Indonesia.go.id - Restorasi yang Urung di Situs Kawitan

Restorasi yang Urung di Situs Kawitan

  • Administrator
  • Senin, 9 Desember 2019 | 01:06 WIB
WARISAN PUSAKA
  Situs Kawitan. Foto: IndonesiaGOID/Ratna Nuraini

Dulu pernah ada keinginan warga sekitar untuk “merestorasi” situs Kawitan yang ditemukan pada kurun 1965-1967. Namun hal itu tidak terealisasi karena jiwa yang malinggih di situs tersebut menunjukkan penolakan.

Sosok dan wajahnya jelas menggambarkan panjang kehidupan yang telah dilaluinya di muka bumi ini. Namun Mbah Saminten, perempuan yang sehari-harinya mendedikasikan dirinya sebagai penjaga Situs Kawitan, tampak sangat bugar. Gerakannya tampak sigap menyapu setiap jengkal areal di sekitaran situs tersebut. Dengan sapu lidi di tangan, Mbah Saminten tampak dengan telaten menyapu pelataran bangunan peninggalan budaya tersebut.

Respons yang ditunjukkan Mbah Saminten, saat disapa kru Indonesia.go.id, cukup mengejutkan. Pasalnya perempuan berkulit sawo matang itu mampu mendengar sapaan yang dilontarkan dalam jarak sekitar 10 meter.

Hal itu kian menguatkan kesan bahwa Mbah Saminten yang juga sering disebut sebagai Mbah Muri masihlah cukup bugar dan sehat dalam usianya yang ditaksir tak kurang dari 68 tahun. Dalam bahasa setempat, kira-kira, Mbah Saminten menjelaskan bahwa dirinya adalah penjaga areal bersejarah itu.

Dengan penuh keramahan, Mbah Saminten lantas mempersilakan tamunya untuk menengok bagian dalam situs. Masih dengan keramahan yang sama, Mbah Saminten tak lupa mengingatkan bahwa di bagian dalam situs tidak diperkenankan untuk mengabadikan gambar apapun. Baik itu kegiatan maupun bangunan.

Agaknya dapat membaca keraguan tamunya, sesaat kemudian Mbah Saminten langsung berujar, “Di sini, siapapun boleh melakukan persembahyangan. Situs ini terbuka umum.”

Lampu hijau dari Mbah Saminten itu cukup melegakan. Setelah puas mengambil gambar di bagian luar situs, langkahpun langsung diarahkan menapaki anak tangga bangunan tersebut. Menengok bagian dalam situs, kesan yang tertangkap adalah kesederhanaan sebuah rumah peribadatan.

Tidak ada lantai marmer, tidak ada perabot yang berharga mahal. Di dalam situs itu, hanya tampak dua tumpukan batu berukuran sekitar 50x50 cm yang ada di dua titik perpisah. Di bagian tengah terdapat meja batu yang terbuat dari batu, dengan dupa menyala yang menyiarkan bau harum.

Kedua tumpukan batu itu dibalut dengan kain motif kotak-kotak warna hitam putih khas Bali. Di di bagian tengah, dekat meja batu, terdapat bak batu dengan tutup terbuat dari seng. Menurut Mbah Saminten, itu adalah tempat penyimpanan air suci

Dijelaskan lebih lanjut oleh Mbah Saminten, baik dinding batu yang mengitari situs, lalu meja baru tempat meletakkan dupa, dan juga bak air suci itu merupakan bangunan baru, hasil restorasi.

Sedangkan dua tumpukan baru berselimut kain kotak-kotak itulah yang diyakini sebagai peninggalan sejarah. Tiba-tiba terdengar Mbah Saminten pun berbisik. “Dulu situs ini pernah mau dibangun (ditata), tapi nggak mau,” ujarnya tanpa menyebut dengan rinci identitas sosok yang menolak pembangunan ulang (restorasi) kawasan situs.

Tapi dari cara bicaranya, tertangkap kesan, dirinya tengah menceritakan tentang isyarat yang disampaikan sosok tak wujud kepada penghuni sekitar situs itu. Alhasil, hingga kini situs itu tetap dibiarkan sebagaimana adanya.

Kesan mistis yang melingkupi kawasan memang sudah menjadi rahasia umum masyarakat sekitar. Dari cerita yang berkembang di masyarakat, di masa lalu, sejumlah warga tertimpa bencana akibat ketidaktahuannya.

Ketika awal peninggalan itu ditemukan terkubur dalam tanah, konon warga yang tidak tahu mengambil batu-batuan situs untuk dijadikan sebagai ubin rumah ataupun tungku. Alhasil, sejumlah warga mendadak menderita sakit aneh. Dan beberapa lainnya bahkan sampai meninggal dunia. Usut punya usut, ternyata jiwa yang diyakini mlinggih (berdiam) di situ keberatan dengan apa yang dilakukan warga sekitar.

Karena itulah, oleh warga bongkahan batu itu kemudian dikembalikan ke tempat semula. Dan bencana penyakit yang menimpa sejumlah warga pun berangsur-angsur mereda. Sejak saat itu, warga menyakini bongkahan batu di tengah belantara Alas Purwo bukanlah batu biasa.

Tempat Pertapaan

Sebagai sebuah situs, Kawitan selalu ramai dikunjungi peziarah. Khususnya, saat (bulan) purnama tiba dan tilem atau dikenal dengan Bulan Mati (malam tanpa bulan). Bukan hanya oleh masyarakat sekitar, situs itu juga didatangi oleh para penganut Hindu dari Bali.

Dari cerita turun-temurun, disiarkan bahwa Situs Kawitan memiliki lorong gaib. Lorong itu menjadi tempat pertapaan seorang begawan atau resi. Ada dua versi cerita yang beredar. Yakni kisah Resi Markandya, yang menurut cerita masyarakat Hindu di Tegaldlimo, Banyuwangi, situs itu ada kaitannya dengan perjalanan Resi Markandya menuju Pulau Dewata Bali.

Konon, Resi Markandya datang dari Pulau Jawa ke Bali. Tiba di Pulau Dewata, sang resi mendapati warga sedang terjangkit penyakit. Kemudian dia kembali ke Jawa dan bertapa di Gunung Raung. Dalam pertapaannya, sang resi mendapat petunjuk untuk kembali bersemedi di Alas Purwo. Lokasi bertapaannya itu ada di Situs Kawitan, di sekitar pintu masuk Rowobendo.

Setelah bertapa di Alas Purwo, Resi Markandya disebutkan menemukan obat untuk mengobati masyarakat di Bali. Setelah mereka sembuh, dibuatlah Pura Agung di Besakih untuk menghormati jasa Resi Markandya. Jadi Situs Kawitan ini ada kaitannya dengan pura di Besakih. Versi lain cerita itu adalah ihwal pertapaan Mpu Baradah. Dikabarkan, di situs itulah sang mpu bersemedi.

Situs Kawitan juga dikunjungi banyak umat Hindu untuk mengikuti upacara Pager Wesi yang biasa diadakan setiap 210 hari sekali atau tujuh bulan sekali. Upacara Pager Wesi sendiri merupakan ritual penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa, dan digelar tiap hari Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pager Wesi berarti benteng perlindungan dari besi, yang melambangkan kekuatan spiritual manusia.

Pada upacara tiap 210 hari itu, terdapat tiga tahapan, yaitu pelemahan ritual sesaji bagi tanah untuk santapan Bhatara Kala. Lalu yang kedua adalah pawongan, yaitu penurunan ilmu dari para dewa. Dan yang ketiga adalah khayangan, yakni ritual bermakna ungkapan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu pengetahuan.

Kini, berjarak sekitar 50 meter dari situs Kawitan, berdiri pura besar yang dibangun atas dana swadaya para penganut Hindu, baik yang berdiam di tanah Jawa maupun Bali. Pada momen-momen tertentu, pura itu dipadati hingga ribuan umat Hindu. “Jadi kalau saja Situs Kawitan ini tidak ditemukan, tidak akan dibangun pura besar itu di sini,” ujar Mbah Saminten menutup pembicaraan. (N-1)