengan 1950 adalah masa-masa krusial yang paling banyak ditulis dalam buku kenang-kenangan (memoir) Kahin ini.

Kahin menulis, “Indonesia yang kukunjungi di pertengahan 1948 adalah Indonesia yang terbelah, sebagian besar wilayahnya dikuasai Belanda secara politik dan militer sedangkan sebagian lainnya yang tak kalah luasnya dikuasai pejuang republik yang baru muncul. Kedua-duanya berada di bawah kepemimpinan yang memiliki agenda perubahan yang sangat berbeda.”

Kahin bukanlah seorang yang menutup-nutupi posisinya sebagai "agen" Amerika. Dia menulis, “Sebagai orang yang meneliti perjuangan revolusi Indonesia, harapan dari para pejuang terhadap dukungan dari Amerika terhadap perjuangan kemerdekaan sangat simpang-siur. Mulai dari kepercayaan akan adanya dukungan sampai dengan perasaan dikhianati.” Kahin sangat merasakah berbagai tuduhan penuh kecurigaan pada saat itu sebagai satu-satunya orang Amerika yang berada di wilayah Republik.

Antara Visa Republik dan Visa Hindia Belanda

Kahin memulai perjalanannya dengan beasiswa sebesar $3000, jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan risiko yang dia tempuh. Kahin bahkan hanya mendapatkan tambahan sebesar $1350 ketika dia mendatangkan istri dan anaknya. Pemberi beasiswa adalah Social Science Researh Council, di New York. Padahal untuk pergi ke negara Hindia-Belanda Timur yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat jelas memerlukan lebih banyak dukungan yang sangat sulit dinilai dengan uang.

Untungnya, berkali-kali Kahin menyebutkan kata ini, “Kahin mendapat dukungan dari Sutan Syahrir, yang pada waktu itu sempat berkunjung ke New York pada musim semi 1948.” Pada kesempatan yang sangat istimewa waktu itu, Kahin bisa melakukan kontak telepon dengan Syahrir dan berkenalan dengan orang kepercayaannya, yakni Sodjamoko Mangoendiningrat. Lewat Koko inilah terjalin persahabatan, yang dikatakan oleh Kahin, berlangsung hingga akhir hayat.

Selama kunjungan musim semi yang singkat itu Kahin mengaku berdiskusi panjang dengan Syahrir dan Koko. Pertemuan yang berlangsung penuh persahabatan, terbuka, dan sangat menarik itu sangat berkesan bagi Kahin yang memang ingin pergi ke wilayah Indonesia. Pertemuan berakhir ketika Syahrir berpamitan untuk pulang ke Indonesia. Sebelumnya dia menyempatkan menulis surat yang ditujukan kepada Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk mendapatkan izin bagi Kahin yang ingin berkunjung.

Jika visa dari Syahrir, lebih mirip keajaiban, visa dari Belanda, adalah rintangan yang banyak diperingatkan akan sangat menyulitkan. Dengan bekal restu dari kantor berita Overseas News Agency, Kahin menulis surat dengan panjang kurang dari 100 kata untuk meminta izin visa. Ketidakpastian menyelimuti proses perizinan itu, titik terang muncul ketika Isaiah Bowman, rektor John Hopkins University memberikan dukungan dan perkenannya. Dia adalah orang dengan reputasi tinggi dalam diplomasi internasional dengan catatan karir sebagai penasihat regional bagi Presiden Wodrow Wilson.  Bulan Mei 1948, adalah bulan ketika izin bagi Kahin untuk berkunjung ke Hindia Belanda diberikan. Pada akhir Mei itulah Kahin bersiap-siap menempuh perjalanan melintasi samudera. 

Tiket Kelas Satu "Super Honeymoon"

Tiket perjalanan dari Amerika ke Asia Tenggara bagi orang biasa pada saat itu sangat sulit didapatkan. Yang tersisa bagi Kahin adalah tiket yang paling mahal. Dengan menyunat sebagian besar dana beasiswanya, Kahin baru bisa mendapat tiket kapal untuk tiga minggu perjalanan menggunakan De Oranje.

Sebelum mengarah ke Samudera Hindia, Kahin menyeberangi Samudera Atlantis. Dengan menggunakan kapal tua Veendam dia berangkat menuju tempat De Oranje berlabuh. Di sana dia bertemu Cornelis "Kees" Van Mook yang baru saja menyelesaikan gelar teknik kelautan dari MIT. Sebuah keberuntungan yang tak terkira karena dia adalah putra dari Hubertus Johannes Van Mook, penguasa besar Hindia Belanda Timur yang berkuasa sejak 1942 sampai 1948. Keberuntungan yang sangat khas seorang agen kelas super.

Karena "Kees" Van Mook pernah tinggal di Indonesia, maka dengan berbaik hati dia mengajari Kahin sedikit bahasa Indonesia. Sebuah perjalanan "klasik" yang dilukiskan oleh Kahin penuh dengan pembicaraan tentang negara tropis yang indah sembari berlatih bahasa.  

Sepertinya keberuntungan Kahin memang tidak ada habisnya. Sesampai di Southhampron, Kahin pindah ke kapal De Oranje, sebuah kapal yang paling indah yang menuju Asia Timur. Di kapal yang banyak ditumpangi oleh keluarga pegawai kerajaan Belanda itu terdapat istri dan anak-anak pegawai kerajaan Belanda. Para suami mereka  telah lebih dulu pergi ke Indonesia dengan menggunakan pesawat prioritas.

Walhasil Kahin yang masih segar bugar di usia 30-an bagaikan serigala yang harus mengajari domba menari. Dengan dalih melatih bahasa Belanda yang masih patah-patah, Kahin mendapatkan tugas untuk menjadi "partner" menari bagi sekurang-kurangnya 20 perempuan matang yang menunggu pelayanan. Jadilah perjalanan tiga bulan itu bagaikan "super honeymoon" bagi peneliti muda, mantan sersan Navy, yang mengaku hanya mendapatkan uang saku secukupnya.

Koresponden Bonavid di Rumah Menteng

Usut punya usut ternyata awak De Oranye yang bersama dengan Kahin ke Batavia adalah keluarga pegawai biro pemberitaan Belanda. Karena tiga minggu menjalin "pelayanan" dansa yang luar biasa walhasil Kahin langsung mendapatkan predikat koresponden yang bonafid. Bagi jurnalis bonafid tentu penginapan bonafid sudah menunggunya dan itu dia dapat di perumahan di sekitar Menteng. Tepatnya di Jl Javaweg nomor 93 atau saat ini bernama HOS Cokroaminoto. Dengan keberuntungan yang luar biasa di rumah Menteng, Kahin bisa bertemu berbagai koleganya dari Amerika. Di tempat ini pula Kahin menjalin pertemanan dengan Sanyoto dan BM Diah. Tak lupa dia juga berkenalan baik dengan Inyo Ben Goat dari Keng Po dan Ketua Persatuan Pekerja Tionghoa Chen Tey Sue yang menerbitkan majalah Seng Hwo Pao.

Tanggal 2 Agustus 1948, dua minggu setelah kedatangan Kahin di Batavia barulah dia bertemu dengan Gubernur Jenderal Van Mook. Kahin di terima di kantornya di sekitar Weltevreiden (Lapangan Gambir) yang berlantai marmer. Berbekal surat dari ananda "Kees" Van Mook, Kahin segera mendapatkan perhatian yang penuh dari sang gubernur jenderal. Mereka pun bertemu dan segera Kahin mengetahui bahwa HJ Van Mook bukanlah seorang yang seperti banyak orang kira waktu itu. Jika pihak republik mengira Van Mook hanya ingin membonceng Nica untuk kembali ke Indonesia, pada dasarnya dalam catatan Kahin, Van Mook adalah seorang republikan. Dalam banyak hal dia ingin segera menyelesaikan apa diinginkan oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Yang dia inginkan adalah pemindahan kekuasaan yang sebaik-baiknya tanpa merugikan banyak pihak. (Y-1)