Indonesia.go.id - Kekayaan Laut Utara, Modal Kesejahteraan Warga Pesisir

Kekayaan Laut Utara, Modal Kesejahteraan Warga Pesisir

  • Administrator
  • Jumat, 19 Juli 2019 | 02:04 WIB
KESEJAHTERAAN
  Kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Senin (3/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Pendapatan bersih para 'juragan' di Tegal berkisar antara satu hingga tiga miliar per bulan. Itu sudah memperhitungkan musim banyak ikan dan masa sepi karena cuaca.

Separuh lebih sedikit anggota dewan Kota Tegal hasil Pemilu 2019 diisi pendatang baru. Enam belas dari tiga puluh kursi yang tersedia diisi mereka. Rumor pun berkembang di masyarakat. Yang paling santer terdengar adalah lagu lama yang kurang menggembirakan. Apalagi kalau bukan soal membeli suara.

Masyarakat Kota Tegal dan sekitarnya, sejak republik ini berdiri, adalah masyarakat pesisir yang dinamis, independen, dan sadar politik. Ciri khas itu bukan tidak beralasan. Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka yang pernah menjadi bacaan sejarah wajib di masa Orde Baru, pernah mencatat tahanan politik pertama Republik Indonesia berasal dari Tegal.

Tetapi, dalam sepuluh tahun terakhir, tradisi politik yang kental itu mulai terganggu. Mungkin hampir sama dengan kecenderungan yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya mereka yang punya dukungan "uang keras"-lah yang akan mudah terpilih. Sisanya adalah mereka yang punya mesin organisasi, tradisi kekerabatan, atau ketokohan.

Kemakmuran Juragan

Salah satu yang menarik dari para pendatang baru yang duduk di DPRD Kota Tegal adalah beberapa orang yang berasal dari kalangan pengusaha penangkapan ikan. Setidaknya lima dari tiga puluh anggota dewan yang terpilih berasal dari kalangan ini. Satu adalah petahana, empat sisanya pendatang baru. Sudah bukan rahasia lagi kalau beberapa kalangan pengusaha penangkapan ikan di Tegal, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, telah menjadi "orang kaya baru".

Hal itu tidak terlalu mengherankan bagi orang-orang yang cukup lama berkecimpung dalam usaha penangkapan ikan. Taryoni (45), warga Desa Tegalsari, Kota Tegal, yang merupakan generasi ketiga orang Tegal yang bergerak di bidang penangkapan ikan mengiyakan hal itu.

"Tidak terlalu sulit memperkirakan tingkat kemakmuran para 'juragan' di Tegal. Lihat saja setiap diadakan acara sedekah laut," ujarnya.

Tradisi sedekah laut adalah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun orang-orang nusantara untuk merawat berkah dari melaut. Bagi orang Tegal dan sekitarnya sedekah laut biasa dilakukan dengan menggelar pesta rakyat lengkap dengan pertunjukan rakyat yang diiringi dengan persembahan sesaji atau kurban yang disepakati.

"Paling tidak sejak lima tahun terakhir lah .... sedekah laut di Tegalsari atau Muarareja menghadirkan grup dangdut Pallapa atau sekelasnya," kata Taryoni menjelaskan.

Menghadirkan grup dangdut dari Jawa Timur yang paling populer belakangan ini tentu harus merogoh kocek dalam-dalam. Berdasarkan berbagai sumber yang bisa ditelusuri di internet, rata-rata tarif grup dangdut yang populer dengan genre "dangdut koplo" itu, untuk acara sedekahan, berada di angka 100 juta rupiah. Bisa lebih atau kurang sedikit. Angka itu bukan termasuk jika ada penyanyi yang sudah terkenal di tingkat nasional. Itu belum termasuk akomodasi dan konsumsi.

Arif (55), juga dari Desa Tegalsari, yang berkerabat dengan salah satu pengusaha penangkapan ikan menceritakan tentang tradisi sedekah laut yang biasa dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. "Dulu sedekah laut dilakukan sederhana saja. Biasanya memotong kepala kerbau satu atau dua ekor terus dilarung ke laut," kata Arif.

Belakangan, saat sedekah laut yang dilakukan tahun lalu, setidaknya ada delapan kerbau yang dipotong. "Paling dulu wayangan untuk hiburannya, biasanya wayang golek," kata Arif, yang juga pernah punya usaha warteg di Jakarta.

Wong Miyang Jadi Dewan

Naiknya beberapa orang muda menjadi anggota DPRD Kota Tegal tidak lepas dari perhatian Arif. Mereka adalah anak-anak para 'juragan' kapal. "Iya saya tahu mereka, dua dari PKB, satu dari PDIP, satu Gerindra, dan satu Golkar," kata Arif.

Bagi Arif, naiknya mereka ke kursi DPRD wajar saja. Orang tua mereka yang 'juragan' dalam sebulan bisa memperoleh pendapatan hingga miliaran. Angka itu tidak terlalu berlebihan. Menteri Kelautan Susi Pujiastuti dalam sebuah wawancara dengan media pernah mengatakan bahwa para pemilik kapal yang berkapasitas antara 10 hingga 30 Gross Ton, rata-rata memperoleh Rp5 Miliar dalam satu tahun. Sedangkan para 'juragan' di kota Tegal rata-rata memiliki lebih dari 20 kapal.

Seseorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya dari dinas yang menerbitkan surat ijin bagi penangkap ikan memperkirakan pendapatan bersih para 'juragan' di Tegal berkisar antara satu hingga tiga miliar per bulan. Itu sudah memperhitungkan musim banyak ikan dan masa sepi karena cuaca.

"Saya khawatir kalau anak 'juragan' yang jadi anggota dewan, malah akan memperjuangkan kepentingan 'juragan' bukan kepentingan nelayan kebanyakan," kata Arif yang pernah aktif dalam berbagai organisasi lokal di Tegal semasa muda.

Arif prihatin karena kesejahteraan nelayan, terutama kesejahteraan Anak Buah Kapal (ABK) masih rendah. Rata-rata, kata dia, hanya dua hingga tiga juta per bulan. Masih jauh dari UMR nasional. Bahkan, Arif menambahkan, bagi jurumudi pun tidak cukup sejahtera. Sekarang ini dengan kenaikan pendapatan para 'juragan' mereka praktis hanya mendapat sekita 6 hingga 8 juta per bulan.

Dalam pandangan Arif, praktik usaha penangkapan ikan di Tegal masih sangat timpang. Di satu sisi para 'juragan' bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Di sisi lain para pekerja dari nahkoda hingga ABK masih kembang kempis. (Y-1)