Momen kelahiran seseorang adalah salah satu momen yang paling ditunggu. Terlebih, momen itu merupakan kelahiran manusia agung. Selain lazim jadi suri tauladan perihal moralitas, sosok agung ini sekaligus juga dianggap mengemban misi eskatologis atau keagamaan bagi para pengikutnya.
Dalam konteks agama Islam, salah satu ritus perayaan yang lekat sekali dengan warna kebudayaan Islam sudah tentu adalah Maulid Nabi. Dalam momen ini diperingati hari kelahiran Muhammad, anak Abdullah yang dilahirkan oleh ibunya Aminah, sosok agung pembawa misi kenabian dalam agama Islam. Dalam kalender Islam atau Hijriyah, momen kelahiran manusia agung ini jatuh setiap 12 Robiul Awal di setiap tahunnya.
Menariknya, di Indonesia, ritus ini merupakan ungkapan cinta masyarakat Muslim kepada nabinya, yang diekspresikan secara beragam di pelbagai daerah. Tentu saja warna ungkapan lokal kecintaan masyarakat Muslim kepada junjungannya ini terlihat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Sebut saja, misalnya di Madura ada tradisi yang disebut muludhe, di Yogyakarta dan Solo terdapat tradisi grebeg maulud, lalu di Garut Jawa Barat, misalnya, ada tradisi ngelungsur pusaka, di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, masyarakatnya meramaikan kelahiran nabi dengan tradisi maudu lempoa. Di Aceh, dikenal tradisi moelod atau mulod, sementara pestanya dinamai khanduri pang ulee, dan di Sumatra Barat tepatnya di Padang Pariaman dikenal tradisi bungo lado.
Sudah tentu masih banyak tradisi unik lainnya, yang memiliki ciri khas, tata cara yang berbeda yang lahir dari sejarahnya masing-masing. Di sini penting digarisbawahi, bahwa selalu ada warna alkulturasi yang kuat dalam proses mengadopsi warna-warna budaya dari luar. Selalu ada proses negosiasi, antara yang global dan yang lokal.
Pada titik inilah tulisan bermaksud mengangkat ritus bungo lado. Sebuah tradisi untuk memeringati Maulid Nabi, momen kelahiran sosok agung dan mulia pembawa risalah agama Islam. Tradisi ini hadir hampir di setiap korong dan nagari di Kabupaten Padang Pariaman.
Secara etimologi, bungo lado berasal dari bahasa Minang. Bungo artinya bunga, lado artinya lada atau cabe. Secara denotasi bermakna bunga cabe. Tapi konotasi bungo lado ialah berarti “pohon uang”. Ya, ritus atau tradisi perayaan Maulid Nabi ini dilakukan dengan cara membuat semacam pohon hias yang dihiasi oleh uang-uang kertas.
Uang yang digunakan adalah iuran masyarakat. Tradisi ini merupakan salah satu euphoria masyarakat menyambut hari lahirnya Nabi besar Muhammad SAW. Ritus ini dikoordinir oleh kapalo mudo atau ketua para pemuda. Lazimnya dilakukan oleh ketua Karang Taruna.
Kapalo mudo menginformasikan kepada seluruh masyarakat desa yang hendak mendonasikan uang mereka untuk perayaan tradisi Bungo Lado. Uang-uang tersebut dikumpulkan di tempat-tempat keramaian atau strategis seperti pos ronda hingga warung milik warga.
Setelah uang terkumpul, kapalo mudo kemudian berkoordinasi dengan perwakilan masyarakat untuk mencari dan menghias ranting-ranting pohon dan mendekorasi pohon itu menjadi pohon uang. Ranting-ranting dihias dengan kertas warna dan ditempeli uang hasil sumbangan warga. Uang yang terkumpul bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Sudah tentu semakin banyak uang yang terkumpul, maka semakin besar pula bungo lado yang mereka buat.
Selanjutnya, bungo lado diarak menuju salah satu masjid atau surau. Uang tersebut disumbangkan untuk surau guna menambah dana kegiatan keagamaan. Selain bungo lado, prosesi arakan juga disertai tersajinya makanan khas bernama jamba, yang dimasak oleh masyarakat desa.
Sejarah Maulid Nabi
Merujuk disertasi Pramono, Wacana Maulid Nabi di Minangkabau: Kajian Tentang Dinamikanya Berdasarkan Naskhah-Naskhah Karya Ulama Tempatan, disebutkan bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan satu isu yang kontroversial dalam Dunia Islam, dari dulu dan bahkan hingga kini.
Ada pro dan kontra terkait pokok soal itu. Pro dan kontra ini bukan hanya terkait soal sejarah awal kemunculan perayaan Maulid Nabi, melainkan hingga menyentuh pada aspek yurisprudensi hukum Islam, yaitu boleh atau tidaknya ritus itu dilakukan. Tulisan ini tidak bermaksud membedah pokok-soal terakhir ini. Tulisan ini lebih bermaksud melacak sejarah ritus Maulid Nabi.
Konon, dalam sejarah Dunia Islam perayaan Maulid Nabi sendiri untuk pertamakalinya di zaman kekhalifahan Fatimiyah (910 - 1171) atau kisaran abad ke-5 Hijriah di Libya. Atau juga ada pendapat lain ritus ini baru berlangsung di zaman Salahuddin Al-Ayyubi (1137 – 1193) di Mesir. Sumber lain lagi menyebutkan, perayaan ini pertama sekali dilakukan oleh Raja Abu Al-Muzaiffar atau Malik Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi (1153 – 1232), penguasa Irbil di Irak.
Namun demikian banyak ahli sejarah saling meragukan asumsi-asumsi sejarah kemunculan Maulid Nabi tersebut. Wajar saja jika muncul banyak polemik terkait asal usul ritus dan momen waktu kemunculannya. Sejauh ini, seturut penelitian tersebut, yang hampir bisa dipastikan ritus Maulid Nabi barulah muncul setidaknya setelah empat abad semenjak wafatnya sang nabi.
Masih merujuk Pramono, riset disertasi untuk menempuh gelar doktoral di Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya, Kuala Lumpur pada 2015 ini juga menyebutkan, Maulid Nabi ini merupakan praktik ritus perayaan yang awalnya lazim dilakukan oleh kalangan Syiah. Sedangkan di kalangan Sunni, ritus perayaan ini mulai dilakukan diam-diam sejak awal abad ke-12 atau ke-13.
Terlepas dari pro dan kontra soal sejarah asal usul ritus ini, merujuk Kitab Mir’atuz Zaman ditulis oleh Sibt Ibnu Jauzi, diceritakan bahwa penguasa Irbil, yaitu Malik Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi (1153 – 1232), pernah merayakan ritus Maulid Nabi secara besar-besaran dan sangat meriah. Kitab ini mencatat:
"Seseorang yang pernah hadir pada perjamuan al-Muzaffar pada salah satu perayaan Maulid, berkata bahwa untuk perjamuan acara itu ia menyuruh membuat 5.000 ekor kambing panggang, 10.000 ekor ayam, 100 ekor kuda serta 100.000 pinggan dan 30.000 piring manisan.”
Pramono juga mencatat puisi atau syair pujian kepada Nabi Muhammad seperti at-Mad?’ih al-Nabawiyah atau kitab riwayat hidup Nabi Muhammad seperti Shi’r al-Sirah al-Nabawiyyah merupakan naskah terpopular di Dunia Islam. Sementara di Nusantara, yang popular ialah Kitab Mawlid al-Barzanji dan al-Kawakib ad-Durriyyah fi Madh Khaijir al-Bariyyah atau juga sohor disebut Qasidah Burdah.
Konon, dahulu di India Selatan dan Nusantara, banyak orang kemudian beralih memeluk Islam juga karena mendengar puisi atau syair tersebut. Tak aneh, seturut Pramono—dengan merujuk pada Abdul Hadi dalam Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya—bahkan hingga kini Barzanji dan Qasidah Burdah sering dibacakan pada momen ritus Maulid Nabi.
Peranan kesenian melalui sastra, demikian simpul Pramono, memiliki pengaruh sangat besar dalam proses penyebaran Islam di Nusantara tidaklah bisa dipungkiri. Beragam cerita atau karya sastra pujangga Arab dan Parsi jadi “ramuan” mujarab yang membius penduduk Nusantara untuk jatuh cinta pada Islam dan nabinya.
Sejarah memperlihatkan, pada periode awal masuknya Islam di Melayu, karya-karya susastra dari Arab dan atau Parsi, terutama yang berisi cerita nabi-nabi, cerita para sahabat nabi serta pahlawan Islam, merupakan cerita popular yang paling banyak digubah oleh penulis lokal. Penerjemahan ini semakin marak karena kemunculan aksara Jawi dalam bahasa Melayu yang sedang berkembang pesat.
Maraknya aktivitas penyalinan, penerjemahan, penyaduran, dan atau penggubahan pada masa itu—yang kemudian dikenal dengan periode “Sastra Islam Melayu” atau juga sering disebut “Sastra Melayu Klasik”—membuat banyak naskah di Nusantara yang berhubungan erat dengan ritus Maulid Nabi. Ini lebih jauh juga membuat khazanah kesusasteraan Melayu klasik lebih banyak didominasi oleh cerita yang berhubung dengan kisah sejarah Nabi Muhammad.
Pramono, mengutip Norhayati Abdul Rahman (1995), secara sederhana meringkas beberapa cerita yang berhubung erat dengan Nabi Muhammad, yang antara lain sebagai berikut:
- Hikayat Nur Muhammad/Hikayat Kejadian Nur Muhammad.
- Hikayat Kejadian Baginda Rasulullah.
- Hikayat Khatim al-Nabi.
- Cerita Nabi Lahir.
- Hikayat Bulan Berbelah/Hikayat Mukjizat Nabi.
- Hikayat Nabi Bercukur.
- Hikayat Seribu Masalah.
- Hikayat Nabi Wafat.
- Hikayat Nabi Bercakap-cakap Dengan Iblis.
- Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah.
- Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Ali.
- Hikayat Nabi Mi’raj.
- Hikayat Maulud Nabi.
- Hikayat Wasiat Rasulullah.
- Hikayat Fartana Islam/Hikayat Puteri Salamah.
- Hikayat Raja Khabar/Hikayat Nabi Muhammad
- Hikayat Raja Khandak.
- Hikayat Raja Lahab.
- Hikayat Peri Kelahiran Nabi.
- Musawaddah
Namun jauh lebih banyak daripada itu. Merujuk riset disertasi Pramono sendiri, sejauh dia meneliti naskah-naskah di Malaysia dan Indonesia yang memiliki korelasi dengan ritus Maulid Nabi setidaknya terdapat 91 versi kitab.
Bicara konteks Minangkabau, merujuk Pramono setidaknya hingga kini masih terdapat 1.000 naskah yang berhasil diinventarisasi. Naskah ini tersimpan di Leiden, di lembaga-lembaga resmi ataupun menjadi koleksi pribadi. Naskah-naskah ini merupakan hasil dari tradisi penulisan di kalangan ulama Minangkabau. Ada di antaranya yang berasal dari abad ke-17, abad ke-18, hingga abad ke-19.
Merujuk Azyumardi Azra (2004), dikatakan para penulis naskah-naskah kuno itu menunjukkan kepiawaiannya melakukan “kontekstualisasi” dan upaya “pem-pribumisasi-an” Islam tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam itu sendiri. Lokus perkembangan tradisi penulisan ini terjadi di surau (masjid). Surau merupakan pusat pengajaran Islam dan menjadi titik tolak Islamisasi di Minangkabau.
Surau juga menjadi pusat tarekat, seperti Samaniyah, Naqsabandiyah, dan Syattariyah. Namun khusus Padang Pariaman, Tarekat Syattariyah lebih mendominasi. Ini terjadi karena Padang Pariaman ialah merupakan lokasi awal mula untuk pertamakali tarekat ini dikembangkan di Minangkabau oleh Syeikh Burhanuddin Ulakan.
Di surau-surau ini pula, hingga kini masih diselenggarakan ritus perayaan Maulid Nabi diselenggarakan meriah. Bagi penganut komunitas Syattariyah, ritus Maulid Nabi sendiri bisa dikata telah melembaga secara sosial dan budaya. Momen waktu penyelenggaraan ritus Maulid Nabi di setiap tahunnya, masih seturut riset itu, juga telah menjadi bagian ingatan kolektif masyarakat Padang Pariaman.
Namun, sayangnya bicara sejarah kemunculan tradisi bungo lado, tak jauh beda dari kekaburan sejarah ritus Maulid Nabi. Upaya melacak sejak kapan tradisi bungo lado menjadi bagian ritus Maulid Nabi, dan mengapa mengambil bentuk seremonial seperti yang kita kenal sekarang, juga masih jadi tanda tanya besar bahkan hingga kini. Fokus disertasi Pramono sama sekali tidak menyentuh pada pertanyaan historis maupun antropologis semacam itu. Fokus kajiannya lebih pada isi kitab-kitab Melayu kuno, yang memiliki korelasi erat dengan ritus Maulid Nabi.
Namun merujuk artikel Andri Maijar (2018), Tradisi “Bungo Lado” Sebagai Representasi Budaya Islam di Kabupaten Padang Pariaman, setidaknya makna antropologis telah sedikit diungkapkan. Dimuat dalam jurnal Ekspresi Seni, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, artikel Maijar menyebutkan bahwa bagi masyarakat Padang Paimanan ritus bungo lado merupakan ekspresi gotong-royong. Bungo lado merupakan bentuk sumbangan (infak) masyarakat untuk pembangun masjid atau kegiatan kerohanian lainnya.
Adapaun dasar dari pelaksanaan tradisi ini ialah, adanya anggapan bahwa setiap masyarakat harus saling berlomba-lomba dalam memberikan jumlah sumbangan. Iklim kompetisi ini, seturut artikel ini dilatarbelakangi ajaran Islam itu sendiri, khususnya merujuk Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 148.
“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (W-1)