Teknologi budi daya kepiting bakau dengan vertical crab house makin berkembang di Indonesia. Untuk pembesaran dan penggemukan hanya perlu waktu sekitar tiga minggu.
Dari waktu ke waktu, peringkat kepiting di meja makan terus menguat. Seni kuliner (tata boga) pun kini menempatkan kepiting bakau (ukuran besar) sebagai sajian utama, yang selevel dengan udang dan ikan kerapu. Kepiting bakau kini menjadi produk yang berharga, bahkan komoditas ekspor yang cukup menjanjikan.
Di sejumlah toko online, kepiting hidup ukuran 250 gram per ekor ditawarkan dengan harga Rp170 ribu per kg. Ukuran memang soal penting dalam membentuk harga. Yang ukuran 500 gram per ekor, harganya bisa di atas Rp250 ribu per kg. Peminatnya membeludak, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Ekspor kepiting Indonesia pada 2021 menembus angka USD513 juta, atau sekitar Rp9 triliun. All time high, tertinggi sepanjang sejarah.
Seni menghadirkan kepiting bakau ke meja makan, utamanya di restoran dan kedai seafood, merupakan gejala baru. Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, kepiting bakau (Scylla spp) masih belum banyak dikonsumsi orang, apalagi di restoran besar.
Petambak udang justru menganggap bahwa kepiting itu hama yang harus disingkirkan dari area tambak. Namun dalam perkembangannya, kepiting naik daun dan dikonsumsi secara lebih luas. Permintaan atas hewan air payau berkaki 8, termasuk sepasang capit besar di bagian depan itu pun diburu dan ditangkap di area pasang surut. Dengan menipisnya populasi di alam, budi daya kepiting pun menjamur di mana-mana.
Di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, kepiting alam ini mudah ditemukan, sejauh masih ada hutan bakau di pantai. Secara umum ada empat jenis, yakni kepiting bakau merah (Scylla olivacea) atau red/orange mud crub; kepiting bakau hijau (Scylla serrata) atau giant mud crub; kepiting bakau ungu (Scylla tranquebarica); dan kepiting bakau putih (Scylla paramamosain). Semua laku terjual di pasaran.
Teknik budi daya kepiting juga terus berkembang. Mula-mula bibit kepiting alam ditumbuhkan di dalam kolam payau dan diberi makan. Satu kolam berisi puluhan ekor, tergantung ukurannya. Ada risiko kepiting yang sedang molting (ganti cangkang), dalam kondisi sangat lemah, sering dikerubuti dan dimangsa kawanannya sendiri.
Cara budi daya juga terus berubah. Kepiting yang hidup soliter itu rupanya bisa beradaptasi dalam kotak-kotak (kandang) plastik lebar 25 cm, tinggi 25 cm, dan panjang 30 cm. Di situ ada pintu untuk buka tutup, saluran pipa paralon untuk air masuk dan pembuangan. Pintu tadi dipakai untuk keluar masuk kepiting dan pemberian pakan. Budi daya bisa dilakukan secara indoor, dalam ruangan.
Kandang itu bisa dipasang berderet rapat dan bersusun sampai lima tingkat. Ruang ukuran 10 x 6 m2 bisa menampung 1.500 ekor, berikut perkakas produksi, jaringan pipa dan kolam air payau untuk kebutuhan sirkulasi air. Untuk budi daya kepiting itu kadar garam pada air genangan kandang 0,2 – 0,3 persen. Ketinggian air di kandang tak lebih dari 5 cm.
Perluasan Budi Daya
Dengan cara unik itu, teknik budi daya kepiting dalam kandang-kandang yang berderet vertikal itu disebut vertical crab house atau apartemen kepiting. Berbagai perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kelautan dan Perikanan sudah mengembangkannya sejak beberapa tahun terakhir, termasuk di IPB University, Bogor, Jawa Barat.
Peluang pengembangan apartemen kepiting untuk usaha rakyat ini diincar pula oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar). Maka, DKP Sumbar dan IPB University telah meneken kerja sama pendampingan dalam mengembangkan vertical crab house yang sesuai pada skala usaha rakyat. Program kerja sama akan dilakukan dalam bentuk alih teknologi. Pembangunan model apartemen kepiting itu akan dihelat di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), Balai Perikanan Budidaya Air Laut dan Payau (BPBALP) Sungai Nipah, Panainan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar.
Para peneliti yang diterjunkan ke Sungai Nipah itu adalah dosen dan peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) serta Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Acuan utamanya adalah pengalaman praktis Tim peneliti FPIK selama mengembangkan apartemen kepiting di arena IPB Fisheries and Marine Observation (IFMOS), Ancol, Jakarta Utara.
‘’Pengembangan perikanan kepiting di Sumbar ini bertujuan menghasilkan kepiting dalam jumlah banyak tanpa merusak lingkungan hidupnya, yaitu mangrove. Program ini juga dimaksudkan untuk menjadikan Sumbar menjadi salah satu sentral kepiting di Indonesia,” ujar Dr Syamsul Bahri, ahli kepiting yang terlibat dalam kerja sama tersebut.
Program tersebut, menurut Syamsul Bahri, juga diharapkan memberi solusi atas tingginya tingkat kematian kepiting dalam budi daya serta mencapai ukuran produksi yang seragam. Adapun kunci utama dalam budi daya apartemen kepiting itu, katanya pula, adalah pada sirkulasi airnya, bentuk dan ukuran wadah kepiting dan proses pemeliharaannya.
Di lapangan, pembudi daya kepiting lebih menyukai bibit hasil tangkapan di alam, yang masih kecil, dengan ukuran cangkang sekitar 7 cm. Pakannya, ikan rucah (limbah ikan dicacah) dan keong atau bekicot. Setelah beradaptasi di wadah (kandang) beberapa hari, dua supit utama kepiting dipotong di pangkalnya, dan kondisi itu akan merangsangnya molting.
Kedua capit itu akan tumbuh pulih pascamolting. Di masa itu, kepiting juga cepat tumbuh menjadi individu baru, yang lebih besar, dengan ukuran tudung cangkang hampir dua kali lipatnya. Semua proses ini bisa berlangsung dalam tempo sekitar tiga minggu. Kepiting ukuran cangkang 7 cm dengan berat 75 gram, bisa tumbuh menjadi kepiting baru dengan tudung ukuran cangkang 13--14 cm, berat 200 gram atau lebih.
Justru ketergantungan pada bibit alam itu yang ke depan harus dipertimbangkan lagi. Dr Syamsul Bahri sekaligus menyiapkan teknik pembenihannya (hatchery). ‘’Setelah kegiatan ini diadaptasi oleh masyarakat dan berhasil, langkah selanjutnya membangun mini hatchery di wilayah Balai Benih Ikan (BBI) Nipah agar keberadaan kepiting tetap lestari dan benih budi daya pun tetap ada,’’ ujarnya. Akan halnya kawasan mangrove di Painan, katanya, bisa kembangkan sebagai ekowisata.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari