Indonesia.go.id - Barus, antara Bandar Tua dan Minuman Surga

Barus, antara Bandar Tua dan Minuman Surga

  • Administrator
  • Kamis, 17 Oktober 2019 | 20:41 WIB
KOMODITI KHAS
  Pohon barus. Foto: Istimewa/Hanna Vivaldi

Bisa ditebak, dulu air kafur merupakan minuman yang sangat eksklusif di Arab. Wajar saja air kafur jadi simbolisasi tentang balasan kenikmatan Tuhan bagi para ahli surga di akhirat nanti.

Di antara beragam jenis komoditi dagang internasional terdapat komoditas hasil hutan khas Nusantara, yang memiliki daya pikat tinggi, sangat dicari, dan bahkan harganya di masa lalu konon tak kalah dengan harga komoditas emas. Komoditas tersebut adalah kapur barus atau kamper.

Kapur barus merupakan produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan dari sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu. Dalam istilah Latin, pohon ini diberi nama taksonomi Aguilaria mallaccansis, sedangkan buahnya diberi nama Dryobalanop aromatika. Kapur barus berasal dari cairan yang dikeringkan hasil ekstraksi pohon tersebut.

Sejarah mencatat, tanaman ini menghasilkan beragam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kapur barus (kamper), balsam, damar, minyak atsiri, dan kayu. Komoditi kapur barus telah dikenal luas di kalangan pedagang Arab dan India, bahkan produk ini juga diperdagangkan hingga ke Eropa. Kapur barus ini merupakan bahan wewangian dan obat-obatan yang dipergunakan di Arab dan India.

Merujuk Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia yang disunting oleh Endjat Djaenuderadjat (2013), disebutkan bahwa istilah “kapur barus” konon lebih karena pohon tersebut tumbuh di hutan tropis yang berada di sekitar Barus. Artinya, penamaan kapur barus (kamper) kemungkinan besar merujuk pada nama salah satu bandar dagang penting di Nusantara masa lalu. Terletak di Pantai Barat Sumatra, kini termasuk di Provinsi Sumatra Utara, disebut Barousai atau Barus atau Fansur, demikianlah beberapa nama terkait bandar tersebut.

Barousai atau Barus telah tercatat sejak awal abad masehi. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh seorang kartografer bernama Claudius Ptolomeus di abad ke-2, telah menyebutkan sebuah bandar niaga yang bernama Barousai. Dalam karyanya Geographike Hyphegesis, Ptolomeus menulis nama negeri Barousai berada di Taprobana atau juga disebut Chryse Chora (Pulau Emas).

Barus, sebagaimana ditulis oleh Ptolomeus, sama sekali bukan dari hasil kunjungan dan pengamatan langsung si penulis ke Nusantara. Barus ditulisnya berdasarkan keterangan-keterangan mengenai hubungan dagang antara Mesir dan India, yang secara tidak langsung melibatkan daerah di Nusantara ini melalui komoditas wewangian ekslusif yang diduga ialah kapur barus.

WJ van der Meulen (1974) dalam Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos menyimpulkan, merujuk istilah Chryse Chora (Pulau Emas) itu sebagai Pulau Sumatra, yang selama awal abad masehi keberadaannya telah sohor dengan nama “Suvarnnadvipa.”

Ya, van der Meulen benar, sudah sejak permulaan abad masehi, Pulau Sumatra telah sohor dikenal oleh masyarakat dunia dengan nama Suvarnnabhumi (Negeri Emas) atau juga sering disebut dengan nama Suvarnnadwipa (Pulau Emas).

Sebutlah Kitab Jataka, misalnya. Kitab yang memuat kisah-kisah kehidupan Pangeran Siddharta dan diestimasi ditulisa pada abad ke-4 Sebelum Masehi, juga telah menyebutkan sebuah negeri yang bernama Suvarnnabhumi. Negeri yang terletak di sebelah timur Teluk Benggala. Tak kecuali juga Kitab Ramayana, salah satu kitab yang sangat masyur di dunia dan mungkin lebih tua ketimbang Kitab Jataka, ditulis sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi, pun menyebutkan adanya negeri-negeri di sebelah timur India: Yawadwipa dan Suvarnnadwipa.

Sedangkan dari sumber sejarah lokal dan cerita rakyat, Pulau Sumatra juga disebut-sebut sebagai “Pulau Emas”. Dalam bahasa Minang disebut “pulau ameh” yang istilah ini bisa dijumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Atau dalam bahasa Lampung disebut "tanoh mas" untuk menyebut pulau ini.

Sudah tentu tak sedikit sejarawan meragukan kesimpulan itu. Ada yang menafsirkan, istilah itu lebih merujuk pada keberadaan Srilangka sekarang, misalnya.

Namun demikian arus kuat historiografi tampaknya meyakini, keterangan geografis dalam tulisan Ptolomeus, ditafsirkan melalui kata kunci yang ditemukan dari kitab-kitab India yang jauh lebih tua, membawa tiba pada kesimpulan sejarah yang kuat: istilah Barousai merujuk pada Barus dan istilah Chryse Chora (Pulau Emas) merujuk pada tempat yang berada di Nusantara, Pulau Sumatra.

Komoditas Dunia

Jauh sebelum Ptolomeus, sebenarnya keberadaan Pulau Sumatra di Indonesia juga pernah dicatat dalam naskah Yunani Kuno. Dalam naskah kuno berjudul Periplous tes Erythras Thalasses, yang ditulis pada abad ke-70 Masehi, ditemukan istilah Taprobana sebagai sinonim dengan istilah Chryse Nesos (Pulau Emas).

Hilmy Bakar Almascaty dalam Relasi Persia dan Nusantara pada Awal Islamisasi: Sebuah Kajian Awal Pengaruh Persia dalam Politik Aceh mencatat, nama Taprobana juga dipakai oleh Ptolemeus. Dalam Geographike Hyphegesis, Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan menuju ke Tiongkok, melalui sebuah bandar niaga bernama Barousai yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Seperti telah disebutkan di muka, van der Meulen menduga istilah Chryse Chora merupakan istilah untuk menyebut keberadaan Pulau Sumatra di Indonesia. Chryse Chora ialah nama lain dari Suvarnnadwipa. Belakangan hipotesa van der Meulen ini dikuatkan oleh serangkaian penelitian arkeologi yang diterbitkan sebagai buku dengan judul Lobu Tua: Sejarah Awal Barus dan disunting oleh Claude Guillot (2003). Menurut Guillot, banyak sejarawan menduga kata “Barousai” yang disebut oleh Ptolemaeus adalah Kota Barus sekarang ini yang terletak di Pulau Sumatra.

Kembali merujuk Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia yang disunting oleh Atlas Endjat Djaenuderadjat (2013), disebutkan catatan tertua lainnya mengenai kapur barus berasal dari era dinasti Cina Selatan. Ditulis sekitar abad ke-6 Masehi, catatan ini menyebutkan wewangian yang bernama Po-Lu sebagai salah satu produk yang berasal dari Lang-ya-shiu di wilayah Semenanjung. Para sejarawan mengidentifikasikan istilah Po-lu sebagai terjemahan dari Barus, sebuah toponim terkenal yang lokasinya terletak di pantai barat Sumatra Utara.

Berita Cina dari abad ke-9 juga masih menyebut kapur barus. Dalam kitab Yu-yang-tsa-tsu ditemui istilah Ku-pu-p’o-lu, yang ditafsirkan sebagai kapur barus. Masih dari sumber berita Cina, kitab Chau-ju-kua dari abad ke-13 Masehi mencatat dua tempat sebagai penghasil kapur, yaitu P’o-ni yang diidentifikasikan sebagai Kalimantan, dan Pin-su sebagai Barus atau Sumatra.

Berdasarkan berita Cina, para saudagar Cina juga membagi kualitas produk tersebut berdasarkan derajat kemurniannya. Kapur berkualitas baik dan berbentuk kristal disebut “kapur bunga plum”. Kapur yang kualitasnya rendah disebut dengan “kapur emas bawah”. Kapur remukan disebut “kapur beras”, tetapi bila jenis ini sudah bercampur dengan serpihan disebut “kapur abu-abu”.

Nama Latin untuk kapur barus ialah caphurae. Konon, istilah ini secara etimologis berasal dari nama Arab, kafur. Sedangkan istilah kafur sendiri diambil dari kata Melayu, kapur. Merujuk K Subroto (2017) yang mengutip penelitian Oliver William Wolters berjudul An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900-1300 CE, sangat mungkin kapur barus telah dikenal oleh masyarakat Timur Tengah bahkan jauh sebelum munculnya agama Islam. Menurut Wolters, seorang penyair Arab, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi), diketahui sangat memuji keharuman kafur dalam puisi-puisinya.

Bukti lain kapur barus telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Timur Tengah ialah Al-Quran, kitab suci kaum Muslim. Surat al-Insan Ayat 5, “Innal-abr?ra yasyrab?na ming kasing k?na miz?juh? k?f?r?.  Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.”

Dari ayat itu, Rusmin Tumanggor dalam karyanya Gerbang Agama-Agama Nusantara, memperkirakan di masa Nabi Muhammad menyiarkan Islam di Mekah dan Madinah, kapur barus telah dikenal di dunia Arab. Lebih jauh menurutnya, bahkan bisa jadi kapur barus bukanlah barang baru bagi masyarakat Arab.

Menariknya lagi, sekiranya dicermati ayat tersebut maka terlihat posisi air kafur sebagai balasan (reward) bagi para ahli kebajikan tentu bukanlah minuman pasaran. Bisa ditebak, dulu air kafur merupakan minuman yang sangat eksklusif di tanah Arab. Atau setidaknya bersifat sangat langka dan tak banyak ditemui di pasar-pasar lokal setempat, atau sekiranya ada tentu saja harganya juga sangat dan sangat mahal. Karena itulah wajar saja air kafur menjadi simbolisasi tentang balasan kenikmatan Tuhan bagi mereka para ahli surga di akhirat nanti.

Sekalipun posisi kapur barus telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur Tengah, setidaknya sejak abad ke-6 Masehi, nama daerah asal komoditas tersebut ternyata baru mulai tercatat dalam khazanah mereka setelah memasuki abad ke-10. Catatan dari Arab menyebut pelabuhan besar kuno ini dengan nama Fansur.

Catatan saudagar Arab, Ibn al-Faqih, yang ditulis pada 902 Masehi menyebutkan, Fansur merupakan pelabuhan besar di pantai barat. Fansur menghasilkan beberapa komoditas seperti cengkeh, kapur barus, kayu cendana, dan pala. Sulaiman al-Mahri, juga saudagar Arab, memberi catatan tentang lokasi Fansur di pantai barat Sumatra, berada di antara pelabuhan Singkel dan Pariaman, di seberang Niha (Nias) dan sedikit ke arah selatan Pulau Banyak.

Bukan hanya para saudagar Arab. Seorang pedagang, petualang dan penulis dari Itali, Marcopolo, yang melakukan perjalanan selama dua dekade lebih menyusuri Jalur Sutra antara 1271 – 1295, juga meyebut kota bandar tua itu dengan nama Fansur. (W-1)