Di antara ratusan rumah makan (RM) di Palembang, nama Sarinande tergolong yang paling melegenda. Terletak di Jl Mayor Ruslan, rumah makan yang dirintis sejak 1957 itu menyajikan hidangan dengan menu khas Palembang. Ada pindang patin, pindang belida, sate lilit ikan tengiri, rending, dan yang tak pernah absen adalah ikan seluang dalam berbagai versinya, yaitu seluang goreng kering, seluang cabe hijau, pepes seluang dengan parutan kelapa, dan seterusnya.
Ikan seluang juga hadir di sejumlah rumah makan lain yang membawa selera Melayu, termasuk di RM Sri Melayu, salah satu restoran papan atas di Palembang. Seluang pun kental menjadi salah satu ikon kuliner Melayu. Bukan hanya di Palembang, seluang juga hadir sebagai hidangan di banyak RM Melayu di Kota Pekanbaru, Jambi, bahkan menyeberang ke Kalimantan, sampai di Banjarmasin, Palangkaraya dan kota-kota di sekitarnya.
Bahwa seluang, juga patin, menjadi bagian dari Budaya Melayu, itu tak lepas dari urusan sumber daya. Seperti halnya ikan patin, seluang juga hidup di sungai-sungai dan danau-rawa di wilayah Pantai Timur Pulau Sumatra dan Pantai Selatan-Barat Kalimantan.
Maklum, 20 ribu tahun silam, Sumatra, Kalimantan, dan Jawa masih menyatu. Banyak sungai yang muaranya bertemu di dataran rendah yang kini berubah menjadi Selat Karimata dan Laut Jawa bagian Barat. Tak heran, bila banyak pula satwa yang sama di dalam air maupun di daratan. Maka, ketika zaman es berakhir, dan permukaan laut naik lebih dari 120 meter, hewan-hewan itu terjebak di masing-masing pulau dan terpisah oleh air laut.
Ikan seluang adalah salah satu hewan sungai yang terjebak, namun terus bertahan. Di Pulau Jawa, ikan ini sebagian punah seiring menghilangnya sungai besar yang menyatu dengan ekosistem danau-rawa. Sebagian lagi tumbuh menjadi variasi tersendiri yang hidup di parit-parit dan sungai kecil, bening dan berarus deras, antara lain, yang kini dikenal sebagai lanjar pari.
Secara umum, seluang menjadi penghuni dataran rendah Pantai Timur Sumatra dan dataran rendah Kalimantan Selatan dan Tengah. Seluang menyatu dalam budaya kuliner Melayu Palembang, Melayu Riau-Jambi, Melayu Banjarmasin hingga Melayu Kapuas-Barito Kalimantan Tengah.
Sejalan dengan perkembangan seni kuliner, ikan seluang pun kini disajikan dengan banyak variasi resep dan racikan. Ada seluang goreng, goreng tepung, goreng krispi, rempeyek seluang, balado, pepes, pepes parut kelapa, sambal seluang, ikan seluang gula merah, pempek, tekwan, dan seterusnya.
Sejauh ini, permintaan pasar akan ikan seluang masih aman, masih bisa dilayani dari sumber daya alam yang ada. Sungai Musi, Sungai Lematang, Komring di Sumatra Selatan masih bisa menjadi habitat ikan seluang, seperti halnya Sungai Siak, Indragiri dan Rokan di Riau, Sungai Batanghari dan Batang Merangin di Jambi, hingga Sungai Barito, Kahayan, dan Kumai di Kalimantan Tengah dan Selatan. Toh, Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Kalteng, telah mengembangkan teknik budidayanya mengantisipasi perburuan seluang yang melampaui ambang lestarinya.
Dalam klasifikasi biologinya, seluang termasuk dalam marga (genus) Rasbora dan familinya Cyprinidea, seperti ikan mas. Di Indonesia, setidaknya ada tiga jenis seluang. Tapi yang beradaptasi dengan baik di sungai-sungai besar Sumatra dan Kalimantan ialah Seluang Bada (Rasbora daniconius) dan Seluang Batang (Rasbora argytonaenia).
Namun, varian Rasbora argytonaenia yang hidup di Jawa teradaptasi dengan habitat parit, sungai kecil, yang berarus deras, jernih, berpasir, dan berbatu-batu dengan memakan plankton serta bahan organik yang meruah di perairan itu. Sedangkan seluang di Sumatra lebih banyak makan hewan-hewan mikro yang meruah di sungai-sungai besar itu. Karenanya dari segi bentuk seluang batang yang beradaptasi di Jawa bentuk dan ukurannya lebih mirip ke wader bintik khas Jawa yang dari genus Barbus. Begitulah hukum adaptasi lingkungan bekerja.
Dibanding wader Jawa, tubuh seluang lebih panjang dan pipih. Sebagai ikan sungai, seluang dan wader tidak berbau amis, dan sama-sama gurih. Perbedaannya, tekstur wader lebih lembut dan durinya juga lembek. Dalam ukuran yang cukub besar, di atas 10 cm, daging seluang mudah dipisahkan dari durinya.
Ada kecenderungan bahwa penangkapan ikan seluang ini semakin besar di banyak tempat. Di sini perlu ada kehati-hatian, karena tak terlalu banyak ikan seluang betina yang bisa mencapai usia matang untuk bertelur. Betina dewasa yang siap reproduksi panjangnya mencapai 30 cm, ukuran yang mudah untuk dijerat jaring pemburu.
Mungkin upaya budidaya seperti di Barito Utara perlu dikembangkan pula di Sumatra, supaya seluang tak melulu ditangkap dari sungai dan danau. Bila pasokan terjamin, rumah makan seperti Sarinande bisa terus mengembangkan resep-resep baru untuk ikan seluangnya, agar bertahan sampai puluhan tahun lagi ke depan. (P-1)