Papua adalah pulau terbesar di dunia setelah Tanah Hijau. Ahli antropologi purbakala memperkirakan Papua telah dihuni manusia dan kerabatnya setidaknya sejak 40.000 tahun lalu. Ini lebih lama dibandingkan benua Amerika dan sedikit lebih lama dari orang-orang beranatomi modern yang menghuni Eropa Barat.
Jared Diamond, yang menghabiskan lebih dari 30 tahun umurnya meneliti Papua, menilai bahwa cara hidup berburu-mengumpulkan pada saat ini tidak sedemikian menguntungkan di Papua. Para pemburu Papua menghadapi kesulitan kurangnya hewan buruan liar yang cukup besar. Tidak ada hewan darat asli papua yang lebih besar dibandingkan burung tuna-terbang dengan berat sekitar 50 kilogram dan kanguru seberat 25 kilogram. Babi bukanlah hewan asli Papua, hewan ini diperkirakan dibawa oleh para penjelajah Austronesia ke daerah pinggiran Papua sekitar 5.000 tahun lalu.
Orang-orang Papua dataran rendah yang tinggal di pesisir memang memperoleh banyak ikan dan kerang-kerangan sebagai sumber nutrisinya. Sementara itu, sebagian penduduk dataran rendah di pedalaman masih hidup sebagai pemburu pengumpul dan bertahan hidup dengan mengandalkan palem sagu liar. Namun tidak ada suku yang masih menyandarkan hidupnya sebagai pemburu-pengumpul di dataran tinggi Papua.
Semua penduduk dataran tinggi adalah petani yang memanfaatkan makanan dari alam hanya untuk melengkapi diet mereka. Ketika penduduk dataran tinggi masuk ke hutan untuk berburu, mereka membawa serta sayuran hasil kebun sebagai bekal. Bila mereka naas dan kehabisan ransum, mereka bisa kelaparan sampai mati, meski mereka memiliki pengetahuan terperinci mengenai makanan di alam yang tersedia secara lokal.
Saat ini hampir semua penduduk dataran tinggi dan sebagian besar penduduk dataran rendah Papua merupakan petani penetap dengan sistem produksi makanan canggih. Wilayah-wilayah luas yang tadinya berhutan di dataran tinggi telah diubah oleh para petani Papua tradisional menjadi sistem ladang berpagar, bersaluran air, dan dikelola secara intensif terutama untuk menyokong populasi manusia yang padat.
Tanaman Pangan Asli
Bukti arkeologi memperlihatkan bahwa kegiatan bercocok tanam Papua sudah lama sekali sekitar 7.000 tahun sebelum Masehi. Diperkirakan saat itu semua daratan yang mengelilingi Papua masih dihuni hanya oleh para pemburu pengumpul. Hal ini yang menjelaskan corak pertanian kuno Papua pasti berkembang secara mandiri.
Salah satu tanaman asli Papua yang pada saat ini menjadi salah satu komoditas utama dunia adalah tebu. Penelitian yang dilakukan oleh Brandes-Jeswiet pada 1928 memperlihatkan asal-usul tanaman yang berasal dari spesies Saccharum officinarum ini telah banyak didomestikasi di sebagian besar wilayah Papua. Pada awalnya tanaman ini oleh petani-petani di Papua hanya digunakan sebagai campuran pakan babi agar cepat gemuk.
Orang-orang kepulauan Pasifik Selatan-lah yang kemudian membawa tanaman ini melewati perjalanan laut yang jauh. Salah satu kelebihan tanaman ini adalah mampu dibawa dalam perjalanan yang berbulan-bulan tanpa membusuk. Tebu dan talas atau ubi adalah teman para penjelajah laut.
Baru sekitar 2.000 tahun yang lalu dalam catatan Sanskrit India, tertulis pengolahan sari tebu yang kemudian diubah menjadi "guda" atau "gula" karena bentuknya bergumpal-gumpal. Pada masa inilah gula tebu berkembang meluas ke Persia, Mesir, dan kerajaan-kerajaan di sekitar laut Mediterania. Penaklukan bekas wilayah Byzantium dan Persia di masa perkembangan Islam meluaskan penyebaran pemuliaan tanaman ini sampai Spanyol dan Portugal.
Tanaman pangan lain yang tidak diragukan lagi berasal dari Papua adalah jenis pisang yang disebut dengan nama Australimusa. Pisangnya berbentuk ukuran jari manusia menyerupai pisang mas yang umum di Pulau Jawa tetapi berwarna oranye semu kemerahan. Pisang ini tumbuh banyak dalam tandan yang besar.
Tanaman khas Papua yang lain adalah jenis pohon kenari atau Canarium Indicum dan sejenis talas rawa raksasa yang bernama Cyrtosperma Chamissonis. Para ahli juga memperkirakan tanaman seperti Sukun atau Breadfruit yang tersebar di kepulauan Asia Tenggara juga mengalami proses pemuliaan hingga hilang bijinya di sekitar kawasan Papua.
Sistem Pertanian
Manuel Boissiere dan Yohanes Purwanto (2012), pernah menulis dengan cukup panjang tentang sistem pertanian di Papua. Tulisan itu masuk dalam salah satu bab yang ada di buku Ekologi Papua, Seri Ekologi Indonesia Jilid VI.
Secara umum ada dua jenis pertanian tradisional di Papua. Pertama, perladangan berpindah di daerah pegunungan. Kedua, pertanian lahan basah yang menetap di daerah pesisir. Sebagai contoh adalah pertanian yang ada di daerah Lembah Baliem dan sekitar Danau Wissel. Perladangan berpindah diterapkan di daerah lereng-lereng bukit dan kaki bukit, sedangkan pertanian menetap dilakukan di dasar lembah dan tepi sungai.
Perladangan berpindah, menurut para peneliti pertanian, biasanya diterapkan di tanah dengan tingkat kesuburan rendah. Sementara itu, pertanian menetap dilakukan di ladang dengan tingkat kesuburan tinggi dan merupakan salah satu bentuk adaptasi akibat populasi jumlah penduduk yang semakin padat.
Dengan masuknya tanaman dari luar seperti ubi kayu, ubi jalar, dan kopi, model pertanian di Papua mempunyai sistem pertanian yang berkembang pula. Patrick Haynes (1989) membagi klasifikasi pertanian Papua menjadi enam subsistem. Sistem yang utama dibagi menjadi pertanian dataran yang dibedakan menjadi tiga subsistem. Pertama, daerah rawa pesisir dan sungai dengan pertanian sagu dan ubi-ubian. Kedua, daerah datar di pesisir dengan tanaman kelapa dan ubi-ubian dan talas-talasan. Ketiga, daerah kaki bukit dan lembah kecil yang merupakan perladangan berpindah bagi jenis ubi-ubian.
Selanjutnya adalah sistem kedua yang dibagi dalam tiga subsitem berbeda. Antara lain, pertama, daerah lembah yang luar untuk ubi jalar intensif, kedua dataran pinggiran sungai untuk ubi jalar dan kopi, dan yang ketiga daerah lereng bukit dan lembah curam yang khusus untuk ubi kayu dan ubi jalar. (Y-1)