Kongres Bahasa Indonesia yang pertama pada 1938, menyimpan berbagai naskah pemikiran para pendiri bangsa tentang pentingnya Bahasa Indonesia. Harimurti Kridalaksana dalam bukunya Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) menulis keistimewaan kongres pertama sebagai suasana yang jauh dari kesan teratur dan terarah.
Spontanitas sangat terasa dalam suasana pertemuan yang sangat bersejarah itu. Pidato-pidato bermutu dengan uraian-uraian tentang kebahasaan negara Indonesia yang masih ada dalam "bayangan" membuat naskah-naskah itu menjadi sangat istimewa untuk mengetahui seperti apa sebenarnya cita-cita kebangsaan para pendahulu kita.
Catatan Mister Soemanang kepada redaksi Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia pada 12 Oktober 1983 menulis sedikit banyak gambaran suasana yang muncul pada waktu itu. Kongres itu berlangsung sejak Sabtu 25 Juni 1938. Pada pukul 20.00 Kongres dibuka di Societeit Habiprodjo oleh Dr Poerbatjaraka. Lebih dari 500 orang hadir dalam malam pembukaan kongres. Termasuk yang hadir adalah wakil dari Sultan Yogyakarta, Sunan Solo, Pakualam, Mangkunegara, sampai dengan perwakilan pers Indonesia maupun Tionghoa dan wakil dari Java Instituut.
Pembahasan dalam kongres ini mendapat sambutan banyak pihak sebagai pembahasan yang sangat orisinal. Uraian Sutan Takdir Alisjahbana untuk mengatur bahasa secara lebih baik dengan menyusun tata Bahasa Indonesia baru merupakan gagasan yang maju. Uraian Mister Muhammad Yamin dan Mohammad Tabrani yang penuh dengan gagasan-gagasan kebangsaan yang kental mendapat sambutan yang hangat karena mereka sangat pandai berpidato.
Apresiasi juga diberikan para peserta kepada Soemanang yang mereka nilai sangat aktif bahkan seperti tidak mengenal lelah mengemas acara kongres dan menjadi sekretaris yang mencatat segala sesuatunya. Ungkapan penghargaan itu tertulis dalam catatan Harimurti Kridalaksana (1991) sebagai berikut:
".... soedah boleh dikatakan tidak tidoer-tidoer lagi menjelesaikan segala sesoetaoenja, dan ditengah-tengah berkongres bahasa Indonesia, tiap-tiap habis rapat kongres, haroes poela mengoenjoengi rapat-rapat Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia), membitjarakan perkara-perkara jang penting-penting dan soelit-soelit."
Saat itu tidak semua pihak menyambut baik kongres. Surat-surat kabar Belanda sangat skeptis tentang masa depan Bahasa Indonesia. Ada pula yang menuduh bahwa kongres itu tidak ilmiah. Padahal para pendukung kongres mulai dari Profesor Doktor Hoesein Djajadiningrat dan Doktor Poerbatjaraka, adalah sarjana-sarjana yang keahliannya sudah diakui oleh dunia internasional pada waktu itu.
Salah satu hasil nyata setelah kongres ini adalah keputusan fraksi nasional dalam volksraad yang dipimpin Mohammad Hoesni Thamrin untuk memutuskan memakai Bahasa Indonesia dalam pandangan umum dewan yang menimbulkan reaksi negatif penguasa Belanda. (Y-1)