Indonesia.go.id - Budaya Tionghoa dan Sejarah Perayaan Imlek

Budaya Tionghoa dan Sejarah Perayaan Imlek

  • Administrator
  • Senin, 28 Januari 2019 | 07:30 WIB
SOSIAL BUDAYA
  Perayaan Imlek. Sumber foto: Antara Foto

Mengingat di Asia Tenggara populasinya relatif besar--seiring proses diaspora yang telah berlangsung berabad-abad--tak salah jika Denys Lombard atau Anthony Reid menggarisbawahi peran dan posisi penting etnis Tionghoa ini, selain bangsa India, pada pembentukan sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara.

Perayaan Imlek tak jauh berbeda dengan perayaan Tahun Baru Masehi, juga dengan Tahun Baru Hijriah bagi orang Islam. Imlek ialah tahun baru kalender etnis Tionghoa.

Di daratan China, Imlek merupakan hari raya yang paling penting. Dalam bahasa Mandarin, Imlek dikenal sebagai ‘Nongli Xinnian’ (Tahun Baru). Kata Imlek lebih lazim digunakan oleh etnis Tionghoa yang berada di luar daratan China (overseas China).

Berasal dari dialek Hokkian, Im = bulan, Lek = penanggalan, yang artinya ‘kalender bulan’. Momen saat malam menjelang tahun baru dikenal dengan nama ‘Chuxi’, yang berarti ‘malam pergantian tahun’. Imlek juga disebut chunjie’, yang artinya ‘Festival Musim Semi’.

Tahun ini hari pertama bulan pertama dari tahun yang baru pada sistem kalender Tionghoa jatuh pada 5 Februari 2019. Merujuk hitungan kalendar ini, tahun ini ialah tahun 2570. Ini berarti jauh lebih tua lima setengah abad ketimbang Tahun Masehi. Shio yang menaungi tahun ini ialah Babi Tanah.

Menariknya, Imlek dirayakan dari 1 pada bulan pertama dan ditutup dengan perayaan Cap Go Meh pada tanggal 15, yaitu saat memasuki malam bulan purnama pertama di tahun itu.

Menarik disimak sebuah laman www.worldometers.info. Ini merupakan laman World Population Clock yang dikelola oleh PBB, sebuah jam populasi penduduk dunia yang update setiap hari. Dari sumber ini disebutkan, per 23 Januari 2019 jumlah populasi etnis Tionghoa tercatat 1.417.871.937, alias lebih dari 1,4 miliar jiwa.

Sedangkan jumlah populasi penduduk dunia tercatat 7.679.166.700, atau untuk lebih mudahnya sebutlah 7,7 miliar jiwa. Artinya jumlah populasi etnis Tionghoa ialah 18.41 persen atau hampir seperlima dari total penduduk dunia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar ini menempatkan posisi Tiongkok di urutan pertama di dunia, posisi yang telah ditempatinya lebih dari setengah abad lalu.

Bukan hanya besar, tetapi sebagian kecil dari populasi mereka terdiaspora hampir ke seluruh dunia. Dan karena etnis Tionghoa memiliki kesetiaan yang kukuh pada tradisi dan budaya nenek moyangnya, maka bersamaan itu tersebarlah budaya etnis ini memperkaya warna budaya dunia.

Sedangkan menurut laman www.statista.com, bicara jumlah etnis Tionghoa perantauan, Indonesia berada pada posisi paling atas dengan estimasi berkisar 7 juta. Posisi kedua ialah negara Gajah Putih Thailand, dengan estimasi jumlah yang sama. Malaysia di posisi ketiga dengan kisaran 6,4 juta, Amerikat Serikat 3,8 juta, dan Singapura 3,6 juta.

Mengingat jumlah populasi di Asia Tenggara nisbi besar, yang diasporanya telah berlangsung berabad-abad silam, maka tak salah sekiranya para historigrafi seperti Denys Lombard atau Anthony Reid, misalnya, kemudian menggarisbawahi peran dan posisi penting etnis ini, selain bangsa India, pada pembentukan sejarah dan kebudayaan di Asia Tenggara.

Sejarah Interaksi

Bicara budaya etnis Tionghoa, boleh dikata hidup dan berkembang seirama dengan perkembangan politik di tanah air.

Tradisi merayakan Imlek saat ini adalah berkah gerakan reformasi 1998. Di zaman Orde Baru, budaya Tionghoa tidak boleh hidup dan berkembang. Perayaan Tahun Baru Imlek tidak boleh diperingati secara terbuka di ruang publik.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548667584_gus_dur_tionghoa.jpg" style="height:206px; width:300px" />

Gus Dur. Sumber foto: Istimewa

Secara historis tentu susah dipastikan sejak kapan perayaan Imlek telah dilakukan di Indonesia. Namun ditengarai seiring migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sejak permulaan Masehi, sejak itulah perayaan Imlek telah dilakukan. Dugaan ini semata didasarkan pada bagaimana kukuhnya etnis Tionghoa menjaga tradisi nenek moyang mereka.

Sekalipun Denys Lombard mencatat sejak abad ke-3 Asia Tenggara telah ditulis dalam teks-teks China, catatan awal sejarah Nusantara barulah muncul di abad ke-5.

Fa Hsien (Faxian), seorang pendeta Budhis, sering berlayar dari China ke India dan India ke China. Diceritakan pada 412, Fa Hsien berlayar dari Srilangka tetapi celakanya kapal yang dinaikinya diamuk badai. Saat itu Fa Hsein harus mendarat di ‘Ye-Po-Ti’ atau ‘Yawadwi’, yang adalah nama Pulau Jawa dalam bahasa Sansekerta. Pada fase-fase sejarah kemudian, sumber-sumber berita China juga sering mencatat nama Jawa dengan istilah ‘She-Po’.

Dalam karyanya Nusa Jawa: Silang Budaya Lombard memperlihatkan pentingnya pengaruh budaya Tionghoa ini. Bukan saja bagi masyarakat Asia Tenggara tetapi juga masyarakat Jawa. Besarnya pengaruh ini tak saja mewarnai pembentukan aspek kebudayaan, melainkan juga kehidupan sehari-hari.

Budaya China tidak saja telah mempengaruhi perkembangan teknik produksi dan budi daya berbagai komoditas seperti gula, padi, arak, tiram, udang, garam, dan lain-lain, juga membawa pengaruh besar pada perkembangan sistem kongsi, teknik kemaritiman, perdagangan, dan sistem moneter di Jawa. Melihat besarnya pengaruh itu membuat Lombard tiba pada kesimpulan, bahwa laiknya pengaruh India terhadap kebudayaan Asia Tenggara, ia menyebut adanya kontinum budaya Tionghoa meresapi mentalitas orang Jawa.

Athony Reid dalam karyanya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 memberi catatan yang tak kalah menarik. Kurun niaga saat itu, menurut Reid telah mengubah Asia Tenggara dan memungkinnya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Ketika itu cengkih, pala, lada, dan kayu cendana, merupakan komoditas utama dalam perdagangan antarbenua.

Menariknya, sejak awal 1400-an, karena lonjakan permintaan rempah-rempah dari Maluku di Laut Tengah, membuat sangat banyak armada China dikirim ke Asia Tenggara. Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu berlangsung sekitar 1570-1630, dan setelah itu mulai terjadi penurunan hingga mencapai titik bawahnya di tahun 1680.

Diduga datangnya bangsa Barat yaitu Portugis di Malaka di tahun 1511, dan kemudian disambung oleh kemenangan militer dan ekonomi VOC (Belanda) di abad ke-17, serta munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tak menaruh minat pada perdagangan seperti Kerajaan Mataram-Islam di Jawa, misalnya, disebut oleh banyak sejarawan, termasuk oleh Reid, sebagai faktor utama penyebab kemunduran kurun niaga di Asia Tenggara.

Sumber lain patut disebutkan ialah hipotesa sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana. Disertasinya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara itu membangun sebuah hipotesa, bahwa agama Islam secara historis dibawa masuk ke tanah Jawa oleh para ulama etnis Tionghoa. Para ulama ini, yang di Jawa populer disebut “Wali Songo”, diyakini berasal dari Champa (Kaboja atau Vietnam).

Menurutnya, awalnya didahului oleh kedatangan Laksamana Cheng Ho, kemudian masuklah para pemuka agama ini membawa Islam aliran Hanafi. Aliran ini kemudian nisbi tersebar luas di kota-kota yang di daerahnya bermukim masyarakat etnis Tionghoa Islam.

Sebutlah Sunan Bonang, misalnya, yang memiliki nama alias ‘Bong Ang’; Sunan Kalijaga, ‘Gan Si Cang’; Sunan Ngampel, ‘Bong Swi Hoo’; dan Sunan Gunung Jati, ‘Toh A Bo’. Demikian juga Raden Patah, al Fatah, yang memiliki nama alias Jimbun (Cek Ko Po). Sultan pertama kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa ini ialah putera Raja Majapahit, yang menikah dengan puteri Campa, anak pedagang Tionghoa yang bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Tak salah jikalau mantan Presiden ke-4 BJ Habibie bahkan pernah mengatakan: “Hadiah terbesar bangsa Tionghoa kepada Indonesia adalah agama Islam". Pernyataan ini dikatakan saat Habibie memberikan ceramah di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, pada Jumat 29 Agustus 2013.

Pasang Surut Imlek

Harus diakui, bahwa ada pasang surut sejarah kehadiran perayaan Imlek di tengah masyarakat Indonesia. Kebijakan segregasi dan kooptasi oleh negara terhadap posisi sosial etnis Tionghoa, baik di zaman kolonial maupun Indonesia merdeka, bisa dipastikan jadi sebab-musababnya.

Ketika Indonesia masih dijajah kolonialisme Belanda, Imlek pernah dilarang juga. Dengan kebijakan politik segregasinya, pemerintah Belanda merasa khawatir perayaan Imlek yang meriah dapat menyulut kerusuhan antaretnis. Di zaman Jepang, sebaliknya Imlek boleh dirayakan dan bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional.

Periode Indonesia merdeka. Era Presiden Soekarno, Imlek terang dirayakan. Di masa itu, orang-orang Tionghoa bukan saja diberi ruang ekspresi keagamaan dan kebudayaan secara bebas, melainkan bahkan diperbolehkan turut berpartisipasi aktif di bidang politik.

Sejarah juga mencatat, Presiden Soekarno pernah mengundang Zhou Enlai, Menlu China waktu itu, untuk datang menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung di tahun 1955. Sebuah konferensi yang melahirkan "Dasasila Bandung", di mana prinsip-prinsip universal yang dirumuskan telah mendorong perjuangan bangsa-bangsa terjajah merebut kemerdekaan.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548663606_henk_ngantung_bukti_pluralisme_gubernur_dki_jakarta.jpg" />

Henk Ngantung. Sumber foto: Flickr

Di era Kusno—demikianlah nama masa kecil “Bapak Proklamator” itu—juga pernah tercatat seorang beretnis Tiongho menjadi gubernur memimpin DKI Jakarta, Henk Ngantung. Seorang dengan latar belakang seniman pelukis yang membuat sketsa Tugu Selamat Datang di depan Bundaran Hotel Indonesia.

Lain zaman Presiden Soeharto. Seiring terbitnya Instruksi Presiden 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, Presiden Soeharto melarang apapun yang berbau Tionghoa untuk dirayakan di ruang publik. Tak kecuali, Imlek. Dengan inpres ini, Orde Baru bermaksud membangun proses asimilasi secara total bagi keturunan Tionghoa, yaitu dengan cara menghilangkan identitas ketionghoaannya.

Tak cukup hanya itu. Pemerintah Orde Baru-pun mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 di tanggal 18 November 1978, yang berisi pengakuan pemerintah pada sebatas lima agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Regulasi ini juga berarti menjadi titik awal tidak diakuinya Khonghucu sebagai agama di Indonesia, sebuah agama yang dipeluk oleh mayoritas etnis Tiongoa waktu itu.

Bukan itu saja, Indonesia bahkan memutus hubungan diplomatik dan perdagangan. Namun kemudian di saat pertumbuhan ekonomi China mulai memukau perhatian dunia, maka muncullah kembali titik balik. Kebijakan politik normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan China segera dilakukan. Penandatanganan ini terjadi pada 8 Agustus melalui MoU on the Resumption of Diplomatic Relations di antara kedua negara, Indonesia dan China.

Paska-Orde Baru. Di masa Presiden BJ Habibie, melalui UU 29 Tahun 1999 Indonesia meratifikasi ICERD (International Convention on the Elimination Of All Forms of Racial Discrimination). Meskipun traktat ICERD sebenarnya telah disahkan PBB di tahun 1965, Indonesia baru meratifikasi di tahun 1999. Ratifikasi ini tentu tidak terlepas adanya desakan Internasional pascakerusuhan Mei 1998.

Selanjutnya di era Presiden Gus Dur, Inpres 14 tahun 1967 dicabut melalui Keputusan Presiden 6 Tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Alhasil, jika selama Orde Baru serba dibatasi, maka dengan Keppres itu etnis Tionghoa kembali memiliki kebebasan untuk memeluk agama Khonghucu maupun menggelar ritus budayanya secara terbuka. Sejak itulah Tahun Baru Imlek kembali semarak dirayakan di kota-kota di seluruh Indonesia.

Tak hanya itu. Presiden Gus Dur kembali mengeluarkan Keputusan Presiden 19 Tahun 2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur, meskipun pada awalnya masih berlaku secara khusus bagi etnis Tionghoa semata. Barulah pada 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden 9 Tahun 2002 tentang Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Sejak tahun 2013 itulah Tahun Baru Imlek  menjadi Hari Libur Nasional.

Seolah tak mau ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun juga bergerak menyempurnakan. Melalui Keputusan Presiden 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, Presiden SBY mengganti istilah "Cina" dengan "Tionghoa". Pertimbangan pencabutan karena istilah "Tjina" dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera itu, selama ini nyata-nyata menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548663986_ahok_mojok1.jpg" />Basuki Tjahaja Purnama. Sumber foto: Wordpress

Pada masa Presiden Joko Widodo, praktis problem diskriminasi regulasi terhadap etnis Tionghoa telah berakhir. Catatan kemajuan kebudayaan Indonesia yang imun dari prasangka rasialisme setidaknya mulai tergambar dengan naiknya seorang beretnis Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama sebagai orang nomer dua di Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.

Dan sejalan naiknya orang nomor satu di daerah yang dulu bernama Batavia menjadi Presiden terpilih melalui Pilpres 2014, maka segera saja Basuki Tjahaja Purnama ini menjadi Gubernur DKI Jakarta. Peting dicatat, posisi yang diduduki olehnya ini terhitung hampir setengah abad kemudian semenjak Henk Ngantung yang berlatar belakang etnis Tionghoa duduk memimpin Ibu Kota.

Kini hampir dua dekade Tahun Baru Imlek telah diakui kembali. Imlek seharusnya tidak melulu dipandang sebagai sarana hiburan dan perayaan semata, tetapi juga mengandung pelajaran penting bangsa untuk kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia.

Pelajaran tentang kebijakan politik segregasi dan marginalisasi etnis Tionghoa oleh negara (state) tentu patut disimak sebagai hikmah politik kebudayaan Indonesia ke depan. Harapannya tentu supaya jangan sampai terulang sejarah tragedi kemanusian di masa lalu karena kuatnya prasangka rasialisme. Dan pasang surut perayaan Tahun Baru Imlek memberi pelajaran berharga soal itu.

Kini jelas masih banyak pekerjaan rumah menunggu dikerjakan secara serius. Politik-identitas baik berbasis etnis maupun agama atau kombinasi di antara keduanya, belakang sejak pasca-Orde Baru terlihat muncul dan tumbuh sebagai sebuah tren politik muthakir yang memprihatinkan.

Menghadapi menguatnya ‘politik-identitas’, Indonesia kini dan juga nanti, mau-tidak mau harus selalu bergandengan tangan kuat-kuat mewujudkan “kredo” ke-Bhinneka Tunggal Ika–an, sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. (W-1)