Indonesia.go.id - Latar Kosmopolitan Imperialisme Portugis

Latar Kosmopolitan Imperialisme Portugis

  • Administrator
  • Selasa, 18 Juni 2019 | 17:00 WIB
PERDAGANGAN ASIA TENGGARA
  Ilustrasi jalur pelayaran dan perdagangan. Foto: Dok. History Nusantara

Malaka pada paruh akhir abad 16 adalah sebuah wilayah kosmopolitan yang penduduknya sebagian besar berasal dari berbagai bangsa yang bermigrasi. Kedudukannya yang strategis membuatnya menjadi tempat yang paling strategis untuk menyambungkan tiga pusat perdagangan.

Kata kolonialisme bagi para peneliti sejarah mutakhir sudah tidak lagi digunakan sembarangan. Sejarawan asal Delhi yang dikenal sebagai spesialis sejarah awal zaman modern Asia, Sanjay Subrahmanyam, misalnya, memilih menggunakan istilah yang lebih pas. Subrahmanyam menyebutnya sebagai jaringan dagang dan kekuasaan.

Dalam bukunya The Portuguese Empire in Asia (2012), Subrahmanyam mencermati jaringan dagang dan kekuasaan yang dibangun Portugis dari Tanjung Harapan di selatan Afrika hingga Jepang sebagai sebuah keadaan yang tidak statis. Banyak sekali hal-hal yang harus dilihat kaitannya dengan situasi lokal. Kondisi sejarah Asia pada periode antara abad 16 hingga abad 18 harus benar-benar diperhatikan.

Satu hal yang menarik pada periode ini adalah pesatnya pertambahan penduduk di Asia. Subrahmanyam mencatat pada 1650 populasi di Asia kira-kira berada di angka 300 juta penduduk. Saat itu seluruh populasi dunia hanya sekitar 500 juta. Pada 1700 dan sesudahnya populasi meningkat hingga 700 juta. Artinya, saat Portugis menjadi aktor, banyak sekali kompleksitas permasalahan dari populasi penduduk yang berlipat dua.

Bangsa Pranggi di Malaka

Subrahmanyam membuka penelitiannya dengan sebuah naskah Melayu tidak berjudul yang diperkirakan berasal dari akhir abad ke-17. Naskah itu menceritakan tentang orang-orang Pranggi yang datang ke Malaka semasa kekuasaan Sultan Ahmad Syah. Awalnya orang-orang Pranggi ini datang dengan membawa berbagai hadiah yang sangat menggiurkan. Rantai emas dan berbagai perhiasan, pakaian beraneka rupa, yang memikat hati Sultan.

Beberapa kali orang-orang Pranggi berkunjung dan selalu membawa berbagai persembahan yang sangat memikat. Dalam kunjungan yang singkat sekitar dua kali bulan purnama mereka mampu membagikan persembahan ke banyak orang terpandang di Malaka sampai mereka semua sangat bergembira. Hanya bendahara istana dan para temenggong (tumenggung-jawa) yang tidak suka dengan keadaan itu. Berkali-kali Sultan diingatkan untuk tidak terbuai.

Sampai akhirnya Sultan ingin membalas kebaikan mereka. Dia bertanya apa keinginan orang-orang Pranggi di Malaka. Orang-orang Pranggi itu berkata mereka hanya ingin sebidang tanah. Sultan pun memberikan tanah yang mereka inginkan.

Orang-orang Pranggi itu kemudian membuat bangunan yang sangat besar. Mereka membuat benteng yang kokoh dan tebal lengkap dengan jendela-jendela besar. Orang-orang Malaka bertanya buat apa itu, dan orang Pranggi itu berkata itu hanya jendela.

Sampai tiba waktunya di tengah malam dari jendela-jendela itu muncul moncong-moncong meriam. Hanya dalam beberapa saat meriam itu meluluhlantakkan benteng Malaka yang hanya terbuat dari batang kelapa. Sontak, Sultan Ahmad Syah beserta pengikutnya tercerai-berai hingga mengungsi ke Muar. Dari Muar mereka pergi ke selatan lagi ke Johor untuk membangun kota yang baru.

Kisah di atas, dalam catatan Subrahmanyam lebih mirip dengan legenda ketimbang catatan sejarah. Memang sebagai cerita tutur untuk membangkitkan semangat nasional atau antikolonial cerita itu bisa sangat memberi semangat. Tetapi jika ingin mendalaminya sebagai kajian sejarah tentu banyak hal yang harus dilakukan dan dibaca dengan kacamata ilmiah.

Sebagai ilustrasi, catatan Tome Pires yang dirangkum dalam buku Suma Oriental banyak memberikan kontribusi yang kuat untuk melihat sejarah awal zaman modern di Asia. Catatan-catatan serupa dari para pengelana pada seputar zaman itu juga harus disertakan.

Catatan-catatan kelautan Turki Usmani, imperium besar waktu itu, yang ditulis oleh Admiral Piri Reis juga harus menjadi rujukan. Tak kalah pentingnya adalah catatan Wang Lin Xiang dari administrasi Dinasti Ming tentang kedatangan pedagang-pedagang Eropa di pelabuhan-pelabuhan strategis, juga harus disertakan.

Konsolidasi Kerajaan Besar

Di awal, sudah dijelaskan meningkatnya kepadatan populasi di seluruh Asia pada zaman itu. Salah satu faktor yang mengakibatkan hal itu adalah munculnya kerajaan-kerajaan yang sukses melakukan konsolidasi. Turki Usmani di satu sisi telah lebih dahulu muncul sebagai kekuatan besar di Timur Dekat.

Di wilayah lain, Dinasti Safawi di sebagian Persia dan Dinasti Mughal di India Utara adalah konsolidasi yang sukses. Satu abad berikutnya harus dicatat perkembangan di Arakan (Rakin) Burma, Aceh, hingga Makassar harus dilihat pula sebagai keberhasilan.

Subrahmanyam lebih jauh membagi karakteristik berbagai kerajaan yang berhasil melakukan konsolidasi itu dalam dua karakteristik. Yang pertama adalah konsolidasi kerajaan yang berorientasi lebih ke dalam, cenderung agraris, dan besar wilayahnya. Kerajaan-kerajaan itu adalah Turki Usmandi, Safawi, Vijayanagara (Rajput), Mughals, Ming, hingga Demak-Mataram di Jawa.

Sedangkan yang kedua adalah kerajaan-kerajaan yang relatif kekuasaannya lebih kecil dan letaknya berada di pesisir yang dekat dengan jalur perdagangan. Kerajaan-kerajaan ini mampu meletakkan dasar kekuasaannya lebih ke jalur perdagangan. Kekayaan yang muncul dari jalur perdagangan adalah hal-hal yang membuat kerajaan-kerajaan ini sukses meningkatkan populasi manusia penghuninya.  Kerajaan-kerajaan jenis ini adalah Kilwa di pantai timur Afrika, Hormuz, di teluk Persia, Calikuta di Teluk Bengal, dan Malaka di selat antara Sumatra dan Semenanjung Melayu.

Migrasi Elite Lintas Bangsa

Malaka pada paruh akhir abad 16 adalah sebuah wilayah kosmopolitan yang penduduknya sebagian besar berasal dari berbagai bangsa yang bermigrasi. Kedudukannya yang strategis membuatnya menjadi tempat yang paling strategis untuk menyambungkan tiga pusat perdagangan. Yang pertama tentu perdagangan di wilayah laut Cina Selatan yang mempertemukan kekuatan dagang Cina, Jepang, dan semenanjung Korea.

Kedua, Selat Malaka sendiri yang menjadi jalur tengah mengalirnya komoditas-komoditas paling berharga dari kawasan timur Nusantara, Jawa, dan pantai timur Sumatra. Yang ketiga adalah teluk Bengal, yang menyambungkan komoditas hutan yang sejak lama berasal dari kawasan Pantai Barat Sumatra, hingga bandar Ayutthaya di Siam atau yang sebelumnya dikenal sebagai Syahru Nawa dalam bahasa Persia. Bandar ini sudah sangat ramai dengan pedagang dari barat bahkan sejak abad ke-11. 

Maka tidak heran jika pada periode ini Kerajaan Malaka penghuni terbesarnya adalah kelas-kelas pekerja sektor perdagangan lengkap dengan kaum budak yang menurut catatan Subrahmanyam bisa mencapai 7 persen dari populasi. Di kerajaan Malaka ini pula banyak dicatat pemukiman-pemukiman orang-orang Gujarat dan Keling, berikutnya adalah penghuni dari Jawa dan orang-orang Hakka atau Fukien dari Cina.

Pada zaman ini perdagangan laut antarbangsa adalah urat nadi kerajaan. Sistem cukai dan pajak dari berbagai kapal dan komoditi yang datang di kawasan pelabuhan ini telah mencapai tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain di dunia. Kepemilikan kapal, organisasi pelayaran, dan kongsi-kongsi dagang adalah hal yang menjadi bagian dari kekayaan keluarga kerajaan.

Salah satu yang menjadi ciri kekayaan paling utama pada zaman ini adalah jumlah budak yang dimiliki oleh bangsawan. Maka tidak heran jika pada periode ini penguasa-penguasa bandar-bandar strategis dunia dari ujung barat sampai ujung timur terdiri dari elite-elite lintas bangsa.

Orang-orang Hadramaut, misalnya, sudah lama menjadi penguasa kawasan pantai timur Afrika. Sementara itu, pelabuhan Aden, selain besar oleh orang-orang Yaman sendiri sudah sejak lama menjadi pemukiman orang-orang Yahudi dan orang-orang Phoenisia dari kawasan Bulan Sabit Subur. Selat Hormuz sendiri sebagai bandar besar yang menghubungkan kawasan Shiraf, bandar lama kerajaan Persia dengan kawasan teluk Persia adalah tempat bagi bangsa-bangsa Armenia yang leuhurnya berasal dari sekitar laut pedalaman Kaspia. Lembah Deccan, Vijayanagar, kemudian Gujarat dan Surat hingga Pantai Malabar adalah tempat migrasi elite-elite orang Turan (Turki-Kurdi) yang dalam beberapa periode menjadi bagian dari elit-elit kerajaan di India Barat.

Maka tak heran jika Hamzah Fansuri, dalam sajak-sajaknya merujuk pada kota bandar Syahru Nawa, tempat dia berbaiat terhadap tarekat-tarekat dagang yang dipimpin oleh Sufi asal Persia. Tak heran pula jika Ar-Raniri kompetitornya adalah orang-orang yang berasal dari Randir-Gujarat. Dalam banyak riwayat bahkan Sultan Siak-Kampar di Indragiri adalah keturunan para migran dari Kedah yang satu abad sebelumnya terpaksa bermigrasi karena perang.

Pada periode ini pula muncul kerajaan-kerajaan pantai utara Jawa yang ditengarai dikuasai oleh tokoh-tokoh dari berbagai bangsa. Ada penguasa bandar yang berlatar belakang Cina, ada tokoh agama, dan pedagang kain yang berasal dari Gujarat, Persia, bahkan Afrika Utara. Ada pula diaspora Sayid Hadramaut yang pertama kali membuka jalur perdagangan hingga kawasan paling timur Nusantara.

Pada periode inilah bangsa Portugis menduduki Malaka dengan model penguasaan bertahap, sedikit-demi sedikit. Mereka berproses, mengikuti dinamika kekuasaan dan perebutan kekuasan di antara kerajaan-kerajaan yang berseteru sampai mampu mendirikan benteng dengan teknologi paling mutakhir pada waktu itu yang sumber modalnya disokong dari kemenangan Reconquesta dan jarahan Perang Salib.

Pada periode ini pulalah muncul pergeseran tren perdagangan dunia. Dari perdaganan rempah dan hasil bumi yang bernilai sangat tinggi dalam kuantitas yang terbatas menjadi perdagangan hasil bumi lain yang nilainya tidak terlalu tinggi tetapi dalam kuantitas yang raksasa seperti beras dan lada. (Y-1)