Indonesia.go.id - Mengejar Pencapaian Akses 100% di 2019

Mengejar Pencapaian Akses 100% di 2019

  • Administrator
  • Kamis, 17 Januari 2019 | 02:42 WIB
AIR BERSIH
  Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR. Sumber foto: Dok Kementerian PUPR

Akses air bersih dan sanitasi sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Dan, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Air bersih dan sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun, realitasnya kebutuhan air bersih yang layak dan sanitasi yang memadai saat ini masih sulit di dapatkan. Tak perlu jauh-jauh, layanan yang memenuhi kelayakan air bersih pun masih belum mampu disediakan di Ibu Kota Negara, Jakarta.

“Cakupan air bersih di Jakarta baru mencapai 60%. Artinya, sisanya sebanyak 40% warganya belum mendapatkan akses air bersih,” kata Direktur Teknik PAM Jaya BUMD penyedia air minum milik Pemprov DKI Barca Simarmata dalam satu acara menjelang akhir 2018.

Ini membuktikan masalah penyediaan air besih bukan perkara yang mudah. Cakupan memperoleh air bersih baru 60%. Tidak itu saja, Jakarta disebut juga berpotensi jadi salah satu kota dari 10 kota di dunia yang menghadapi ancaman kelangkaan akses air bersih.

Pernyataan ini bisa jadi benar. Bila kita beranjak sedikit saja dari kursi kita, jalan-jalan di kampung seputaran Pulo Gadung, misalnya, pasti masih banyak orang yang berjualan air bersih. Tentu tidak murah bagi penduduk kampung di seputaran Pulo Gadung itu untuk mendapatkan air bersih itu.

Oleh karena itu, seperti disampaikan Barca Simarmata, PAM Jaya pun menjanjikan wilayah Jakarta Utara dan Barat menjadi skala prioritas BUMD Pemprov DKI untuk segera mendapatkan akses air bersih.

Ilustrasi di atas hanyalah gambaran betapa akses air bersih masih menjadi masalah dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah, termasuk di Kota Jakarta, kota modern di Indonesia dan pusat pemerintahan. Kondisi yang sama tentu juga terjadi di daerah.

Dalam konteks air bersih, kita sudah sepakat bahwa akses air bersih bersama sanitasi sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Dan, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Panel Tingkat Tinggi PBB telah melahirkan blue print berkaitan dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2015. Komitmen itu menyebutkan masyarakat global akan menghadapi tantangan berkaitan dengan kemiskinan, ketidaksamaan, masalah iklim, degradasi lingkungan, kesejahteraan, perdamaian, serta masalah keadilan.

Dari beberapa elemen itu, terutama degradasi lingkungan, tantangan berupa penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak menjadi masalah yang harus dipecahkan. Oleh karena itu, panel tingkat tinggi PBB berkaitan dengan SDGs bersepakat pemenuhan akses air minum bersih dan sanitasi wajib dicapai masyarakat dunia pada 2030.

Bagian Nawacita

Indonesia juga termasuk 193 negara yang ikut menyepakati komitmen SDGs tersebut. Wujud dari implementasi komitmen itu bahkan jadi bagian Nawacita Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Tidak itu saja, komitmen itu juga dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang ditandai dengan meluncurkan program agenda nasional 100% Akses Universal Air Minum dan Sanitasi pada 2019.

Sebagai gambaran, akses layanan air layak minum di Indonesia kini baru mencapai 72%. Artinya, masih dibutuhkan kerja keras semua stake holder untuk menutupi kekurangan sebesar 28%.

“Perlu kerja keras untuk mencapai target tersebut baik melalui pembangunan jaringan perpipaan maupun nonperpipaan. Untuk itu, kita butuh lompatan agar target 100% layanan air layak minum dapat tercapai," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (20/11/2018). 

Tak dipungkiri, tren selama 5 tahun terakhir peningkatan akses air minum sekitar 4,5% per tahun. Persoalannya, pencapaian 100% akses air layak minum itu sudah di depan mata, tahun ini juga. Menteri Basuki Hadimuljono pun melontarkan kiatnya untuk mencapai target capaian tersebut.

“Kita harus punya strategi lompatan dalam mewujudkan target capaian 100% layanan akses air layak minum, di mana peran BUMN menjadi sangat penting. Kita harus bekerja dengan fokus dan tekun,” ujar Basuki optimis.

Tidak ringan memang untuk mengejar pencapaian yang telah ditetapkan. Sejumlah pekerjaan rumah masih banyak yang harus dikerjakan. Salah satunya adalah penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Sumber Daya Air. Lahirnya regulasi itu diharapkan bisa menghasilkan pengelolaan SDA terpadu yang lebih baik dari sebelumnya. 

Begitu juga soal dana. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pernah menaksir dana untuk mewujudkan 100% akses air minum bisa mencapai Rp253,8 triliun. Sebuah angka yang lumayan.

Dan, pemerintah pusat tentu tidak mampu menyediakannya sendirian. Butuh kerja sama BUMN dan BUMD untuk merealisasikan tekad bersama 100% akses air bersih yang layak tersebut. Skenario yang dipilih untuk adalah berbagi beban, 20% berasal dari APBN dan 80% non-APBN.

Apalagi, UU No. 23 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 12 Ayat 1, menyebutkan bahwa pelayanan air minum dan sanitasi merupakan kewenangan daerah dan menjadi urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Artinya, pemerintah pusat berkepentingan untuk mendorong pemerintah daerah untuk memprioritaskan program dan anggaran daerah untuk pembangunan layanan infrastruktur dasar tersebut.

Di tataran makro, tertutama penyediaan infrastruktur air minum, misalnya, Kementerian PUPR melalui Ditjen Cipta Karya juga telah membuat Program Strategis untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap air minum dengan membangun beberapa Sistem Penyedian Air Minum (SPAM), yaitu SPAM Regional, SPAM Kawasan Perkotaan, SPAM Kawasan Khusus, SPAM Kawasan Rawan Air, dan SPAM berbasis masyarakat. 

Pembangunan beberapa SPAM yang saat ini sedang dilaksanakan dengan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), antara lain, SPAM Umbulan dengan kapasitas 4.000 liter/detik yang akan melayani 12 juta penduduk di Provinsi Jawa Timur. SPAM Umbulan ditargetkan beroperasi pada 2019.

Selain itu juga dibangun SPAM Bandar Lampung dengan kapasitas 750 liter/detik yang akan melayani 300 ribu penduduk di Kota Bandar Lampung yang saat ini dalam proses konstruksi dan diperkirakan beroperasi pada 2021.

SPAM KPBU lainnya yakni SPAM Semarang Barat dan SPAM Jatiluhur I dengan kapasitas masing-masing 1.000 liter/detik dan 5.000 liter/detik yang saat ini sudah memasuki proses pelelangan. 

SPAM Regional lainnya yang saat ini dalam tahap lelang adalah SPAM Regional Jatiluhur I. Proyek ini berkapasitas 5.000 lt/detik dan melalui skema KPBU atas prakarsa badan usaha (unsolicited) dengan Perum Jasa Tirta II (PJT II) sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama atau PJPK. 

Pada proyek SPAM Jatiluhur I ini, sebanyak 80% dari alokasi air yang ada akan melayani sebagian wilayah DKI Jakarta, melalui PAM Jaya. Sedangkan 20% sisanya untuk melayani wilayah Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi melalui PDAM-nya masing masing. Total tambahan penduduk terlayani sebanyak 2 juta jiwa dengan target beroperasi pada 2021.

Selain itu, Kementerian PUPR kembali melanjutkan Program Hibah Air Minum Perkotaan dan Perdesaan dengan anggaran sebesar Rp850 miliar dalam APBN 2019.  Anggaran terbagi untuk di perkotaan senilai Rp700 miliar dengan target 230.000 sambungan rumah (SR) dan perdesaan senilai Rp150 miliar dengan target 75.000 SR. 

Adanya Program Hibah Air Minum diakui memberikan kenaikan akses air bersih yang cukup signifikan. Program yang sudah dilaksanakan sejak 2010-2018 telah menambah akses air bersih sebanyak 1,2 juta SR dengan jumlah penerima manfaat 6,1 juta jiwa tersebar di 232 Kota/Kabupaten di 32 Provinsi.

Pendanaan program ini sejak tahun 2010-2016 berasal dari pinjaman Pemerintah Australia sebesar Rp1,07 triliun. Kemudian dilanjutkan periode 2015-2018 dengan pendanaan berasal dari APBN Murni senilai Rp2,34 triliun.

“Kita tidak hanya melihat target sebagai angka saja. Ketersediaan air bersih dan sanitasi sebagai kebutuhan dasar adalah tanggung jawab kita bersama agar generasi muda kita mendapat kebutuhan dasar tersebut,” tutur Dirjen Cipta Karya Danis H Sumadilaga pada acara lokakarya.

Program Hibah Air minum diberikan melalui mekanisme di mana pemerintah daerah membiayai terlebih dahulu investasi jaringan perpipaan hingga ke sambungan rumah (SR) MBR. Setelah dilakukan verifikasi, maka pemerintah pusat akan mengganti biaya yang dikeluarkan pemda. 

Terlepas dari semua itu, penyediaan infrastruktur air layak bersih dan sanitasi yang dilakukan pemerintah tetap harus diaprisiasi. Harapannya, terus diupayakannya 100% akses penyediaan air layak bersih dan sanitasi pada 2019 tentu juga berkorelasi terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa yang berkualitas. (F-1)