Sekitar awal 2000-an dia pernah berada di Sangihe, tepatnya di kampung Kendahe Tabukan Utara. Dia bertemu dengan Fredy salah seorang pemeluk "Islam Tua". Dia menganut agama itu dari garis keturunan orang tua. Keluarga Fredy adalah salah satu penganut agama "islam Tua" yang pemeluknya saat itu berjumlah sekitar 3.000 jiwa.
Anton, yang kerap berdiskusi banyak hal dengan Fredy perlu untuk menjelaskan tentang istilah "Islam" dan "Tua" yang disematkan pada keyakinan agama itu. Kata "Islam" disematkan karena pemeluk agama ini meyakini kalau Allah itu satu dan Muhammad itu rasul Allah. Sementara "Tua" adalah kata untuk membedakan ajaran agama ini dengan pemeluk Islam kebanyakan. "Tua" juga mempunyai makna identitas sejarah. Dia mempertegas satu ketegasan identitas Fredy dengan sesama pemeluk agama itu adalah warga asli Sangihe. Mereka bukan pendatang.
Yang membedakan pemeluk agama ini dengan Islam kebanyakan adalah tata cara ibadahnya. Rumah ibadah mereka dinamakan Masjid tetapi bentuknya lebih menyerupai gereja karena ada lonceng untuk membunyikan tanda panggilan ibadah. Cara salatnya berbeda, mereka ada yang berdiri dan ada yang duduk membentuk lingkaran. Doa yang mereka lantunkan adalah doa dengan bahasa lokal. Sesekali terdengar lafal bismillah dan takbir Allahu Akbar.
Diakui Orde Baru
Patur Rahman Lahindah, peneliti Antropologi dari Universitas Sam Ratulangi, juga menulis tentang salah satu agama tertua di Kepulauan Sangihe. Jurnal Holistik, Tahun XI No. 21, Januari-Juni 2018 menuis tentang agama yang dikenal dengan nama Islam Masade yang kebanyakan pemeluknya berada di Desa Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Tahun 1978, Kementerian Agama mengeluarkan keputusan tentang "Islam Tua" yang diaku sebagai bagian dari aliran kepercayaan yang pembinaannya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Iklim Orde Baru yang cenderung memaksakan penggolongan memberikan nama pemeluk agama itu dengan sebutan Himpunan Penghayat Kepercayaan Masade.
Sejarah masuknya agama Islam mula-mula di Kepulauan Sangihe hingga saat ini masih bersumber pada sejarah lisan. Cerita tutur dari pemeluk agama Islam di Tabukan konon diperkenalkan oleh seorang yang berasal dari semenanjung Arabia. Dia bernama Syarief Maulana Moe'min. Dia datang pada sekitar abad ke-15 Masehi. Saat itu dia mendapat dukungan dari raja Kerajaan Lumauge yang bertempat di sebuah bukit di belakang Moronge. Kerajaan ini adalah satu-satunya kerajaan Islam di Sangihe yang merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Tabukan.
Versi lain menyebutkan tentang berkembangnya Islam di Kerajaan Kendahar dengan rajanya yang bernama Syah Alam. Perdagangan dan kekerabatan yang dilakukan dengan kerajaan-kerajaan di sekitar kepulauan Sulu dan MIndanao ditengarai sebagai penyebabnya. Syah Alam ini lah yang dalam dialek lokal kemudian disebut sebagai Samangsialang.
Selama Samangsialang berkuasa muncul sosok bernama Imam Masade atau disebut dalam sebutan lokal Mawu Masade. Mawu sendiri adalah sebutan kehormatan tertinggi bagi orang suci. Mawu Masade juga muncul dalam sejarah tutur Kerajaan Ternate. Konon salah satu sahabat Masade yang bernama Pendeta Valentijn ditangkap oleh rakyat Ternate sebagai aksi balas dendam terhadap tindakan Portugis yang dianggap telah membunuh raja mereka sultan Hairun.
Setelah mengetahui hal itu Masade pun menumpahi tanah Ternate dengan mengatakan setelah sembilan hari tanah Ternate akan dimurkai tuhan. Setelah kejadian itu lah Masade pulang ke Sangihe ke desa kelahirannya. Setelah dari tanah kelahirannya dia kemudian pergi ke Tugis (Sarangani-Filipina) dan mengajarkan ajarannya kepada muridnya yang bernama Penanging.
Pengaruh Syiah
Para peneliti sejarah kebanyakan melihat proses yang terjadi dalam ajaran agama "Islam Tua" Sangihe sebagai bagian dari pengaruh Syiah yang kuat di awal masuknya Islam ke kepulauan Asia Tenggara. Sebagaimana diketahui di sebagian wilayah pantai Barat Sumatra pengaruh ajaran Syiah dengan peringatan Tabuik setiap bulan Assyura adalah beberapa hal yang masih lestari.
Daerah Tugis, Sarangani, Filipina, hingga saat ini diketahui sebagai salah satu tempat penyebaran Islam Syiah. Dalam catatan Walandungo yang dikutip Patur Rahman, salah satu keunggulan ajaran Syiah adalah toleransinya dalam mengadopsi tradisi lokal.
Beberapa ajaran "Islam Tua" yang unik yang telah diwariskan dalam tradisi desa Lenganeng, yakni:
- Diko'u Soro ; Tradisi ini adalah acara yang dilakukan tiga hari jelang Idul Fitri yang mereka sebut sebagai Hari Raya Buka. Tradisi ini mirip dengan tradisi Grebeg Mulud, yakni berebut makanan. Kalau Grebeg makanannya ditaruh dalam keranda, dalam acara ini makanan digantung pada sebuah pohon yang ujungnya berbentuk kubah dan di atasnya terdapat sebuah obor. Makanan yang digantung adalah ketupat dan hasil bumi.
- Sembahyang; Berbeda dengan Islam kebanyakan, ajaran ini melakukan salat hanya seminggu sekali yang dilakukan hanya pada hari Jumat. Hukumnya wajib dan dilakukan di masjid yang disebut sebagai Pengamareng. Sembahyangnya dilayani oleh seorang imam lengkap dengan peralatan ritual berupa bara api, kemenyan, dan segelas air. Mereka tidak melakukan gerak salat seperti kebanyakan. Mereka hanya berdoa dan berzikir. Bahasanya sebagian Arab bercampur dengan bahasa lokal. Sembahyagnya dilakukan dengan duduk mellingkar. Seorang Imam berada di tengah-tengah jemaah, baik laki-laki maupun perempuan. Pakaian yang dikenakan sendiri hingga hari ini sama seperti yang dikenakan oleh orang Islam pada umumnya.
- Pemilihan Imam; Ajaran Masade memerlukan penunjukan seorang Imam yang diberikan kepada seorang yang mumpuni dalam pengetahuan agama Masade. Seorang Imam juga harus orang yang berpengetahuan tinggi. Dia diibaratkan sebagai kitab suci yang berjalan. Dalam menunjuk seorang imam mereka melakukan proses pengkaderan selama lima tahun. Setelah lima tahun digembleng baru mereka memilih seorang imam. (Y-1)