Indonesia.go.id - Ilmu Pengobatan dari Tengah Hutan

Ilmu Pengobatan dari Tengah Hutan

  • Administrator
  • Sabtu, 24 Agustus 2019 | 01:05 WIB
KEFARMASIAN
  Rumah Tau Taa Wana di Lipu Viautiro, Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Foto: Istimewa

Untuk mengatasinya, kera itu mengumpulkan daun-daun dari tanaman tertentu. Dia kemudian mengoleskan sebagian dan memakann sebagian lainnya.

Belajar dari alam, adalah filosofi dasar manusia untuk mengatasi berbagai masalah yang dia hadapi. Ketika manusia bekerja, bermain, menjelajah, mencari makan, berburu, dan berbagai kegiatan sehari-hari lainnya proses belajar itu terus berjalan dari waktu ke waktu. Pengobatan adalah salah satu kemampuan manusia yang didapat dari proses itu.

Jamu adalah salah satu produk budaya yang muncul dari rekayasa bahan-bahan yang didapat dari alam untuk keperluan pengobatan. Seperti resep makanan, racikan jamu atau reramuan didapatkan formulanya dari pengetahuan generasi terdahulu. Kemampuan mengolah berbagai bahan yang berlainan, entah karena faktor kesengajaan atau ketidaksengajaan memunculkan hasil olahan yang mempunyai khasiat tertentu. Dalam perkembangan lebih lanjut kemampuan ini berkembang menjadi ilmu kimia dan ilmu pengobatan. 

Ali Humaedi, saat ini menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), adalah salah seorang yang meneliti dan mendokumentasi suku-suku pedalaman nusantara. Dalam kerja-kerja etnografinya itu dia menemukan kemampuan pengobatan yang khas dari suku di pedalaman Sulawesi Tengah. Pengalaman itu dia tulis dalam buku Etnografi Pengobatan (2016).

Belajar dari Kera

Masyarakat adat yang diteliti Ali Humaedi adalah salah satu dari 13 kelompok etnik yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah kelompok-kelompok itu menempati sepanjang pesisir Parigi Moutong hingga Banggai. Dari garis pedalaman Morowali sampai Ampana. Dari semua itu masih terbagi lagi menjadi kurang lebih 100 sub etnik yang memliki keanekaragaman bahasa dan budaya tersendiri.

Masyarakat adat Tau Taa Vana adalah komunitas adat terpencil yang menjadi objek penelitian. Keberadaan masyarakat adat itu menyebar dari bagian timur laut Cagar Alam Morowali Kabupaten Morowali sampai bagian barat Pegunungan Batui Kabupaten Banggai dan Pegunungan Balingara Kabupaten Tojo Una-una. Mereka adalah masyarakat adat penghuni hutan yang mendirikan kampung kecil yang disebut opot (setingkat dusun) dan lipu (setingkat desa) yang terdiri dari keluarga batih dan keluarga luas.

Penelitian terdahulu mencatat bahwa masyarakat Tau Taa Wana telah menempati wilayahnya jauh sebelum masa penulisan sejarah. Artinya telah ada sejak masa prasejarah kurang lebih 4.000-an tahun yang lalu. Penamaan Tau Taa Wana sendiri kurang lebih berarti para penghuni hutan atau dataran tinggi yang dikelilingi hutan.

Masyarakat Tau Taa Wana memiliki seorang juru pengobatan yang diberi nama Tau Valia. Dalam catatan penelitian Ali Humaedi, seorang Tau Valia dari masyarakat adat lama ini mempunyai ramuan pengobatan yang berasal pengamatan terhadap kehidupan di hutan. Tau Valia mempunyai ramuan yang dia pelajari dari perilaku seekor kera yang melahirkan. Kera itu mengalami pendarahan hebat setelah melahirkan. Untuk mengatasinya kera itu mengumpulkan daun-daun dari tanaman tertentu. Dia kemudian mengoleskan sebagian dan memakannnya.

Tanaman Obat yang Tak Dikenal di Jawa

Kampung Tau Taa Wana terletak di dalam hutan di seberang sungai Bulang yang berarus kuat dan dalam. Setelah melewati sungai itu jalan yang ditempuh akan melalu gunung yang berlekuk dan hutan yang banyak belukar. Untuk mencapainya orang menempuh perjalanan selama dua hari dengan berkubang lumpur, tertancap onak, tergigit serangga, lintah, dan pacet.

Ali Humedi sebelumnya pernah melakukan perjalanan ke kampung itu pada 2008. Ketika dia kembali bertemu dengan orang-orang Tau Taa Wana, beberapa tahun kemudian, dia mendapatkan sambutan yang sangat hangat. Seseorang bernama Apa Li, Tuo Boros Vananga Bulang, menyambut Humaedi dengan pelukan yang erat. Orang tua kampung ini seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Sebab kabar yang dia dapat menyebutkan, selepas kembali dari kampung itu pada 2008, Humaedi meninggal di tengah hutan Tojo Una-una karena kelelahan dan kelaparan.

Masyarakat kampung adat itu kemudian menyambut kedatangan, "saudara angkat" mereka dengan menggelar upacara ritual, berupa sajian sirih, pongas, beras pulut, telur ayam kampung, dan dua ekor ayam. Semua itu diperuntukkan bagi kedatangan beberapa orang tamu dari jauh.

Pertemuan itu menjadi awal perjalanan penelitian etnografi pengobatan Tau Taa Vana. Seluruh tetua adat yang ada di sepanjang pegunungan Karundeng hingga Kaju Marangka'a memberikan restu untuk penelitian itu.

Tau Valia adalah nama bagi juru pengobatan yang ada di kampung adat itu. Bakum Valia adalah sebutan bagi ilmu atau praktik pengobatan cara mereka. Mereka juga mengenal metode mobolong, praktik pengobatan dengan ritual kepercayaan terhadap leluhur yang penting bagi kesembuhan penyakit. Selama ekspedisi itu tim mempelajari berbagai praktik pengobatan yang ada dan mengumpulkan 57 jenis tumbuhan obat dan 98 tumbuhan berpotensi obat yang tidak dikenal di Pulau Jawa. (Y-1)