Masjid di tengah perkampungan masyarakat Muslim di Kota Bangkok ini didirikan oleh mertua KH Ahmad Dahlan, selaku pendiri ormas Islam Muhammadiyah.
Berlebaran di negara yang mayoritas penduduknya tidak ikut merayakan menjadi sebuah pengalaman menarik. Ini pula yang dirasakan oleh Arman Purnama, warga Indonesia yang telah 30 tahun tinggal di Bangkok, Ibu Kota Thailand. Pria kelahiran Jakarta 64 tahun silam itu mengaku selalu merindukan suasana riuh berkumpul bersama keluarga sambil menikmati aneka hidangan khas hari raya seperti ketupat sayur, opor ayam, dan rendang.
Sayangnya, hal itu sulit ia dapatkan di negara yang 94,6 persen penduduknya beragama Buddha. Setiap kali merayakan lebaran, ia biasanya akan pergi ke kantor Kedutaan Besar RI yang terletak di pusat bisnis Petchburi. Di sana ia bisa salat Id bersama ratusan masyarakat Indonesia atau warga asing beragama Islam yang tinggal di Bangkok.
Pasalnya, salat Id dilakukan di lapangan rumput seluas arena sepak bola di dalam lingkungan kedutaan dan dapat menampung hingga 500 jamaah laki-laki dan perempuan. Usai salat, pihak kedutaan sudah menyiapkan aneka makanan khas Indonesia untuk segera disantap jamaah.
Walau begitu, ada kalanya ia merindukan suasana lebaran di perkampungan seperti yang selalu dialami di rumah masa kecilnya di kawasan Rawamangun, Jakarta. Beruntung ia bisa mendapatkan suasana seperti itu di sebuah masjid di kawasan Yan Nawa, Distrik Sathon, sekitar 20 menit dari kediamannya.
Namanya adalah Masjid Jawa yang dibangun oleh perantau asal Jawa bernama Haji Muhammad Shaleh pada 1906 silam. Ia adalah mertua dari KH Ahmad Dahlan, pendiri ormas Islam Muhammadiyah.
Lokasi masjid terselip di antara gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, dan hotel. Juga tak jauh dari Taman Lumpini, ikon hijau Kota Bangkok yang terinspirasi oleh Kebun Raya Bogor.
Akses menuju masjid lumayan sempit. Selain harus sedikit bermanuver menyisir tepi jalan tol layang buatan perusahaan asal Indonesia, jalan di depan masjid, yaitu Soi Charoen Rat 1 Yaek 9 hanya cukup dilalui oleh satu mobil.
Tepat di seberang masjid terdapat kompleks pemakaman Muslim. Menurut Arman, Masjid Jawa dan Taman Lumpini saling terkait. Berdasarkan cerita warga sekitar, saat Raja Rama V memerintah ia pernah terkesima oleh keindahan Kebun Raya Bogor saat melakukan kunjungan ke kota sejuk di timur Jakarta pada abad ke-19.
Sepulangnya ke Bangkok, ia pun bertekad untuk membuat taman serupa semirip mungkin dengan yang ada di Bogor. Untuk keperluan itu, Raja Rama V mendatangkan banyak pekerja asal Pulau Jawa supaya mewujudkan impiannya.
Sejumlah pohon yang tumbuh di Jawa turut pula diboyong termasuk pohon asam jawa. Setelah taman rampung dikerjakan, pihak kerajaan mengizinkan para pekerja untuk menetap di sekitar taman sekaligus membantu perawatannya. Maka, terbentuklah Kampung Jawa lengkap dengan Masjid Jawa.
Masjid ini terdiri dari tiga bangunan. Dua bangunan untuk sekolah dan kantor pengelola, serta lainnya untuk tempat ibadah. Arsitektur bangunan utama masjid mirip dengan kebanyakan di Jawa.
Atapnya berbentuk limas tiga tingkat dengan dominasi warna hijau dan putih. Interior masjid didominasi warna putih, di bagian depan terdapat mimbar khotbah berundak tiga terbuat dari kayu jati warna cokelat. Masjid mampu menampung sekitar 200 jamaah.
Seperti halnya di Indonesia, Masjid Jawa dilengkapi beduk penanda waktu salat berdiameter hampir 1 meter dan diletakkan di teras masjid. Sebuah kendaraan minibus besar terparkir di teras untuk dimanfaatkan sebagai ambulans dan kereta jenazah gratis. Pengurus masih mempertahankan tradisi leluhur, terutama saat hari raya tiba.
"Mereka akan menyajikan masakan khas Indonesia selepas kita melaksanakan salat Id. Kita diminta untuk tetap di tempat dan dipersilakan mencicipi hidangan tadi. Mereka menyebutnya sebagai kenduren atau kenduri," terang Arman yang berprofesi sebagai pengusaha ini.
Menu khas Jawa juga acap terhidang, kata kakek tiga cucu itu. Misalnya, sayur asam, oseng-oseng, tempe orek, dan gorengan. Ada pula kuliner setempat seperti tomyam bersanding dengan lontong sayur, opor ayam, dan lainnya. Semua dihidangkan di atas piring dan kemudian diletakkan di nampan enamel yang jumlahnya bisa puluhan.
Setiap nampan bisa disantap oleh sekitar empat orang jamaah yang duduk di karpet masjid atau mengelilingi meja di teras masjid. Suara bising kendaraan motor dan mobil berlalu lalang menemani kita bersantap karena maklum saja lebaran bukan hari libur nasional di Thailand. Jadi, ketika selesai melaksanakan salat Id dan kenduri hari raya, seluruh jamaah akan langsung kembali beraktivitas.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari