Indonesia.go.id - Kawin Antarbangsa

Kawin Antarbangsa

  • Administrator
  • Selasa, 14 Januari 2020 | 04:13 WIB
SOSIAL BUDAYA
  Tempo Doeloe - Antologi Sastra Pra-Indonesia: Cover buku Tempo Doeloe karya Pramoedya Ananta Toer (ilustrasi/dok foto: goodreads.com)

Sekalipun seorang bumiputera yaitu Untung Surapati dijadikan sebagai pelaku utama dalam romannya, Dari Boedak Sampe Djadi Radja, sayangnya pilihan judul itu terkesan menyempitkan makna akan kisah Surapati sendiri.

Kisah hidup Untung Surapati demikian sohor dan melegenda tentu bukanlah semata heroisme. Menyederhanakan ketenaran Surapati karena keberanian dan kesanggupannya membunuh Kapten Tack, rasa-rasanya terlalu menyempitkan kisah hidupnya sebatas herosisme, juga semata pada kesuksesannya meniti karir kemiliteran.

Pun mengerecutkan kisah ini sekadar lukisan tentang keberhasilan Untung Surapati “meloncat” naik tangga kelas sosialnya (social climber), tentu juga setali tiga uang. Sayangnya, baik Nicolina Maria Christina Sloot maupun Ferdinand Wiggers saat menulis judul karya sastra mereka, sadar atau tidak, telah mereduksi kisah sejarah Untung Surapati pada makna social climber.

Seperti telah dipaparkan artikel sebelumnya, Sang Legenda Jawa, Christina Sloot atau masyhur dengan nama pena Melati van Java telah menulis kisah Untung Surapati dalam karya roman sejarahnya. Berjudul Van Slaaf tot Vorst, roman ini kemudian diterjemahkan oleh Ferdinand Wiggers dengan judul nisbi sama, Dari Boedak Sampe Djadi Radja.

Benar, bahwa realitasnya memang Surapati asalnya adalah seorang berkasta budak, dan karena kegigihan hidupnya kemudian menjadi raja kecil di Pasuruhan. Fakta ini tentu saja tidak bisa dipungkiri.

Menurut Pramodya Ananta Toer dalam Tempo Doeloe—Antologi Sastra Pra-Indonesia dikatakan, Melati van Java sebagai pengarang hampir dapat dikatakan tidak bersikap kolonial, dan sebaliknya malah bersimpati pada Surapati. Sekalipun seorang bumiputera dijadikan sebagai pelaku utama dalam romannya, sayangnya pilihan judul atas romannya itu terkesan menyempitkan makna akan kisah Surapati sendiri.

Tanpa mengabaikan kasus pembunuhan Kapten Tack dan keberhasilan mobilitas vertikalnya, naga-naganya kekayaan warna kisah Surapati-lah membuat ia, bukan hanya populer dan melegenda, pun tersimpan di hati masyarakat, bahkan hingga kini. Pertanyaanya ialah, apakah kata kunci di balik semua itu?

Ya, tidak lain dan tidak bukan ialah kisah cinta sejati antara Untung Surapati dan Suzanna Moor, serta perkawinan antarras atau etnis yang mereka lakukan ketika itu.

Mendobrak Sekat Sosial

Bagaimanapun, kisah cinta mereka bisa dikata jauh melampaui zamannya. Bagaimana tidak. Dalam zaman kolonialisme awal di Hindia Belanda, saat prasangka superioritas kulit putih dan politik Aparteid sangat kuat mendera wajah bumiputra, Untung Surapati dan Suzanna Moor telah melakukan perkawinan antarras atau etnis.

Amalgamasi. Demikianlah perkawinan antarras atau etnis dulu disebut. Kini istilah amalgamasi nisbi tidak pernah dipakai lagi. Berganti dengan frasa perkawinan antarbangsa, bisa dikata barulah jadi tren tersendiri di kalangan para aktivis mahasiswa di Amerika ketika hingar-bingar Revolusi Bunga jelang akhir 1960-an.

Ketika itu kawin antarras atau etnis sempat dianggap jadi model perlawanan politis terhadap kemapanan budaya kapitalistik, dan sekaligus jadi bagian dari perjuangan hak-hak sipil masyarakat kulit berwarna menuntut prinsip-prinsip kesetaraan. Gerakan hak-hak sipil dan antirasialisme ini di negeri Paman Sam mulai muncul sejak pertengahan  1950-an.

Ya, bahkan di tahun 1959, masih hanya terbilang 4 persen warga Amerika menyetujui pernikahan antarras. Sekarang ini, 87 persen tidak menganggapnya masalah. Demikian menurut jajak pendapat Gallup di tahun 2013. 

Mari kembali ke Tanah Hindia di masa kolonial Belanda. Saat itu, pertengahan abad ke-17 dan awal abad ke-18 tentu bukan berarti sama sekali tidak terjadi pernikahan antaretnis. Cinta dan seks ialah realitas yang natural, wajar saja relasi antarras atau etnis di tengah-tengah interaksi masyarakat juga mengandaikan hal itu secara natural.

Terlebih ketika itu kapal adalah satu-satunya alat transportasi dari Belanda ke Hindia. Beratnya jelajah samudera, yang konon memakan waktu hampir satu tahun untuk menempuh perjalanan antara Belanda ke Hindia, membuat kaum laki-laki Eropa cenderung pergi sendirian ke tanah koloni tanpa ditemani kaum perempuannya.

Walhasil, di Tanah Hindia sebagai tanah koloni bisa dikata tanpa atau sedikit dihuni oleh kaum perempuan Eropa. Konsekuensinya lelaki Eropa atau Belanda sejak masa awal pendirian VOC di Batavia, tak satu dua juga berhubungan seks atau menikah antarras atau etnis dengan perempuan bumipetera.

Namun hubungan antarras atau etnis ini di negeri koloni tidaklah bersifat mutual dan setara. Simaklah novel Tjerita Nyai Dasima karya G Francis yang terbit pada 1896, misalnya.

Merujuk Tineke Hellwig dalam Citra Perempuan di Hindia Belanda, sosok Dasima dalam novel karya Francis dilukiskan sebagai perempuan yang tak setia, baik pada anak maupun pasangan Eropanya. Sementara, pasangan Eropanya si-Williams, dilukiskan gentleman, seorang pria berperasaan halus dan sangat perduli dan bertanggung jawab, baik pada Dasima maupun anaknya.

Seperti diketahui, istilah nyai merupakan terminologi zaman itu untuk menyebut perempuan bumiputera yang hidup dan tinggal satu rumah dengan lelaki Eropa, entah melalui ikatan perkawinan maupun tidak. Tampak jelas dalam istilah nyai selalu memiliki konotasi negatif. Istilah ini hampir-hampir sinonim arti dengan gundik, plus pekerjaan sebagai asisten rumah tangga.

Lantas, pertanyaannya: bagaimana bila kaum lelaki bumiputra mengawini perempuan Eropa? Kasus ini hampir-hampir tak pernah terjadi.

Kembali merujuk Tineke Hellwig, dikatakan: “Kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki Asia sangatlah luar biasa. Pada abad ke-18 diperlukan persetujuan khusus dari Gubernur Jenderal.”

Barulah memasuki abad ke-19, status hukum nikah antara lelaki bumiputra dengan perempuan Eropa mulai mendapat kejelasan. Pada 1848, terbit sebuah Hukum Sipil untuk orang-orang Eropa.

Dalam hukum ini terdapat ketentuan bahwa, laki-laki bumiputra yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda akan mendapat klasifikasi Eropa seperti istrinya melalui perkawinan.

Sebutlah nama pelukis sohor bumiputra, Raden Saleh, misalnya, tiga tahun setelah Hukum Sipil terbit, tercatat menikah dengan perempuan keturunan Eropa. Tak kecuali Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satu eksponen “Tiga Serangkai” ini pada 1920 juga tercatat menikahi perempuan keturunan Eropa.

Namun di penghujung akhir abad ke-19, Hukum Sipil ini direvisi kembali. Kalangan konservatif warga Eropa di Hindia Belanda protes keras. Mereka beranggapan, perkawinan antara lelaki bumiputra dengan perempuan Eropa berpeluang menurunkan derajat kelas warga Eropa.

Hasilnya, pada 1898 ketentuan pasal yang mengatur perihal perkawinan antara lelaki bumiputera dan perempuan Eropa diubah. Sejak itu, setiap perempuan di Tanah Hindia yang menerima perkawinan antarras atau etnis bakal mendapatkan status kewarganegaraan suaminya.

Kembali pada kisah cinta antara Untung Surapati dan Suzanna Moor, di pertengahan akhir ke-17. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana hebohnya suasana di Batavia ketika itu saat sepasang kekasih ini diam-diam menikah dan akhirnya diketahui.

Seperti diketahui, Surapati, seorang budak dari Bali, bekerja pada majikannya seorang anggota Dewan Hindia, orang Belanda, bernama Endeler Moor. Jatuh cinta pada teman sepermainannya, yaitu Suzanna Moor, ialah putri majikannya tersebut.

Ketika orang tua Suzanna yang sekaligus majikannya itu tahu, maka akibatnya Surapati ditahan dan bahkan dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Suzanna nantinya juga dipulangkan ke Belanda, setelah bujuk rayu orang tuanya supaya ia menikah dengan sesama orang Belanda selalu ditolaknya.

Bukanlah Untung Surapati jika ia tak bernasib beruntung. Berhasil bebas dari tahanan, ia kemudian mendaftarkan diri sebagai tentara bayaran VOC. Mendapat pangkat letnan, Surapati membawahi sepasukan Laskar Bali. Surapati berharap, karir militernya sebagai tentara VOC bakal membuat ia dapat melamar Suzanna kembali dan menjadikan istrinya secara sah.

Menarik dicatat di sini. Selain melawan gelombang pasang prasangka rasialisme dalam masyarakat kolonial Belanda di zaman itu, cinta keduasejoli ini juga bermaksud menegasikan adanya jurang pemisah antarkelas, antara budak dan majikan.

Selain itu, kisah cinta kedua sejoli sudah tentu berpamrih melampaui sekat-sekat perbedaan agama. Untung Surapati, sebagai orang Bali lazimnya memeluk agama Hindu-Bali. Sementara, Suzanna Moor sebagai orang Belanda lazimnya memeluk Kristen.

Merujuk Melati van Jawa dalam fragmen Kepada Anakku!, sebuah surat yang ditujukan Suzanna kepada buah hati mereka, Robert, keduanya pernah mengikat janji dan berencana menikah dalam tradisi kedua agama masing-masing.

Namun harapan ternyata tinggalah harapan. Surapati berselisih paham dengan, dan dihina oleh, komandan pasukannya, Kuffeler. Surapati merasa terhina. Terlebih-lebih ia juga mendapat kabar, Suzanna Moor telah menikah lagi. Menikah dengan Kuffeler. Sebuah berita yang baru belakangan terkonfirmasi sebagai kabar bohong.

Namun sejak itulah, amarah dan dendam Surapati kepada orang-orang Belanda berkobar-kobar hingga akhir hidupnya. Ya, momen cinta di satu sisi dan sekat-sekat diskriminasi rasialisme di sisi lain tampaknya telah melecut Untung Surapati jadi sosok legendaris sebagaimana kita kenal. (W-1)