Indonesia.go.id - Tafsir Jawa terhadap Kuasa dan Kekuasaan

Tafsir Jawa terhadap Kuasa dan Kekuasaan

  • Administrator
  • Rabu, 31 Juli 2019 | 05:00 WIB
KEBUDAYAAN
  Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta, Jawa - Mangkunegara VIII. Foto: Istimewa

Demikianlah menjadi raja yang ideal, seturut Anderson, berarti seorang raja terus-menerus mencari tuntunan Tuhan di dalam batin saat memerintah atau berkuasa. Dengan demikian seorang raja hendaklah memiliki sifat wicaksana (wisdom), sehingga bisa bersikap adil dalam menyelesaikan suatu masalah.

Bicara kekuasaan dalam perspektif Jawa, salah satu tulisan Indonesianis yang kuat ialah tulisan Benedict Anderson. Karyanya yang berjudul The Idea of Power In Javanese Culture, sekalipun memunculkan kritik tajam dari antropolog Indonesia, Koentjoroningrat, hingga kini masih patut disimak. Setidaknya mengingat 40 persen penduduk adalah etnis Jawa, sebuah etnis terbesar di Indonesia.

Berbeda dengan konsepsi Barat, yang memandang kekuasaan itu bersifat abstrak dan merupakan perwujudan dari interaksi sosial, dari pola-pola hubungan antarkelompok manusia, perspektif Jawa tidaklah demikian. Menurut Anderson, konsepsi Jawa melihat kekuasaan sebagai entitas riil. Lebih dari itu, kekuasaan sebagai entitas konkret ini ialah 'ada' (being) di luar diri seorang individu dan meng-“ada” secara mandiri. Ia adalah semacam daya yang permanen di alam semesta.

Dalam konstruksi tafsiran kekuasaan seperti inilah, orang Jawa kemudian mendalilkan adanya (konsepsi) wahyu. Merujuk Darsiti Soeratman dalam bukunya Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1839, bicara hubungan raja dan kekuasaan setidaknya dikenal istilah wahyu kraton, wahyu kedhaton, dan wahyu cakraningrat. Sayangnya, buku ini tidak memberikan pemerian lebih jauh perihal karakteristik yang membedakan ketiga bentuk wahyu tersebut.

Wahyu yang dimaksudkan diibaratkan sebuah benda bersinar berasal dari langit yang jatuh kepadanya sebagai tanda pemindahan kekuasaan. Wahyu yang dimiliki seorang bisa dilihat dari kemampuannya menghimpun kuasa dalam dirinya, menyerap kuasa dari luar, dan mengkonsentrasikan ke dalam dirinya.

Menurut Soemarsid Moertono dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI - XIX, konsep kekuasaan di Jawa ialah magis-religius. Konsep ini memiliki peranan yang menentukan tidak semata membenarkan dan memperkokoh kuasa raja, tetapi juga sekaligus menjelaskan posisi orang yang memerintah dan yang diperintah.

Ratu Binanthara

Pada titik ini, bicara perihal raja dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual yang berasal dari India, yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Menurut kepercayaan ini, masyarakat manusia selalu berada di bawah pengaruh daya-daya kosmis alam semesta yang bersumber pada penjuru mata angin, pada konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet. Daya-daya kosmis ini dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tapi juga sebaliknya bisa membawa kehancuran.

Orang Jawa percaya, rajalah satu-satunya perantara yang menghubungkan mikrokosmos manusia dan makrokosmos para dewa. Demikianlah menjadi raja yang ideal, seturut Anderson, berarti seorang raja terus-menerus mencari tuntunan Tuhan di dalam batin saat memerintah atau berkuasa. Dengan demikian seorang raja hendaklah memiliki sifat wicaksana (wisdom), sehingga bisa bersikap adil dalam menyelesaikan suatu masalah. Sehingga sejauh mana sebuah masyarakat, terutama sekali ialah kemampuan seorang raja, mengemban fungsi menjaga dan sekaligus menyelaraskan keseimbangan kosmis, itulah kata kunci kesejahteraan atau justru sebaliknya.

Demikianlah, kerajaan-kerajaan di Jawa sejak dahulu kala memiliki konsepsi raja dewa atau ratu-binanthara, yang disinyalir berasal dari tradisi India khususnya Hindu. Merujuk Soeratman, yang mengutip karya G Mudjanto dalam karyanya The Concept of Power in Javanese Culture, konsep ratu-binanthara barulah akan bermakna lengkap jika ditambah kata “gung binanthara bau dhendha nyakrawati, ber budi bawa le(k)sana ambek adil para marta”.

Konsep di atas ini memiliki empat dimensi makna. Dua makna yang disebut pertama berarti raja besar seperti dewa (gung binanthara), yang memiliki kekuatan (bau dhendha), sebagai penguasa dunia (nyakrawati). Sedangkan dua dimensi lainnya berisi penjelasan bagaimana seorang raja harus melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya. Ia, harus ber budi, yang artinya budi baiknya seolah-olah mengalir karena penuhnya (luber), bawa le(k)sana berarti sanggup memegang teguh kata-katanya, dan ambek adil paramarta yang berarti mampu bersikap adil serta murah hati.

Lebih jauh, dalam model ratu-binanthara sendiri orang Jawa mengenal beberapa tingkatan realisasi. Disebut ratu-binanthara utama, yaitu jika raja benar-benar sanggup mewujudkan ber-budi bawa le(k)sana ambeg adil paramarta. Merujuk Serat Witaradya, sifat ratu-binanthara utama itu tercakup dalam pancapratama atau lima sikap yang terbaik. Antara lain, mulat yaitu sikap mawas dan waspada, amilala, yaitu sanggup memelihara dengan baik, amiluta, yaitu berbuat (baik) supaya orang lain suka padanya, miladharma, yakni melaksanakan darma untuk mencapai kesejahteraan batin, dan parimarma, yaitu memiliki rasa belas kasih dan suka memaafkan.

Namun jika aspek darma di sini kurang menjadi perhatian seorang raja, maka ia digolongkan pada tingkat madya. Sedangkan jikalau kekuasaannya dijalankan menyalahi seluruh prinsip-prinsip darma, maka raja itu dikelompokkan pada tingkat nista, rendah, hina.

Namun sejak masuknya Islam, sedikit atau banyak sebenarnya telah membawa perubahan gagasan kuasa dan kekuasaan dibanding era sebelumnya. Pada masa Islam, konsepsi kuasa dan kekuasaan di era Mataram-Islam tidak lagi menempatkan raja sebagai berkedudukan sama dengan Tuhan, melainkan sekadar diturunkan sebagai khalifatullah, wakil Tuhan di dunia.

Sekalipun sejak masuknya Islam membuat warna kekuasaan tidak sepenuhnya absolut, adanya konsepsi "tidak ada matahari kembar" dalam tradisi kuasa di Jawa membuat posisi raja nisbi satu-satunya pribadi yang berada pada posisi sentrum dan sekaligus puncak hirarki sosial. Ini setidaknya tercermin dari nama-nama raja Mataram, dari Amangkurat, Pakubuwana, Hamengkubuwana, Paku Alam, hingga Mangkunegara.

Walaupun demikian, menariknya budaya Jawa juga memiliki konsepsi untuk menggambarkan praktik kekuasaan secara ideal. Konsep "jumbuhing kawula gusti (menyatunya hamba dan tuan)”, bukan semata melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, melainkan juga melukiskan perihal hubungan antara rakyat atau kawula dengan penguasa atau raja.

Konsep ini menjadi sebuah penggambaran yang sungguh dramatis. Bagaimana tidak, dalam konsepsi ini tidak saja terangkum lukisan hubungan antara yang-tinggi dengan yang-rendah, antara kawula sebagai hirarki sosial terendah dan gusti sebagai hirarki sosial tertinggi. Di dalam konsepsi jumbuhing kawula-gusti juga terungkap pengertian adanya saling ketergantungan dua unsur yang berbeda namun tak terpisahkan sebagai saling melengkapi satu dengan lainnya.

Bagi yang diperintah atau kawula, orang Jawa tidak akan pernah menganggap seorang raja berhasil memenuhi kewajiban-kewajibannya sekiranya ia tidak bisa menghadirkan suatu ketentraman batin bagi kawula maupun mewujudkan tata tertib formal (paugeran nagari). Jika semua ini terwujud barulah tercapai suatu kondisi (negara) yang benar-benar harmonis, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.

Bicara aspek kompetensi dan kapabilitas raja untuk memerintah dan mewujudkan kondisi ideal tersebut, berarti juga bicara masalah kewibawaan atau karisma diri seorang raja. Aura kewibawaan atau karisma pribadi raja, sering disebut dalam bahasa Jawa 'teja', akan terkait erat dengan kesaktian raja, yaitu masih ada atau tidaknya wahyu membimbing proses kepemimpinannya tersebut. Sedangkan bicara prasyarat masih ada atau tidaknya wahyu ini tentu bergantung pada sejauh mana pribadi seorang raja bisa menghindari dirinya dari jebakan pamrih (vasted interest). (W-1)

Berita Populer