Para ahli botani memperkirakan bahwa pohon kelapa adalah buah yang berasal dari kepulauan-kepulauan ini yang kemudian menyebar ke semua kawasan tepi pantai yang tropis.
Kelapa dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Coconut. Istilah ini berasal dari catatan pelaut-pelaut portugis yang mencatat buah yang mereka dapatkan dari pelayaran mereka di kepulauan timur jauh. Karena bentuknya bulat dan mempunyai cangkang keras, buah ini mengingatkan para pelaut pada tengkorak kepala yang dalam tradisi portugis disebut sebagai coco.
Naskah yang paling tua menyebutkan buah kelapa tercatat di dalam kisah-kisah Seribu Satu Malam khususnya dalam kisah Sinbad Si Pelaut. Dalam kisah pelayarannya yang kelima diceritakan Sinbad telah menjual belikan buah kelapa dari wilayah kepulauan timur jauh atau "jawz hind" yang diceritakan sebagai kepulauan penuh misteri lengkap dengan hutan-hutan, gunung api dan burung-burung raksasa.
Antonio Pigafetta, pencatat portugis dalam ekspedisi Magellan pada bulan Maret 1521 menyebut penduduk di kepulauan di sekitar Guam dan Philipina sebagai orang-orang memakan buah kelapa dan melumurkan tubuh dan rambut mereka dengan minyak dari kelapa. Penduduk-penduduk kepulauan Melanesia dan Polynesia menyebut buah kelapa sebagai 'niu' atau 'niyog' yang diduga kuat berasal dari bahasa melayu yaitu 'nyiur'.
Pendek kata, buah kelapa adalah buah yang secara natural merupakan buah yang paling banyak tumbuh di kepulauan Asia Tenggara. Indonesia, sebaga negara terbesar di Asia Tenggara adalah penghasil kelapa paling banyak di dunia. Data 2017 dalam The World Atlas mencatat bahwa jumlah produksi kelapa di Indonesia mencapai 19,4 juta ton disusul Filipina di urutan kedua dengan jumlah 15,9 juta ton. India berada di urutan ketiga dengan jumlah 10,6 juta ton.
Sayangnya walaupun berada di urutan pertama penghasil kelapa dunia, penguasa produksi kelapa sebagai komoditi ekspor yang sesungguhnya adalah Filipina. Catatan dari pelaku industri ekspor kelapa di tahun 2011 menunjukkan bahwa Filipina bisa menghasilkan keuntungan hingga 757,3 juta dollar AS dari perkebunan kelapa yang luasnya 3,1 juta hektar. Sedangkan Indonesia dengan perkebunan lebih luas 3,8 juta hektar hanya mendapatkan 228,7 juta dollar AS.
Mengapa terjadi perbedaan yang begitu besar? Jawabannya adalah keseriusan dan ketekunan Filipina dalam mengelola produksi kelapa sejak masa kolonial hingga saat ini telah mampu menghasilkan 125 produk olahan dari kelapa. Bandingkan dengan produk olahan di Indonesia yang baru mencapai 25 jenis olahan.
Kementerian Pertanian pada tahun 2017 menyebutkan bahwa Indonesia saat ini berada di urutan kedua eksportir produk kelapa dalam bentuk minyak kelapa dan kelapa yang dikeringkan. Indonesia hanya unggul dalam ekspor kelapa yang masih berada di dalam kulit, dengan jumlah ekspor mencapai 58 persen dari ekspor yang ada di dunia. Negara tujuan ekspor kelapa Indonesia adalah Amerika Serikat 19,87 persen, China 16.10 persen, Belanda 11,75 persen, Thailan 10,16 persen, Malaysia 9,7 persen, dan Korea Selatan 7,26 persen. Pangsa ekspor ke negara-negara ini mencapai 75% dari total ekspor kelapa Indonesia.
Kementerian Pertanian mencatat penghasil produk kelapa di Indonesia saat ini tersebar di berbagai wilayah. Riau adalah penghasil kelapa tertinggi mencapai 14,31 persen rata-rata produksi nasional. Selanjutnya adalah Sulawesi Utara 9,3 persen, Jawa Timur 8,89 pesen, Maluku Utara 7,97 persen, Sulawesi Tengah 6,02 peren, Jawa Tengah 5,99 persen, Jambi, 3,66 persen, Maluku 3,29 persen, Lampung 3,24 persen, dan Jawa Barat 3,00 persen.
Peta penyebaran produk kelapa di Indonesia sebenarnya cukup merata dan mempunyai sejarah yang panjang. Yang perlu menjadi catatan bagi pengembangan produk olahan kelapa di Indonesia adalah pentingnya riset dan pengembangan produk terutama produk-produk olahan kelapa. Yang bisa mengembangkan potensi Indonesia ke depan adalah produk-produk hilir bukan produk hulu.
Eksportir produk olahan kelapa dari sabut kelapa, pada saat ini kewalahan untuk memenuhi kebutuhan olahan sabut kelapa menjadi bahan pengisi jok mobil dan pengisi sofa furnitur. Hingga saat ini belum ada yang bisa menandingi kualitas sabut kelapa menjadi bahan peredam pegas yang menjadi kerangka interior mobil dan furnitur. Sebagai ilustrasi, kebutuhan satu produsen kasur pegas dan mebel di china saat ini mencapai 700 ton dalam satu tahun sementara kebutuhan produsen jok mobil di Eropa membutuhkan 120 ton per bulan.