Indonesia.go.id - Omnibus Law: Solusi dan Terobosan Hukum

Omnibus Law: Solusi dan Terobosan Hukum

  • Administrator
  • Rabu, 4 Desember 2019 | 04:04 WIB
RUU OMNIBUS LAW
  Presiden Joko Widodo memberikan salam usai memberikan pidato awal masa jabatan presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Tantangan era masyarakat digital telah menghadang di depan mata. Indonesia tidak boleh berlama-lama terbelit oleh regulasi yang gemuk dan tumpang tindih. Sebuah terobosan kebijakan haruslah segera dilahirkan. Berpijak dari urgensi inilah, jalan satu-satunya menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui Omnibus Law.

Kualitas dan jumlah regulasi di Indonesia memang telah menjadi persoalan tersendiri. Merujuk data yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 16 Juli 2019, tercatat sepanjang rentang 2014 hingga Oktober 2018 saja, telah terbit 8.945 regulasi. Dari jumlah itu rinciannya terdiri dari 107 Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Peraturan Menteri.

Problemnya, masih merujuk PSHK, persoalan utama yang menghambat keberhasilan program-program pemerintah selama ini, salah satunya adalah justru regulasi yang semrawut dan tumpang tindih. Dampaknya yaitu, pelbagai akses terhadap pelayanan publik, termasuk fasilitas terkait kemudahan berusaha, malah semakin menjadi terhambat.

Lebih lanjut, menurut PSHK, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang semakin bertumpuk untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi atas produk regulasi yang ada.

Kritik bukan hanya dari PSHK. Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) Ke-4 juga mencatat, pembentukan regulasi yang tidak terkendali selama ini bukan saja telah menyebabkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antar regulasi, melainkan juga berdampak pada terjadinya tumpang tindih antar regulasi. Lebih jauh, fakta perihal kondisi regulasi ini juga berimplikasi pada terhambatnya upaya pencanangan program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berlangsung di Jember Jawa Timur pada 10 – 13 November 2017, forum ini mengeluarkan Rekomendasi Jember tentang Penataan Regulasi di Indonesia. Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dan kedayagunaan regulasi, maka salah satu rekomendasi forum ini ialah, perampingan dan harmonisasi regulasi antara Pusat dan Daerah.

Sementara, jika merujuk Regulatory Quality Index yang dikeluarkan Bank Dunia, posisi skor Indonesia di sepanjang 1996 – 2017 selalu tercatat berada di bawah nol atau minus. Seperti diketahui, skala indeks kualitas regulasi yang dirumuskan Bank Dunia menempatkan skor 2,5 poin sebagai indeks tertinggi dan menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Sementara skor paling rendah yaitu -2,5 poin. Indeks ini menunjukkan kualitas regulasi yang buruk. Pada 2017 skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Pemerintah tentu menyadari kondisi ini. Sudah sejak bulan Oktober 2017, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pernah mengeluhkan banyaknya peraturan yang dimiliki Indonesia. Ada berkisar 42.000 regulasi, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan wali kota/bupati. Regulasi yang tumpang tindih ini ditenggarai menjadi salah satu faktor penghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2018 menunjukkan, bahwa regulasi tumpang tindih dan ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar lambatnya pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh menurut Bappenas, penanganannya harus segera dilakukan. Apabila tidak, maka agenda pembangunan ekonomi dipastikan niscaya terus terhambat oleh regulasi.

Bermaksud menjawab persoalan di atas, pada 20 Oktober 2019 usai dilantik Presiden Jokowi menyampaikan gagasannya untuk mengeluarkan Omnibus Law. Menurut Presiden Jokowi, melalui skema Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas.

Dalam kesempatan itu, rencananya Presiden Jokowi ingin mengajak DPR untuk menggodog 2 UU besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja dan kedua, UU Pemberdayaan UMKM.

“Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU,” kata Jokowi.

Dalam dinamika selanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sedang menyusun RUU Omnibus Law terkait regulasi perpajakan dengan tujuan membuat sistem pajak di Indonesia semakin kompetitif di tingkat global. Terkait rencana pemindahan Ibukota, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan upaya harmonisasi regulasi juga direncanakan akan melalui skema Omnibus Law. Tak kecuali Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Bidang Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, juga mewacanakan penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Omnibus Law.

Lalu, pertanyaannya ialah apa sebenarnya Omnibus Law?

Hiper Regulasi dan Tumpang Tindih

Sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah melewati pelbagai rezim pemerintahan. Dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Perubahan dari zaman ke zaman, disertai pergantian presiden dan kabinet pemerintahan jelas mengakibatkan lahirnya banyak peraturan perundang-undangan sesuai dengan konteks persoalan dan tantangan saat itu. Sepanjang 74 tahun lebih usia kemerdekaan, jumlah produksi regulasi yang semakin banyak ini kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, seperti disharmoni dan tumpah tindih regulasi.

Akibatnya lebih jauh, tak sedikit juga menimbulkan konflik kebijakan atau kewenangan antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Sialnya, disharmoni dan tumpeng tindih regulasi ini bukan hanya membuat pemerintah menjadi tidak dapat bergerak sigap dan responsif menghadapi problem dan tantangan yang muncul mengemuka, lebih jauh juga berdampak pada terhambatnya implementasi program pembangunan dan memburuknya iklim investasi di Indonesia.

Mengingat produksi regulasi, mulai dari tingkat undang-undang di sepanjang Indonesia merdeka telah menumpuk dan memunculkan fenomena “hiper regulasi”, maka setiap penyelenggara pemerintahan berniat melakukan inovasi atau terobosan bisa dipastikan bakal terjadi benturan dengan regulasi perundang-undangan. Sementara, jika revisi peraturan perundang-undangan itu hendak dilakukan secara konvensional, maka mudah diduga bakal membutuhkan waktu sangat lama untuk mengharmonisasikan dan mensinkronisasikan banyak regulasi yang ada.

Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital sudah menghadang di depan mata. Indonesia tidak boleh berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Sebuah terobosan kebijakan dalam proses penyusunan undang-undang haruslah segera dilahirkan. Berpijak dari urgensi inilah, maka jalan satu-satunya untuk menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui skema Omnibus Law.

Definisi Omnibus Law berasal dari kata omnibus dan law. Kata omnibus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti “untuk semuanya” atau “banyak”. Bila digandeng dengan kata law, yang berarti hukum, maka Omnibus Law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua.

Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A Garner disebutkan: “omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many thing or having varius purposes”, yang artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Jadi, konsep Omnibus Law merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.

Lebih jauh dapat disimpulkan, bahwa Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai semacam—sebutlah itu—"undang-undang payung hukum” (umbrella act). Dan ketika peraturan semacam payung hukum itu diundangkan maka konsekuensinya bakalan mencabut beberapa aturan tertentu di mana norma atau substansinya juga bukan tidak mungkin bakalan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun secara keseluruhan.

Ada beberapa kelebihan penerapan konsep Omnibus Law dalam menyelesaikan sengketa regulasi di Indonesia, antara lain ialah:

  1. Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien.
  2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi;
  3. Memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
  4. Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;
  5. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
  6. Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan.

Banyak ulasan mengatakan, UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sejauh ini belum disusun dengan tujuan mengakomodasi keberadaan Omnibus Law. Namun mengingat penyusunan undang-undang merupakan produk kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, jelas bukan mustahil skema Omnibus Law bakal diimplementasikan dalam proses legislasi ke depan.

Terlebih jika mengingat aspek urgensi dan signifikansi dari skema Omnibus Law. Bukan saja bertujuan mengharmonisasi dan mengakhiri tumpang tindih regulasi yang terjadi selama ini, skema Omnibus Law juga bakal sanggup mengdongkrak perbaikan kualitas regulasi di Indonesia sehingga diharapkan tercipta iklim pro investasi dan kemudahan izin berusaha. (W-1)