Operator taksi terbesar di Indonesia, PT Blue Bird (Tbk), tanpa publikasi yang berlebihan, telah melakukan kepeloporan menggunakan mobil listrik sebagai bagian dari armadanya. Langkah itu dilakukan pada Mei 2019. Pilihan mereka adalah mobil listrik BYD dan Tesla. Keputusan yang cukup bijak, mengingat BYD adalah pabrikan Cina yang cukup lama berkembang di pasar Eropa, sedangkan Tesla adalah pelopor utama pasar Amerika. Dengan memilih dua pabrikan besar PT Blue Bird telah memberikan kepastian masa depan armada barunya.
Masa depan mobil listrik adalah hal yang sangat serius untuk dibicarakan. Khususnya di Eropa yang kesadaran publiknya tentang kendaraan ramah lingkungan sangat tinggi. Setelah habis-habisan memacu pertumbuhan industrinya dengan konsumsi bahan bakar fosil paling besar di dunia, Cina dalam sepuluh tahun terakhir sepertinya memberikan porsi yang lebih besar pada masa depan kendaraan ramah lingkungan.
Di Amerika pembicaraan tentang mobil listrik tidak begitu menarik perhatian publik. Sebab, mereka punya sejarah yang panjang dengan mobil berbahan bakar fosil yang telah membentuk kemajuan mereka selama ini.
Menanti Kepastian
Bagaimana dengan Indonesia? Bimo Aribowo, wartawan automotif GridOto.com beberapa kali menulis keprihatinannya tentang hal ini. Sudah lama terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengeluarkan aturan yang baku tentang kendaraan bermotor rendah emisi tetapi tidak kunjung terealisasi.
Alih-alih menunggu datangnya keputusan pemerintah, Bimo memilih untuk menulis proyeksi dia tentang masa depan mobil listrik di Indonesia. Setelah melihat langkah yang dilakukan operator taksi terbesar Indonesia, Bimo memperkirakan bahwa konsumenlah yang akan menjadi penentu masa depan mobil listrik di Indonesia. Pertimbangannya sederhana, harga.
Saat Blue Bird mengenalkan armada mobil listrik barunya ternyata ada perbedaan harga yang sangat jauh dari dua pabrikan yang mereka pilih. Tesla Model X 75D A/T saat ini paling murah berharga USD200 ribu, jika dirupiahkan setara dengan Rp2,8 miliar. Sedangkan tipe BYD e6 A/T harganya berada di antara USD35.000 hingga USD74.000 yang jika dirupiahkan setara dengan 500 juta hingga 1 miliar. Orang Indonesia pasti lebih suka dengan pilihan yang lebih ekonomis.
Kekuatan Cina
Teknologi mobil listrik saat ini tidak lagi didominasi oleh tiga kekuatan lama. Amerika, Eropa, dan Jepang tidak cukup lincah untuk memasuki wilayah yang masih sangat baru ini. Kesempatan ini tentu tidak dibiarkan oleh Cina. Saat Geely mengakuisisi saham Smart dari Daimler Maret lalu, Cina benar-benar serius untuk membuat mobil listrik skala menengah seperti Honda Jazz dan Toyota Yaris.
Sebagai perbandingan bisa dilihat pada paparan alumni ITB Mochtar Niode pada tahun 2018. Produk paling maju dari pemain lama yakni mobil Hybrid secara keseluruhan membutuhkan lebih dari 2.000 komponen pembangunnya. Semua itu merupakan gabungan dari unit catu daya atau baterai dan mesin bakar internal yang kompleks.
Sedangkan sebuah mobil listrik hanya membutuhkan kurang dari 50 buah komponen. Jumlahnya berkurang banyak karena mobil ini telah menghilangkan bagian mesin bakar.
Para pemain lama sudah sangat gemuk dengan kompleksnya teknologi perakitan dan teknologi purnajual berbasis mesin bakar. Sedangkan bagi Cina yang sudah lebih lama mengembangkan teknologi penyimpanan listrik atau baterai, kesempatan ini adalah momentum yang sepertinya diciptakan Tuhan untuk mereka. Bayangkan saja Tesla sampai saat ini mengandalkan pabrikan Cina untuk komponen terpenting mobil listrik mereka. Panasonic adalah pembuat baterai yang belum ada pesaing serius saat ini.
Teknologi Baterai
Sehebat-hebatnya teknologi mobil listrik kekuatan utamanya hanya pada sebuah teknologi yang telah lama ditemukan, yakni baterai. Saat Alessandro Volta dari Italia menemukan metode untuk menyimpan arus listrik ke dalam tumpukan tembaga dan cakram seng yang diletakkan di antara potongan karbon itu sudah terjadi lebih dari 300 tahun yang lalu.
Persoalan utama dari teknologi baterai adalah kapasitas penyimpanan dan lama pengisian. Baru belakangan inilah muncul teknologi yang berkembang untuk membuat baterai yang berkapasitas besar tetapi cepat dalam pengisian. Terima kasih pada industri telepon pintar yang telah mempercepat kebutuhan ini.
Saat ini ada dua bahan dasar utama yang digunakan untuk membuat baterai yang memenuhi syarat bagi kebutuhan mobil listrik. Yang pertama adalah Cobalt dan yang kedua adalah Nikel. Kedua-duanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Nikel murah tapi tak mampu menyimpan listrik besar, sementara Cobalt mampu menyimpan listrik besar tetapi mahal. Sebagai info saja saat ini penguasa tambang Cobalt terbesar dunia yang ada di Republik Kongo adalah Cina yang lama mengembangkan sayap industri di Afrika.
Cerita dari Jogja
Pengembangan mobil listrik di Indonesia, bagaimanapun prospeknya harus bercermin pada kondisi industri nasional yang belum mampu memberikan lingkungan yang sehat bagi perkembangannya. Sejak kasus mobil Tuxuci hingga mobil E&C yang bentuk purwarupanya dikerjakan di Jawa Timur sebagian komponen penting seperti dinamo dan baterai adalah buatan Cina.
Sekelumit inspirasi dari Jogja mungkin bisa menjadi pelecut semangat untuk pengembangan ke depan. Namanya adalah Wiwin Mardi Raharja (46 tahun) dia adalah pembuat mobil listrik otodidak dari Jogjakarta. Nama panggilannya adalah Wiwin Vegas. Dia hanya lulusan STM. Awalnya dia membuat mobil listrik dari sepeda listrik bekas buatan Cina. Komponen penting seperti baterai dan dinamo dia ambil dari sepeda itu sisanya dia dapatkan dari pasar loak. Delapan bulan adalah waktu yang dia butuhkan untuk membuatnya. Metodenya sederhana Trial and Error dan bacaan dari internet. Karena menggunakan bahan bekas mobil listrik yang pertama sangat bermasalah dalam catu daya.
Akhirnya dia membuat mobil yang kedua. Dengan dukungan seorang politisi yang merupakan anak dari mantan ketua MPR, Wiwin Vegas memesan dinamo baru dari Cina. Dengan empat buah aki kering yang ada di pasar lokal dia membangun mobil keduanya yang dia beri nama Mobilijo. Kepanjangan dari Mobil Listrik Jogjakarta. Saat dilakukan pengujian mobil ini bisa menempuh 25 kilomtere untuk satu kali pengisian daya.
Dalam wawancara dengan harian Suara Merdeka, Wiwin mengemukakan niatnya mengembangkan kendaraan berbasis listrik. "Selain mobil, kami mencoba membuat becak listrik. Harapannya, becak ini bisa menggantikan becak motor yang selama ini diributkan. Becak listrik ramah lingkungan, kuat, dan mampu menjelajah seluruh jalan di Jogjakarta," kata Wiwin yang tinggal di Bumijo Tengah.
Wiwin seperti halnya pembuat karya-karya kreatif tidak pernah bermimpi terlalu muluk dengan hasil karyanya. Dia hanya ingin karyanya bisa bermanfaat buat orang lain terutama yang membutuhkan. Alasan dia membuat becak listrik adalah untuk membantu tukang becak di Jogjakarta yang rata-rata memiliki kesulitan jika ketemu jalan mendaki yang banyak terdapat di kota Jogja. Sayangnya hingga saat ini menurut Wiwin belum ada perhatian dari pemerintah terhadap hasil kreasinya. Dia berharap minimal dia diajak berdiskusi tentang pengembangan mobil listrik ini. (Y-1)