Indonesia.go.id - Hukumnya Orang Berdagang dan Berlayar

Hukumnya Orang Berdagang dan Berlayar

  • Administrator
  • Selasa, 23 Juli 2019 | 03:08 WIB
SEJARAH
  Ilustrasi nelayan. Foto: Istimewa

"Amanna Gappa" adalah naskah perjanjian dagang yang ditulis dalam 18 lontara. Konsep-konsep kepemilikan dalam piagam itu kemudian diadopsi menjadi hukum laut yang dirumuskan dalam berbagai konvensi internasional.

Richard Zacharias Leirissa, biasa dikenal dengan nama RZ Leirissa (meninggal 2006), adalah pengajar sejarah FIB Universitas Indonesia yang kerap menulis tentang sejarah kelautan Nusantara. Dalam buku Kepemimpinan Bahari; Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (Labolo, 2012), RZ Leirissa menulis satu artikel berjudul "Masyarakat Bahari dalam Perspektif Sejarah'.

Kepulauan Nusantara, dalam catatan RZ Leirissa, pernah mengalami zaman kejayaan laut yang lama. Dia menyebutnya sebagai zaman bahari yang berlangsung dari abad ke-7 hingga 18 masehi. Dalam rentang waktu lebih dari seribu tahun itu periode abad 15 adalah periode keemasannya. Pada zaman inilah banyak peninggalan-peninggalan seperti monumen dan dokumen yang menjadi dasar penyelusuran sejarah atau historiografi kelautan Nusantara.

Kata "nusantara" sendiri adalah kata yang dikenal para ahli sejarah dari peninggalan naskah kuno Pararaton. Kata itu berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni 'nusa'  yang berarti pulau dan 'antara' yang berarti luar. Nusantara dalam konteks kekuasaan kerajaan Majapahit berarti pulau-pulau yang berada di luar wilayah Majapahit.

RZ Leirissa memaknai nusantara sebagai wilayah kepulauan yang dipersatukan oleh laut yang menjadi penyambungnya. Tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara menunjukkan bahwa laut tidak pernah menjadi pemisah. Laut adalah penghubung, yang dalam istilah Leirissa diibaratkan seperti tangan gurita yang menjangkau pelosok nusantara.

Dua Piagam Bahari

Sejarah selalu bermula dari catatan atau inskripsi tertulis. Studi sejarah masyarakat bahari di Nusantara, menurut Leirissa, bertumpu pada dua piagam bahari yang sangat penting. Yang pertama adalah "Undang-undang Malaka" yang diperkirakan dibuat oleh penguasa Kerajaan Malaka pada abad ke-15. Sedangkan yang kedua adalah "Amanna Gappa" yang dibuat oleh penguasa suku Wajo, yang masuk dalam wilayah Kerajaan Bugis, pada abad ke-17.

Leirissa menilai, naskah yang  lebih muda merupakan naskah yang menyalin dan menyesuaikan piagam yang telah ada sebelumnya. "Amanna Gappa" adalah adaptasi "Undang-undang Malaka" bagi kebutuhan orang Bugis. Amanna Gappa, lebih jauh merupakan suatu model yang bisa digunakan untuk menganalisis berbagai aspek masyarakat bahari Nusantara.

Salah satu aturan dalam piagam bahari yang masih berlaku hingga zaman sekarang ini adalah tentang keanggotaan sebuah kapal. Naskah "Amanna Gappa" mencatat bahwa perahu-perahu dagang umumnya dimiliki oleh nakhoda. Tetapi dalam keadaan tertentu pemilik perahu bukanlah nakhoda. Dia tinggal di darat menunggu hasil perdagangan.

Dalam sebuah perahu, nakhoda didampingi oleh juru mudi dan juru batu. Pekerjaan terberat dan penuh risiko dilakukan oleh para kelasi yang terdiri dari empat jenis, yakni kelasi tetap, kelasi tidak tetap, kelasi penumpang, dan penumpang. Pada dasarnya semua awak perahu adalah pedagang. Selain nakhoda, juru mudi, dan juru batu, para kelasi tetap menyewa petak-petak dalam perahu untuk barang dagangan masing-masing.

Musyawarah Para Matoa

Bambang Budi Utomo, dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pernah mengulas tentang "Amanna Gappa" (Kolom Tempo.co November 2017). Dokumen ini adalah semacam kode etik pelayaran dan perdagangan di perairan Makassar di akhir abad ke-17. Yang menyusun kode etik ini adalah para Matoa. Matoa adalah sebutan dalam bahasa bugis untuk para ketua pelaut-pedagang Wajo-Makassar yang jumlahnya semakin banyak pada waktu itu.

Konflik dan sengketa di dalam kapal maupun di luar kapal adalah hal yang harus mempunyai aturan bersama. Kompleksnya aktivitas dagang dari mulai bongkar muat, pergudangan, hingga pengiriman juga harus dicatat dalam  rincian yang bisa dipercaya. Dinamika dagang dan kemajuan masyarakat yang menyertainya memunculkan sebuah aturan bersama yang diberi nama berdasarkan kepeloporan seorang Matoa yang gemar mengumpulkan naskah-naskah lontar.

"Amanna Gappa" adalah naskah perjanjian dagang yang ditulis dalam 18 lontara. Penulisan naskah ini diperkirakan terjadi pada 1676. Perjanjian ini terdiri dari 21 pasal. Ketentuan-ketentuan yang diatur antara lain tentang cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat menjadi nakhoda, hingga pembagian petak di dalam kapal.

Jika dibandingkan dengan peraturan kelautan zaman kini, "Amanna Gappa" menurut Utomo cenderung menganut konsep perdagangan bebas dengan etika tertentu yang disepakati. Konsep-konsep kepemilikan dalam piagam inilah yang dalam sejarah diadopsi menjadi hukum laut yang dirumuskan dalam berbagai konvensi internasional.  (Y-1)