Turis berduyun-duyun singgah ke lokasi warisan geologi di Pulau Seribu Masjid, sekitar 10 menit berkendara dari Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Mereka mengejar keunikan situs cagar alam yang memiliki Cahaya Tuhan.
Keindahan alam Lombok tak pernah ada habisnya untuk dibicarakan. Pulau Seribu Masjid itu tak hanya berkisah mengenai pesona pantai dan gunung. Menelusuri warisan geologi berupa gua pun, tak ada salahnya untuk dicoba.
Salah satunya adalah Gua Bangkang Prabu. Adanya di kawasan Bukit Prabu, Desa Prabu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Desa Prabu yang gersang ini juga dikenal sebagai kawasan pertambangan emas rakyat sejak 1990-an.
Gua Bangkang Prabu posisinya mudah dijangkau, hanya sekitar lima menit dari Jalan Raya Mawun. Jalan itu merupakan ruas utama menuju Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di mana terletak Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika. Para penonton MotoGP seri Mandalika, 18-20 Maret 2022 di sirkuit ini juga bisa menyinggahi objek wisata alam Lombok itu.
Hanya perlu berkendara selama 10 menit dari The Mandalika untuk mencapai kawasan geologi tersebut melintasi kawasan berkelok-kelok, tanjakan dan turunan, serta tentu saja beraspal mulus. Untuk mencapainya pun dijamin tidak akan tersesat. Dalam platform peta digital Google Maps saat ini, sudah ada nama Gua Bangkang Prabu ikut didaftarkan dalam destinasi perjalanan.
Ada sebuah halaman lumayan luas, sekitar 200 meter persegi yang biasa digunakan pengunjung untuk memarkirkan kendaraan mereka. Sebelum memasuki gua, kita akan disambut oleh sebuah bangunan restoran berbentuk seperti aula terbuka. Tepat di depan restoran terdapat taman dengan rerumputan hijau yang terawat baik.
Dari restoran ini, kita bisa menyusuri jalan setapak selebar satu meter yang dicor semen sepanjang 100 meter untuk menuju mulut gua. Oh iya, di sayap kiri dari restoran terdapat resor kecil dua lantai dilengkapi kolam renang dengan patung kelelawar, ciri khas dari gua ini.
Jenjang-jenjang tangga dari susunan batu alam sebesar kepala manusia menjadi jalur setapak terakhir yang kita lewati. Sekaligus penanda bahwa kita sebentar lagi akan bertemu dengan pintu masuk gua. Samar-samar dari kejauhan, kita dapat mendengar suara berisik menggema di dalamnya. Semakin dekat, suara berisik itu terdengar lebih jelas.
Itulah suara koloni kelelawar dari subordo Microchiroptera yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu ekor. Suara berisik merupakan bentuk komunikasi mereka terhadap adanya ancaman atau sinyal bahaya. Suara melengking hewan bertaring ini juga bentuk komunikasi tiap individu sebagai penanda hubungan sosial. Demikian diungkapkan peneliti zoologi dari IPB University, Choirunissa dalam jurnal penelitiannya, "Karakteristik Morfologi Kelelawar".
Terdapat lima spesies kelelawar di sini dan mereka tinggal menggantung di langit-langit pada ketinggian sekitar 20 meter dari dasar gua. Sebagian sibuk beterbangan kendati di luar sedang siang hari. Uniknya lagi, saking banyaknya hewan ini menggantung, membuat warna langit-langit seperti hitam pekat karena tertutupi oleh hewan-hewan ini.
Kelelawar-kelelawar ini telah menjadikan Gua Bangkang Prabu sebagai sarang yang nyaman. Kondisinya yang lembab, jauh dari keramaian, dan memiliki suhu stabil menjadi alasannya. Karena itu masyarakat setempat juga mengenalnya sebagai Gua Kelelawar.
Mereka dapat ditemui pada dua dari tiga zona gua atau biasa dikenal sebagai mintakat. Yakni mintakat 1 dan 2 dengan populasi menurut Choirunnisa dapat mencapai 39-47 ekor per meter persegi dinding gua. Ratusan ribu ekor kelelawar tadi ikut memberi ciri lain dari Gua Bangkang Prabu, yakni adanya lumpur kotoran, terutama di bagian tepi tembok gua. Kotoran tadi sudah tentu menghadirkan bau tak sedap di dalam gua.
Oleh sebab itu, sebelum masuk mulut gua ada baiknya pengunjung menyiapkan masker, pelindung kepala seperti helm khusus berlampu atau topi. Juga memakai alas kaki tertutup atau sepatu boot. Helm dan sepatu bot plastik dapat disewa di restoran dekat pintu masuk gua. Siapkan pula pakaian ganti. Karena siapa tahu pakaian yang sedang kita gunakan saat itu terkena cipratan kotoran kelelawar.
Cahaya Tuhan
Jangan khawatir. Meski kotoran ratusan ribu ekor kelelawar itu menciptakan kesan jijik, perjuangan untuk menaklukkan tantangan itu bakal terbayar lunas saat berada di ruangan besar di dasar gua, sekitar 100 meter perjalanan dari mulut gua. Ukuran ruangan ini sekitar 200 meter persegi dikelilingi tembok stalaktit warna krem dan hijau karena ditumbuhi lumut.
Di tempat ini yang merupakan ruang utama, kendati aroma tak sedap karena kotoran kelelawar menguasai nyaris seisi ruangan, udaranya tidak pengap lantaran tingginya langit-langit gua. Bukan itu saja, karena embusan angin dari kawasan perbukitan leluasa masuk melalui beberapa lubang berdiameter 1-3 meter yang terbentuk secara alami. Lubang-lubang ini posisinya di atas kepala kita.
Ketika di siang hari dan cuaca terik, dari lubang-lubang yang mirip dengan fungsi jendela ini sinar mentari leluasa menembus masuk ke dasar gua. Pendaran sinarnya membentuk garis-garis keindahan alami. Ada yang masuk ke dalam gua dengan posisi tegak lurus, miring ke kiri, atau ke kanan, mengingatkan kita pada sorot lampu-lampu di atas panggung pertunjukan musik. Indahnya sinar mentari yang masuk tadi oleh masyarakat setempat disebut sebagai Cahaya Tuhan.
Titik-titik jatuhnya sinar matahari ke lantai dasar ruang utama gua acap dijadikan lokasi pemotretan bagi para pengunjung. Tak sedikit pula di antara pengunjung merupakan wisatawan asing karena lokasinya yang berdekatan dengan Kawasan Ekonomi Khusus dan destinasi superprioritas The Mandalika serta mudah dijangkau. Mereka umumnya penasaran dengan keunikan gua yang memiliki Cahaya Tuhan tersebut.
Apalagi sebelumnya sempat viral dan mendunia di platform Instagram foto seorang guru yoga sekaligus selebgram cantik asal Minnesota, Amerika Serikat berakun @neyu_ma. Di akun Instagramnya, pada 29 Agustus 2017 ia membagikan dua foto pada 29 Agustus 2017 dan 8 Juni 2017. Dalam foto berteknik fotografi profesional tersebut, ia memperagakan gerakan yoga tepat pada spot Cahaya Tuhan dari Gua Bangkang Prabu.
"Kamu adalah cahaya yang memberikan penerangan," tulis akun @neyu_ma dalam statusnya saat itu. Belasan ribu orang memberi tanda suka (like) untuk fotonya tadi. Tak sedikit pula yang terinspirasi untuk mengunjunginya.
Salah satunya sepasang turis asal Republik Ceko. Keduanya membagikan foto bergaya dengan Cahaya Tuhan yang sinarnya datang dari arah samping. Di antara sinar yang masuk ke dalam gua itu, ditingkahi asap hasil pembakaran daun-daun tanaman cokelat yang sudah kering oleh warga di luar gua dan masuk hingga ke ruang utama.
Efek asap ini menciptakan foto luar biasa. "Tidak kami sangka, fotonya sangat berkesan. Cukup mengobati perjuangan kami untuk masuk ke tempat indah ini. Kalau tidak ada efek asap alami itu, Cahaya Tuhan belum tentu kelihatan rupanya," tulis pemilik akun @travelatearth di Instagram.
Pintu masuk gua tidak hanya dari seberang restoran seperti di awal cerita tadi. Sebuah tangga dari susunan batang-batang kayu besar yang sudah kering setinggi sekitar 30 meter juga bisa dipakai untuk keluar dan masuk ke dalam gua dan langsung bertemu dengan ruang utama.
Pemandu gua dari warga lokal bernama Budi mengatakan, daya tarik gua ini tidak hanya ruang utama tadi. Beberapa kelompok pecinta susur gua (caving) kerap menjelajah lorong lainnya, jauh ke perut harta geologi tak ternilai di Lombok itu.
Ujung gua dan bagian dari zona 3 ini disebut Budi bisa menembus hingga dua kilometer, bertemu di bibir tebing perairan Pantai Kuta Mandalika. Diperlukan banyak peralatan khusus untuk kegiatan susur gua. Misalnya helm caving, senter, caving wearpack, rompi keselamatan, tas tahan air, tabung oksigen mini, radio komunikasi, persediaan air, dan makan yang cukup. Pemandangan hutan hijau di sekitarnya turut menambah eksotisme gua.
Satu hal penting yang perlu diperhatikan jika ingin bertemu Cahaya Tuhan di tempat ini adalah pantau prakiraan cuacanya. Karena jika sepanjang pagi hingga siang hujan turun atau cuaca selalu mendung, maka akan sia-sia upaya mengejar Cahaya Tuhan. Pasalnya sang mentari pasti memilih bersembunyi di balik gelapnya awan dan enggan mengirimkan Cahaya Tuhan ke dalam gua.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari